Bisnis.com, PALEMBANG – Sejumlah pabrik karet di Sumatra Selatan terpaksa mengurangi jam kerja pegawainya karena kekurangan pasokan bahan baku dari petani.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Provinsi Sumatera Selatan Nur Ahmadi di Palembang, Rabu, mengatakan biasanya pabrik memberlakukan tiga shift jam kerja dalam 1 hari dengan tiap-tiap shift bekerja untuk 8 jam.
Namun, sejak beberapa bulan terakhir hanya memberlakukan satu hingga dua shift saja lantaran volume bahan baku jauh berkurang.
“Saat ini petani malas nyadap (memanen) getah karena harga sangat murah, belum lagi mereka juga dihadapkan persoalan wabah gugur daun, sehingga produksi getah jauh menurun,” ujarnya di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumsel di Palembang pada Rabu (25/9/2019).
Kondisi ini membuat pengusaha karet kesulitan mengingat untuk mengekspor karet dalam bentuk SIR 10 dan SIR 20 diberlakukan ketentuan minimal untuk volumenya.
“Ya saat ini bisa dikatakan, pengusaha itu hanya bertahan. Tapi belum bisa dikatakan bangkrut,” ujarnya.
Gapkindo mengharapkan pemerintah dapat melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi persoalan ini mengingat penurunan harga komoditas karet itu sudah terjadi sejak 2013.
Pada 2019 ini, harga masih di bawah standar yakni hanya berkisar 1,3 dolar fob/kg, sehingga di tingkat petani hanya sektiar Rp5.000—Rp7.000/kg, dan di kelompok tani berkisar Rp8.000-Rp9.000/kg.
Kemudian, data terakhir menunjukkan terjadi penurunan ekspor karet Sumsel pada Mei 2019 sebesar 22 persen, sejalan penurunan produksi karet Sumsel yang menyusut hingga 40 persen menjadi 583.000 ton per kuartal I 2019. Padahal pada 2017-2018, produksi karet secara kuartalan berada di kisaran 971.000 ton.
“Artinya, dengan adanya pengurangan shift kerja ini, muncul pengangguran yang tidak kentara. Lambat laun pasti akan berpengaruh pada perekonomian,” ujarnya.
Untuk itu, Gapkindo menunggu langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor karet ini mengingat keinginan untuk membangun industri hilirisasi hingga kini sebatas wacana karena tak kunjung terealisasi.
Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sumsel Yunita Resmi Sari mengatakan persoalan sektor karet ini kini menjadi konsentrasi semua pihak baik di daerah maupun di pemerintahan pusat.
“Arahnya saat ini bagaimana membangun hilirisasi karet, seperti membangun pabrik ban karena diakui penyerapan tertinggi karet itu untuk pembuatan ban. Sementara untuk aspal karet hanya sekitar 7,0 persen dan tidak terus menerus permintaannya,” kata Yunita.
Sembari merealisasikan rencana ini, pemerintah akan berupa membenahi tata niaga karet mengingat terjadi ketidakadilan dalam pembagian keuntungan antara sisi hulu (petani) dan sisi hilir.