Bisnis.com, MEDAN – Penetapan upah minimum provinsi (UMP) Sumatera Utara 2019 sebesar Rp2.3 juta mendapat reaksi yang berbeda dari kalangan buruh dan juga pelaku usaha.
Seperti diketahui, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi telah meneken Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/1365/KPTS/2018 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Sumatera Utara tertanggal 30 Oktober.
Sesuai surat tersebut, kenaikan UMP Sumut 2019 diatur sebesar Rp171.214 dari posisi tahun sebelumnya Rp2.132.188.66 atau sekitar 8,03%.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Sumut Harianto Butar-Butar menyatakan aturan tersebut akan mulai efektif berlaku pada Januari 2019. “Sesuai surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan juga PP 78, UMP Sumut 2019 telah ditetapkan menjadi Rp2.303.403,43 naik 8,03%,” katanya kepada Bisnis, Kamis (1/11/2018).
Dia menuturkan, aturan tersebut diimplementasikan mulai awal Januari 2019. Namun, untuk penerapannya dapat disesuaikan dengan kondisi di masing-masing kabupaten/kota. Pembahasan Upah Minimum Kota dilakukan paling lama pada 21 November.
“Setelah penetapan UMP, kabupaten kota dikasih tenggang waktu sampai November untuk rapat, lalu nanti hasilnya diajukan ke Gubernur,” ujarnya.
Baca Juga
Harianto menambahkan, perusahaan yang tidak mengikuti standar upah minimum tersebut akan dikenakan sanksi, mulai dari teguran hingga sanksi penutupan usaha.
Dihubungi terpisah, elemen buruh yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) mengungkapkan kekecewaannya atas penetapan UMP 2019 sebesar Rp2,3 juta.
Menurut Ketua FSPMI Sumut Willy Agus Utomo mengatakan, penetapan UMP ini sudah melanggar Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Upah Layak Bagi Kaum Pekerja Buruh. Dalam UU itu, penetapan UMP harus berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) yang dihitung atas kebutuhan sandang, pangan dan papan.
“Hitungan kami setelah melakukan survei kebutuhan hidup layak di Sumut, maka upah buruh itu harusnya ada di angka Rp2,9 juta. Karena itu kami meminta UMP Sumut dinaikkan menjadi Rp2,8 juta,” katanya.
Dia berharap Gubernur Sumut Edy Rahmayadi segera menarik kembali keputusan penetapan UMP Sumut 2019 dan melakukan revisi dengan mendengarkan aspirasi kaum buruh dan pekerja.
“Kami meminta Gubernur Sumut dalam hal ini Bapak Edy Rahmayadi yang baru dilantik, peduli dan peka dengan kesejahteraan buruh,” ujarnya.
Willy mengungkapkan, jika Pemprov Sumut tetap memaksakan angka itu untuk UMP baru, maka buruh tidak akan tinggal diam dan akan menempuh berbagai upaya agar aspirasinya didengar pemerintah. Salah satunya dengan melayangkan gugatan ke PTUN dan Mosi tidak percaya kepada Gubsu yang baru.
“Selain itu, kami juga akan menggelar demonstrasi Aksi Bela Upah setiap Senin di depan kantor gubernur. Bahkan kita akan membuat gerakan mosi tidak percaya kepada Gubsu," ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Apindo Sumut Laksamana Adiyaksa mengatakan bahwa UMP merupakan jaring pengaman untuk kabupaten dan kota yang belum atau tidak menetapkan UMK, jadi untuk buruh dan pekerja.
Dia menyoroti khusus untuk wilayah Medan dan Deli Serdang, yang merupakan daerah industri, bukan UMP yang akan diberlakukan oleh pelaku usaha, melainkan UMK yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan UMP.
“Kami mengimbau agar para buruh memahami sistem pengupahan. Kalau rekan pekerja di Medan dan Deli Serdang yang demo terkait dengan UMP adalah salah sasaran, karena mendemo sesuatu yang tidak ada pengaruhnya dengan mereka. Kami imbau rekan pekerja dan buruh lebih arif dan berpikir jernih serta jangan mudah terpancing oleh pihak yang melakukan provokasi dengan maksud dan tujuan lain.”