Bisnis.com, MEDAN – Kepesertaan tenaga kerja untuk mengikuti program perlindungan menyeluruh di wilayah Sumatra Bagian Utara (Sumbagut), menurut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) belum maksimal, sehingga perlu ditingkatkan. BPJS-TK Wilayah Sumbagut menargetkan penambahan kepesertaan 1,49 juta tenaga kerja. Berikut wawancara Bisnis dengan Kepala Kantor Wilayah BPJS-TK Sumbagut, Umardin Lubis.
Bagaimana kepesertaan BPJS-TK di wilayah yang Bapak pimpin?
Kalau berbicara kepesertaan, itu ada peserta penerima upah (PU), bukan penerima upah (BPU), dan jasa konstruksi. Wilayah kami ada dua yakni Aceh dan Sumatra Utara. Di Aceh, orang yang bekerja lebih kurang 1,6 juta pekerja, dan yang menjadi peserta secara keseluruhan sekitar 30%. Masih ada gap, dan itu umumnya pekerja yang bukan penerima upah.
Kalau di Sumut, ada 4,3 juta pekerja, dan yang menjadi peserta lebih kurang 1,9 juta peserta. Berarti gap ada 2,4 juta. Artinya yang sudah menjadi peserta di Sumut lebih kurang ada 40%. Jadi saat ini kami fokus kepada sektor UKM. Untuk itu, kami akan kerja sama dengan Bank Indonesia karena mereka memiliki binaan UKM, dan kerjasama dengan Dinas Koperasi di masing-masing propinsi dan kabupaten/kota.
Baru-baru ini, BPJS-TK meresmikan beberapa Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di wilayah Sumbagut, berapa target pembentukan desa-desa tersebut?
Harapannya sampai akhir tahun ada 30 desa se-Sumut dan Aceh yang kami branding sebagai Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan se-Sumut dan Aceh. Ini bertujuan agar masyarakat lebih dekat dengan program BPJS-TK. Kita tahu masyarakat tinggalnya di perdesaan, walaupun pekerja formal, pekerja informal, pekerja di jasa konstruksi, tinggalnya di perdesaan.
Yang kami prospek sekarang daerah di pinggir perkotaan dulu, di situ memang kantong-kantong pekerja. Sosialisasi ke perangkat desanya dulu agar mereka paham program BPJS-TK. Harapannya mereka menjadi duta BPJS-TK di desa-desa. Kalau perangkat pemerintah yang diwakili desa saja sudah paham otomatis warganya bisa tersosialisasikan. Jadinya semua pekerja yang ada di desa itu kami harapkan bisa ikut program.
Untuk sosialisasi dan menaikkan brand BPJS-TK kepada masyarakat, kami membuat kegiatan senam bersama, lokasi berpindah-pindah seperti di Stadiun Teladan Medan dan Tanjung Morawa. Seluruh pegawai kami gerakkan, undang masyarakat, serikat pekerja, dan perusahaan.
Apa saja tantangan memperluas kepesertaan di sektor informal?
Sekarang kami ditargetkan meraih 150.000 tenaga kerja di sektor informal. Kalau saat ini baru mencapai 60.000-an peserta, memang berat karena fluktuasi tinggi. Sebentar mau menjadi peserta, sebentar tidak. Ini karena kami tidak memberikan sangsi kepada mereka, jadi kalau mereka tidak bisa membayar itu masih ada toleransi dari BPJS-TK, tidak menjadi hutang turunan.
Tantangannya banyak, salah satunya untuk mengkomunikasikannya ke pekerja informal. Kalau perusahaan sudah ada garis komando yang memerintah untuk membayar, kalau di komunitas belum tentu. Untuk itu perlu kerjasama yang bisa mengikat, misalnya kerjasama dengan perbankan.
Dari sisi kemampuan membayar?
