Bisnis.com, JAKARTA – Penggabungan nomenklatur dinas perkebunan dengan dinas lain di daerah dituding memberi andil terhadap kelambanan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO perkebunan sawit.
Kepala Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat menilai penggabungan itu membuat urusan perkebunan kurang mendapat perhatian. Dia memberi contoh, surat tanda daftar budidaya (STD-B) ditangani oleh kepala seksi, bukan oleh kepala dinas, sehingga prosesnya lama.
"Pada saat yang sama, tidak ada alokasi anggaran untuk ISPO pada disbun provinsi dan kabupaten. Sumber daya manusianya pun terbatas," katanya di Kementerian Pertanian, Selasa (29/8/2017).
Azis menilai secara keseluruhan pemerintah daerah belum sepenuhnya berperan a.l. atas penilaian kelas kebun, fasilitasi dan pembinaan, penerbitan STD-B dan surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL), serta pembentukan dan pengembangan koperasi pekebun.
Memang, cakupan tampak luas jika dilihat dari segi jumlah perusahaan yang mengikuti sertifikasi. Dari jumlah laporan hasil audit (LHA) yang diterima Sekretariat Komisi ISPO sebanyak 376 laporan dari pelaku usaha hingga 28 Agustus, 306 di antaranya atau 81% telah diakui sertifikasi ISPO-nya.
Sisanya masih dalam verifikasi atau ditunda karena status lahannya belum clean and clear. Dari 306 sertifikat itu, 304 di antaranya milik perusahaan sawit, sedangkan sisanya masing-masing dimiliki asosiasi petani plasma dan koperasi petani swadaya.
Namun dari sudut luas kebun, sertifikat ISPO baru menjangkau 16,7% atau 1,9 juta hektare dari total luas kebun sawit di Indonesia yang mencapai 11,9 juta ha. Luas kebun tersertifikasi itu setara 8,1 juta ton minyak sawit mentah (CPO).
Kendati demikian, Azis mengakui penyebab kelambanan sertifikasi juga berasal dari internal lembaga sertifikasi ISPO dan Komisi ISPO. Menurut dia, SDM verifikator LHA ISPO dan anggaran terbatas. Akibatnya, kualitas LHA ISPO masih ada yang belum sesuai prinsip dan kriteria ISPO.
"Pemahaman dan pendalaman prinsip dan kriteria ISPO oleh auditor belum sesuai harapan sehingga masih banyak LHA yang dikembalikan kepada lembaga sertifikasi untuk dilengkapi auditor dan pelaku usaha dengan waktu pengembalian yang cukup lama," ungkapnya.
Selain itu, penyiapan bahan laporan penilaian akhir (LPA) untuk pembahasan laporan audit ISPO oleh tim penilai maupun Komisi ISPO belum optimal. Penyebabnya adalah lagi-lagi keterbatasan SDM verifikator dan anggaran Sekretariat ISPO, di samping alokasi waktu yang menyesuaikan agenda pejabat tim penilai dan Komisi ISPO.
Di sisi lain, penyelesaian penundaan persetujuan sertifikasi ISPO memerlukan waktu lama, a.l. karena tersandera masalah aspek legalitas kebun, yakni apakah status kawasan itu HGU, pelepasan kawasan hutan atau sengketa; pengelolaan lingkungan, seperti belum memiliki izin land application, limbah B3, proper merah; indikasi sebagian lahan sawit pekebun swadaya di kawasan hutan dan gambut; belum mempunyai legalitas lahan dan STD-B; serta belum membentuk koperasi.