Bisnis.com, PADANG—Masyarakat Jorong Lubuk Labu yang daerahnya terpinggirkan di pedalaman hutan Sumatra, akhirnya kini sudah bisa menikmati listrik setelah 73 tahun Indonesia mereka.
Sudah lama, Anasrul, 46 tahun, warga Jorong Lubuk Labu, Nagari Banai, Kecamatan IX Koto, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat menanti adanya listrik yang menerangi kampungnya.
Lahir dan besar di kampung terpencil itu, dia hanya bisa bermimpi suatu saat ada listrik untuk penerangan di kampungnya. Sehingga, tidak perlu lagi membeli minyak tanah untuk lampu botol atau obor guna penerangan.
Sejatinya, dua jorong atau dusun di Nagari [desa] Banai tidak terlalu jauh dari ibukota Kabupaten Dharmasraya, yaitu Pulau Punjung yang dilalui jalan lintas Sumatra. Jaraknya kurang lebih hanya 70 kilometer dari pusat kota.
Dua jorong itu adalah Lubuk Labu dan Sungai Limau yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat di Kabupaten Solok Selatan (Sumbar) dan Kabupaten Kerinci (Jambi).
Tetapi, minimnya perhatian pemerintah selama ini, membuat akses ke nagari dengan 60 KK penduduk itu menjadi sangat sulit.
Jalanan sepanjang 70 kilometer harus ditempuh selama 4 jam perjalanan. Padahal normalnya di jalan beraspal, jarak demikian hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 1,5 jam saja.
Tidak hanya itu, untuk masuk ke Lubuk Labu, tidak bisa menggunakan kendaraan biasa, harus dengan mobil standar offroad agar kendaraan tidak terbenam lumpur di sepanjang jalan. Belum lagi tanjakannya yang curam dan bersisian dengan jurang.
“Tidak hanya listrik, jalan ke kampung kami juga susah. Harapan kami pemerintah memperhatikan keadaan kami,” kata Anasrul kepada Bisnis, Rabu (21/11/2018) lalu.
Dia mengaku keberadaan listrik sudah sangat lama dirindukan warga. Bahkan, warga sudah berinisiatif mengajukan pembangunan infrastruktur listrik ke pemerintah kabupaten setempat sejak 2008. Namun, tak kunjung diwujudkan.
Alhasil, sejak kampung itu mulai ditempati di periode awal kemerdekaan, warganya sudah terbiasa bergelap – gelapan karena ketiadaan listrik untuk penerangan.
Selama Indonesia merdeka, mereka mengandalkan penerangan dari obor minyak tanah atau lampu petromak. Baru sejak beberapa tahun lalu, daerah itu mendapatkan bantuan genset untuk menerangi kampung.
“Hidupnya [genset] hanya dari jam 6 sampai jam 10. Tidak bisa lama – lama karena minyaknya mahal. Kami iuran Rp80.000 per bulan untuk beli minyak,” ujarnya.
Anasrul bersyukur, kini listrik sudah masuk ke kampungnya, sehingga aktifitas warga bisa dipermudah dengan kehadiran listrik.
Anak- anak, imbuhnya, juga bisa dengan tenang belajar di malam hari, karena tidak harus cemas ketiadaan sumber penerangan.
Wali Jorong Sungai Limau Nagari Banai Musliadi mengatakan kehadiran listrik di daerahnya sangat membantu kehidupan masyarakat, dan tentu saja untuk jangka panjang akan berdampak terhadap perekonomian masyarakat.
“Jelas kami merasa sangat terbantu, dan tentu akan membantu meningkatkan perekonomian masyarakat,” katanya.
Dia mengharapkan, setelah jaringan listrik, pemerintah kembali memperhatikan kemudahan akses jalan ke kampungnya.
Sebab, Nagari Banai memiliki potensi bumi yang besar seperti karet, getah jonang, kayu, dan juga potensi wisata yang perlu dikembangkan.
Medan yang Sulit
Susiana Mutia, General Manager PT PLN (Persero) Wilayah Sumbar mengatakan melalui program listrik desa (Lisdes), perseroan membangun jaringan menuju daerah terpencil, yakni dua jorong atau dusun di Nagari Banai, yaitu Jorong Lubuk Labu dan Jorong Sungai Limau.
“Melalui program Lisdes, PLN menyambungkan jaringan listrik bagi 58 rumah di Jorong Lubuk Labu,” katanya.
Dia mengatakan Lubuk Labu adalah salah satu daerah tertinggal di Kabupaten Dharmasraya, karena posisinya yang berada paling ujung dan sulitnya akses jalan menuju daerah tersebut.
PLN, imbuhnya, butuh waktu tiga tahun untuk menyambungkan jaringan listrik ke pelosok daerah itu dengan lokasi jaringan terdekat yang berjarak 17 kilometer, karena sulitnya medan yang harus dilalui.
“Bagi masyarakat Jorong Lubuk Labu, ini lah kemerdekaan. Mereka bisa menikmati listrik separti saudara – saudara mereka di tempat lain,” ujarnya.
Dia mengatakan tidak mudah perjuangan untuk memberikan akses listrik kepada masyarakat setempat. Selain lokasinya yang sangat jauh dan berdekatan dengan kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), juga medan yang ditempuh sangat terjal.
“Tentu, kita bisa bayangkan bagaimana perjuangan petugas – petugas PLN untuk mengalirkan listrik ke desa sini,” katanya.
PLN mencatat program Lisdes tersebut, sekaliguskan meningkatkan rasio elektrifikasi di Sumbar yang sudah mencapai 92,3% per Oktober 2018, dari yang ditargetkan 91,59% di akhir tahun.
Artinya, PLN sudah berhasil melampaui target penyediaan rasio elektrifikasi di wilayah Sumbar. Tahun depan, perseroan mematok rasio elektrifikasi sebesar 100%.
Untuk Kabupaten Dharmasraya sendiri, rasio elektrifikasi sudah mencapai 90,11% per Oktober, dengan rasio desa berlistrik sudah 100%.
Perseroan, imbuhnya, akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur jaringan listrik di tiga daerah tertinggal Sumbar, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kabupaten Solok Selatan.