Sebetulnya kemampuan ada, kemauan saja yang kurang. Kalau mereka menyisihkan iuran satu bulan, besarnya itu Rp16.800, atau Rp 5.00 per hari. Kami berfikir untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak lain. Salah satunya ke desa, kami berkolaborasi dengan perangkat desa, kemitraan dengan perbankan. Jadi strateginya, salah satunya dengan membangun kemitraan, membangun kanal-kanal distribusinya.
Selain sektor informal, bagaimana dengan perluasan kepesertaan terhadap non aparatur sipil negara (Non-ASN), mengingat BPJS-TK saat ini juga gencar membidik pekerja di pemerintahan?
Non ASN sekarang juga menjadi fokus kami, semua orang yang bergerak/bekerja di pemerintahan tetapi bukan pegawai negeri, yakni pegawai pemerintah non PNS. Di samping itu juga ada perangkat desa di hampir seluruh kabupaten. Cabang-cabang kami bergerak mengarah ke situ. Kalau di Aceh misalnya, satu desa bisa sampai 11 orang (perangkat) termasuk kepala desa, LKMD, geucik [kepala desa], bumdes. Ini memang kami galakkan, termasuk kami mengarah ke desa binaan, Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Berapa banyak pemda yang belum mengikutkan pegawai Non-ASN ke dalam program perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan?
Di wilayah ini, sekitar 40% yang belum. Kabupaten pemekaran yang agak sulit karena jangkauan jauh, belum dianggarkan di APBD dan ketidakpahaman mereka, serta merasa kontribusi non ASN ini kecil. Harapan kami, pekerja Non ASN mendapat perlindungan dan itu dianggarkan di dalam APBD. Saat ini status non ASN ini kan menggantung.
Apa strategi atau program baru untuk memacu kinerja di wilayah Sumbagut?
Kami mempunyai program ke depan ingin inventarisasi kepesertaan. Kami sedang mempersiapkan perangkatnya. Data yang kami miliki akan kami kelola, akan mappingsehingga memudahkan untuk meningkatkan kepesertaan. Tahun ini persiapan data, aplikasi sedang kami bangun, harapannya 2018 sudah bisa kami manfaatkan. Artinya di era digitalisasi saat ini kami memanfaatkan teknologi. Ini inovasi yang baru dari Kantor Wilayah Sumbagut. Kami kerjakan secara internal, memanfaatkan sumber daya yang ada.
Per Agustus 2017, BPJS-TK diamanatkan untuk memberikan perlindungan bagi para TKI, bagaimana perkembangan di wilayah ini?
Untuk TKI, tidak semua kabupaten/kota ada agen penyalur tenaga kerja Indonesia. Kami sudah menugaskan Kantor Cabang Medan Utara untuk melayani program perlindungan TKI ini. Sejak 1 Agustus hingga posisi 28 Agustus lalu jumlah peserta ada 1.300 orang. Dalam program ini, TKI mendapat perlindungan selama 24 bulan mulai dari masa pelatihan, keberangkatan, bekerja dan kepulangan, kalau terjadi risiko itu ditanggung BPJS-TK. Iurannya Rp 365.000, sekali bayar.
Benefit lain, kalau terjadi risiko meninggal dunia atau kecelakaan kerja yang mengakibatkan meninggal dunia, anak TKI tersebut akan disekolahkan hingga jenjang kuliah.
Potensinya seberapa besar?
Menurut info dari BNP2TKI, rata-rata bisa 12.000 orang per tahun se –Sumatra.
Apa harapan selama memimpin wilayah ini? Apa visi yang ingin dicapai?
Kalau saya banyak [harapannya]. Inginnya seluruh pekerja terdaftar sebagai peserta BPJS-TK, lalu karena era berganti dari Jamsostek ke BPJS-TK harapannya agar brand BPJS-TK di Sumbagut dapat lebih dikenal masyarakat, salah satunya kami keluar (jemput bola), agar gaungnya lebih kuat. Karena pemahaman masyarakat sejauh ini masih lekat dengan BPJS Kesehatan ketimbang BPJS-TK. Lalu prinsip saya semua mengikuti era digitalisasi, baik bisnis proses hingga aspek pelayanan kepada peserta.