Bisnis.com, JAKARTA--Siang itu, panas sinar matahari di Jakabaring, Kota Palembang sedang terik-teriknya. Rabu 28 Agustus 2019, saya mengernyitkan mata saat berjalan menuju tanah lapang di salah satu sudut Kawasan Jakabaring.
Di tanah lapang seluas dua hektare itu terlihat dengan jelas hamparan ribuan panel surya yang berjajar rapi. Perangkat tersebutlah yang menangkap sinar matahari untuk kemudian menjadi energi listrik.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Jakabaring menjadi pembangkit pertama di Sumatra Selatan yang menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) dari sinar matahari. Dibangun sekitar 2017 lalu, PLTS tersebut telah mendukung penerapan green energy dalam hajatan Asian Games 2018 yang berlangsung di Kawasan Jakabaring Sport City (JSC).
Meski pesta olahraga terbesar di Asia itu telah usai, namun PLTS Jakabaring berkapasitas total 2 megawatt (MW) itu tetap mengantarkan setrum ke kompleks JSC dan sekitarnya. Dalam setahun, daya listrik yang dibangkitkan bisa mencapai hingga 1.897 MW.
Pemerintah memang berupaya mengusung konsep ramah lingkungan salah satunya dengan memberikan setrum ke JSC yang dipasok dari PLTS tersebut.
Bahkan, PLTS Jakabaring ini disebut-sebut dapat berkontribusi terhadap penghematan BBM sebanyak 172.000 liter. Tak hanya itu, berdasarkan catatan Bisnis, PLTS ini juga mampu mengurangi emisi karbon sekitar 1.303 ton karbon dioksida per tahun.
Dalam sistem operasinya, energi listrik yang dihasilkan dari 5.248 panel surya di PLTS tersebut dialirkan melalui transmisi PLN ke Gardu Induk (GI) Jakabaring. Adapun jarak antara PLTS ke GI hanya sekitar 3,5 kilometer.
GM PT PLN Wilayah Sumsel, Jambi dan Bengkulu (S2JB), Daryono, mengatakan PLTS Jakabaring telah menginspirasi pihaknya untuk mengembangkan pembangkit serupa di Pulau Enggano, Bengkulu, seiring potensi SDA yang sama di daerah itu.
“Kalau tenaga surya baru pertama di Jakabaring [dalam wilayah S2JB]. Kami sudah mengusulkan pengembangan potensi serupa di Enggano,” katanya saat dihubungi Bisnis.com.
Menurut Daryono, kontribusi listrik dari PLTS Jakabaring terhadap kelistrikan di Sumsel tidak begitu signifikan mengingat kecilnya kapasitas yang dialirkan.
Namun demikian, langkah kecil tersebut menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengoptimalkan potensi energi setempat, salah satunya lewat EBT dari sinar surya.
Dia mengemukakan, dari segi biaya, PLTS cenderung lebih murah dibanding sumber energi lain, seperti pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).
“Selama dia [PLTS] produksi, hasilnya tetap kami pakai karena kan langsung ngalir ke PLN. Semua produksinya kami beli,” katanya.
Diketahui, untuk membangun pembangkit tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel menunjuk BUMD yakni Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) yang bekerja sama dengan Sharp Corporation Jepang, sebagai penyedia teknologi di bawah skema karbon kredit, yakni Joint Crediting Mechanism (JCM).
PLTS 2 MW Jakabaring mendapat subsidi berupa CO2 credit dari Pemerintah Jepang maksimum 50% untuk pengembangan biaya engineering, procurement, dan construction (EPC) dengan pengembalian emisi gas karbon yang dihasilkan PLTS kepada Pemerintah Jepang selama 17 tahun.
Pembangunan pembangkit itu menggunakan skema Independent Power Producer (IPP) dengan PT PLN (Persero) lewat kontrak Power Purchase Agreement (PPA) selama 20 tahun.
Direktur Utama PDPDE Arief Kadarsyah mengatakan kesuksesan membangun PLTS Jakabaring membuat perusahaan daerah itu ingin mengembangkan proyek serupa di daerah lain.
“Kami membidik daerah Bangka karena sumber energinya cukup potensial di situ. Kami cukup percaya diri di bidang ini karena pengalaman mengelola PLTS Jakabaring yang hingga kini beroperasional secara optimal,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Robert Heri, mengatakan Sumsel merupakan provinsi yang berkomitmen mengembangkan EBT.
“Memang kita sebetulnya sudah lebih dari 5 tahun terakhir ini gencar mengembangkan EBT, salah satunya melalui PLTS,” katanya kepada Bisnis.
Robert mengatakan namun seringkali penggunaan EBT untuk kelistrikan masih terhadang sejumlah kendala.
Salah satunya, kata dia, PLTS dinilai lebih mahal ketimbang energi fosil.
“Ini jadi PR kita bagaimana agar tarifnya setidaknya sama dengan energi fosil, supaya bisa berkembang. Juga daerah berharap dalam RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) PLN porsi untuk EBT diperbesar,” katanya.
Dia menambahkan langkah pemda untuk menyerap sinar surya menjadi tenaga listrik tak berhenti sampai Jakabaring saja.
Bahkan, Dinas ESDM Sumsel sudah mengajukan pembangunan PLTS berkapasitas 200 MW di lahan eks bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas 100 hektare.
Dia mengatakan lahan tersebut berada di Kawasan Pantai Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel yang pernah terbakar hingga menimbulkan kabut asap parah pada 2015 silam.
“Kami sudah sampaikan ke PT PLN juga menawarkan [rencana pembangunan PLTS] ke partner kami di Jepang,” katanya.
Dukung Energi Berkeadilan
Pengembangan EBT untuk menjadi pembangkit listrik diyakini Kementerian ESDM sebagai bagian dari penerapan prinsip energi berkeadilan.
Dalam garis besar program kerja Kementerian ESDM 2016—2019, seperti yang dilansir Bisnis dari situs resmi kementerian, tertuang bahwa prinsip energi berkeadilan mencakup dengan menjaga keberlanjutan pasokan energi. EBT dinilai sebagai masa depan pasokan energi karena tak selamanya kita mengandalkan energi fosil maupun batu bara yang tak bisa diperbarui.
Diketahui, pemerintah telah menyusun target bauran EBT dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yakni 23% pada tahun 2025 dan paling sedikit 31% pada tahun 2050.
Untuk mencapai bauran 23% pada tahun 2025 dibutuhkan sekitar 45.000 MW listrik berbasis EBT. Sementara saat ini, berdasarkan catatan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, kontribusi EBT dalam bauran energi nasional pada saat ini baru mencapai sekitar 12%.
Deputi Bidang Koordinasi SDA dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman, Agung Kuswandono, mengatakan pihaknya yakin daerah lain di Tanah Air bisa mandiri di bidang energi karena dapat memanfaatkan potensi EBT di daerahnya.
“Jika kita menginginkan penghematan secara finansial, lingkungan yang lebih bersih, kita bisa membangun pembangkit listrik EBT. Apa yang telah dibangun di Sumatera Selatan, dapat saja diduplikasi di daerah lain,” katanya.
Dia menambahkan pihaknya optimistis Indonesia bisa mandiri bahkan swasembada energi karena kaya akan sumber daya yang dapat dimanfaatkan dengan cara baik.