Bisnis.com, PALEMBANG – Badan Restorasi Gambut terpaksa tidak menambah pemasangan alat pendeteksi dini kekeringan lahan gambut di Sumatra Selatan pada tahun ini menyusul hilangnya fasilitas senilai Rp100 juta per unit di provinsi itu tahun lalu.
Padahal, alat pendeteksi yang diberi nama Sistem Pemantauan Air Lahan Gambut (Sipalaga) itu merupakan salah satu upaya Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mudah terjadi di tanah gambut.
Kepala Pokja Edukasi dan Sosialisasi Badan Restorasi Gambut (BRG), Suwignya Utama, mengatakan kehilangan 5 unit alat pemantau tinggi muka air itu baru pertama kali dialami pihaknya sejak pemasangan dilakukan pada 2018 lalu.
"Di tempat [daerah] lain belum tidak ada yang hilang, jadi untuk Sumsel tahun ini tidak ditambah dulu karena kehilangan 5 unit alat kemarin,” katanya di sela diskusi media capaian restorasi gambut di Sumsel, Kamis (28/2/2019).
Suwignya memaparkan alat pendeteksi itu dapat menjangkau kadar kekeringan gambut hingga seluas 30 hektare per unit.
Alat pemantau tinggi muka air itu akan merekam parameter tinggi muka air, kelembaban tanah dan curah hujan per 10 menit dan akan mengirimkan datanya setiap harinya ke sistem.
Baca Juga
Sementara itu, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna A. Safitri, mengatakan BRG telah memasang Sipulaga sebanyak 142 alat di tujuh provinsi yang memiliki lahan gambut di Tanah Air.
“Sumsel mendapat 21 alat, sebetulnya kebutuhan kita lebih banyak tetapi karena anggaran terbatas jadi bertahap,” ujarnya.
Myrna menjelaskan alat yang terkoneksi dengan sistem teknologi itu menjadi semacam pemantau tinggi muka air di tanah gambut. Manakala, terdeteksi tinggi mata air sudah rendah maka menjadi peringatan untuk antisipasi karhutla.
Menurut dia, BRG bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengembangkan sistem yang dapat mengukur kelembaban tanah gambut, tingkat curah hujan, suhu dan kelembapan udara serta arah dan kecepatan angin.
Dia mengemukakan alat pemantau tersebut 90% menggunakan komponen lokal, hanya bagian sensor saja yang diakui BRG masih impor.
Myrna menjelaskan sebetulnya, BRG telah memberikan pelatihan kepada masyarakat setempat untuk memelihara alat pendeteksi tersebut.
“Kami lakukan pendekatan ke masyarakat, baik melalui pelatihan maupun bimtek (bimbingan teknis),” ujarnya.