Bisnis.com, MEDAN—Porsi pengguna gas jenis liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi pada kuartal I/2019 sama dengan porsi jumlah penduduk miskin di Sumatra Utara.
Manager Komunikasi dan CSR PT Pertamina Marketing Operation Region (MOR) I, M Roby Hervindo mengatakan 91% pengguna di Sumut justru menggunakan LPG subsidi yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi golongan masyarakat yang membutuhkan.
Perinciannya, konsumsi LPG nonsubsidi pada kuartal I/2019 menyentuh 9.204 mt atau turun 0,2% dibandingkan dengan kuartal I/2018 yakni 9.227 mt. Sementara itu, konsumsi LPG subsidi justru naik 2,9% yakni dari 86.000 mt menjadi 88.500 mt.
"91% [pengguna] masih menggunakan LPG," ujarnya di Medan, Kamis (4/4/2019).
Sebelumnya, penduduk miskin di Sumut dari hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) periode September 2018, jumlah penduduk miskin di Sumatra Utara sebanyak 8,94% dari jumlah total penduduk.
Adapun, jumlah penduduk miskin di kota dan di desa nyaris sama dengan 686.970 jiwa penduduk miskin di kota dan 605.020 jiwa di desa.
Baca Juga
Adapun, 1,29 juta penduduk di Sumatra Utara masuk kategori miskin karena hanya mengeluarkan biaya rata-rata perbulan sebesar Rp451.673 perkapita.
Penduduk di desa masuk kategori miskin bila hanya mampu memiliki pengeluaran rata-rata Rp435.492 perkapita setiap bulan. Sementara itu, penduduk di kota masuk kategori miskin karena tak mampu berbelanja lebih dari Rp465.790 perkapita perbulan.
Mengacu pada data tersebut, seharusnya sekira 91% penduduk yang tak masuk kategori miskin menggunakan LPG subsidi. Jika dilihat dari isi indeks harga konsumen, pada Maret 2019, faktor bahan bakar justru termasuk kelompok yang mengalami penurunan harga yakni sebesar 0,02% dari 136,83 menjadi 136,80.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong penggunaan LPG nonsubsidi jenis bright gas melalui penukaran tabung untuk meningkatkan konsumsi LPG nonsubsidi. Menurutnya, penurunan terdalam justru terjadi pada LPG ukuran 12 kg yakni sebesar 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Yang turun [konsumsi LPG ukuran] 12 kg. Itu turun sekitar 7%," katanya.
Padahal, secara nasional, Pemerintah ingin menekan konsumsi LPG subsidi yang terus naik pascakonversi penggunaan minyak tanah ke gas. Sebelumnya, Pemerintah berencana membatasi distribusi LPG subsidi melalui penetapan kuota bagi rumah tangga dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Sayangnya, kebijakan tersebut hanya berakhir di tingkat uji coba.
Pengamat Ekonomi IAIN Sumut Gunawan Benjamin mengatakan tingginya konsumsi LPG subsidi disebabkan faktor distribusi. Meskipun LPG tabung melon diperuntukkan bagi kelompok tak berpunya, tanpa pembatasan distribusi, masyarakat akan tetap membeli LPG subsidi.
“Ini masalahnya di distribusinya,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Hilir Migas Rizwi Hisjam mengatakan uji coba akan dilakukan setelah pemilu 2019 agar menghindari sentimen kepentingan. Oleh karena itu, subsidi akan disampaikan secara langsung sehingga gas tabung melon akan dijual sesuai dengan harga keekonomian.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNPPK) mendistribusikan kartu sosial sejenis Program Keluarga Harapan (PKH) beridentitas tunggal.
Rizwi menjelaskan dengan adanya kartu tersebut, harga gas LPG melon tidak lagi disubsidi, tetapi pemerintah memberikan nominal tambahan untuk mengganti beban membeli gas dengan harga keekonomian tersebut.
“Sebenarnya sudah dibahas dari awal tahun lalu, tetapi pimpinan menunggu stabilitas politik berjalan, kalau sudah stabil baru implementasi,” katanya.
Selain itu, konsumsi BBM nonsubsidi pun lesu. Manager Komunikasi dan CSR PT Pertamina Marketing Operation Region (MOR) I, M Roby Hervindo mengatakan tren di periode Januari-Maret 2019 tergolong baru karena konsumsi BBM nonsubsidi menurun bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018.
Perinciannya, konsumsi BBM nonsubsidi pada Januari-Maret 2019 sebesar 329.000 kiloliter (kl) dari 333.400 kl atau turun 1,2% dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
Sementara itu, untuk konsumsi BBM subsidi yakni solar subsidi justru naik 11% dari 226.100 kl menjadi 251.000 kl di tahun ini. Lalu, untuk premium yang tidak disubsidi namun harganya ditetapkan pemerintah, juga memiliki kecenderungan yang sama dengan kenaikan 11,2% menjadi 108.100 dari 97.200 kl pada periode yang sama tahun 2019.
"Baru terjadi di periode Januari-Maret 2019," katanya.
Perubahan pola konsumsi BBM ini, katanya, dikarenakan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan BBM dengan kadar oktan tinggi. padahal, dia menyebut rata-rata penambahan kendaraan secara umum di kisaran 10% pertahun.
"Pertumbuhannya tidak terlalu besar yang sebagian pakai premium sebagian pakai [BBM] yang lain," katanya.
Padahal, jika karena konsumen masih sensitif terhadap perubahan harga, BBM nonsubsidi telah mengalami penurunan harga.
Dikutip dari lampiran Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.19 K/10/MEM/2019, Minggu (10/2/2019), harga jual BBM nonsubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Shell dan Pertamina yang ada di Sumatra Utara mengalami penurunan.
Sementara itu, untuk BBM yang dijual di SPBU Pertamina, untuk jenis RON 90 atau Pertalite dan solar nonsubsidi atau CN 48 tak mengalami perubahan.
Sisanya, yakni BBM jenis RON 92 atau Pertamax sebelumnya dijual di kisaran Rp10.200 hingga Rp10.600 perliter, kini menjadi Rp9.850 hingga Rp10.150 perliter. Lalu, jenis RON 98 atau Pertamax Turbo semula dijual Rp12.000 hingga Rp12.400 perliter kini menjadi Rp11.200 hingga Rp11.600 perliter.
Sisanya, untuk jenis diesel yakni CN 51 atau Pertamina Dex dari Rp11.750 hingga Rp12.250 perliter menjadi Rp11.700 hingga Rp12.200 perliter. Terakhir, Dexlite atau CN 48 dari Rp10.300 hingga Rp10.700 menjadi Rp10.200 hingga Rp10.600 perliter.
Dia menyebut akan menambah ketersediaan BBM umum dan meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga bisa mengerek naik realisasi konsumsi di lapangan.
Alasannya, pihaknya menargetkan jenis BBM nonsubsidi diperkirakan akan naik 5% hingga 10% di tahun ini.
Sebagai gambaran, rata-rata penyaluran BBM jenis RON 88 atau premium, RON 90 atau pertalite dan RON 92 untuk pertamax sebesar 12.493 kl perhari.
“Mungkin karena belum semua SPBU menjual BBM berkualitas,” katanya.