Bisnis.com, MEDAN - Sejumlah pihak mempertanyakan sikap Pemerintah yang dinilai tidak adil dalam penyelesaian sengketa lahan Register 40 di Sumatra Utara.
Dana Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara menuturkan pihaknya menangkap kesan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak transparan dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA).
"KLHK tidak menerapkan perlakuan yang sama terhadap perusahaan-perusahaan lain yang kami tengarai melanggar penggunaan fungsi lahan di Register 40," ujarnya, Selasa (22/8/2017).
Walhi Sumut, kata dia, menilai ada banyak hal yang disembunyikan oleh KLHK terkait dengan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang saat ini masih mengelola lahan di register 40.
Jika penilaian itu tidak benar, makan dia meminta KLHK untuk menindak semua perusahaan yang masih menggunakan lahan Register 40 tetapi tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Ini perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa Pemerintah bertindak adil dan tidak hanya menindak satu perusahaan saja, yakni PT Torganda, tetapi juga perusahaan lain, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Semua perusahaan yang salah harus ditindak dan diperlakukan sama di lahan Register 40. Kalau ada yang dikelola masyarakat, maka itu termasuk reformasi agraria untuk dibagikan ke masyarakat."
Namun, lanjutnya, jika ada perusahaan yang masih mengelolanya secara ilegal, maka tanah itu harus diambilalih KLHK untuk dikembalikan ke negara dalam kondisi yang sudah dihutankan kembali.
"Jangan sampai pemerintah yang keluar uang (untuk menghutankan kembali), itu juga tidak adil."
Walhi Sumut sendiri mencatat ada 29 perusahaan yang saat ini masih menguasai lahan Register 40.
Mereka adalah PT FMP (14.853 ha), PT Wonorejo (7.892 ha), PTPN IV (10.000 ha), PT SSPI (5.500), Koperasi Bukit Harapan (dieksekusi) (23.450 ha), KTPS (14.000 ha), PT AML (21.000 ha), Koperasi Langkimat (14.000 ha), PT SSL (33.390 ha), PT EPS (9.833 ha), PT KM (2.000 ha), PTPN II (10.000 ha), PT Rapala (10.300 ha) dan PT Inhutani IV (19.500 ha).
Kemudian Koperasi Parsub (17.000 ha), Kelompok Masyarakat (10.000 ha), KUD Sinar Baru (3.000 ha), KUD Serba Guna (3.000 ha) (sudah memiliki sertifikat), Koperasi KPN (1.500 ha), PT Rispa (5.000 ha), Transmigrasi (7.135 ha), PT SKL (82.502 ha), PT CP (2.000 ha), PT MAI (10.781 ha), PT KAS (4.870 ha), PT HBP (4.000 ha), PT AMKS (4.500 ha), PT AMKS (4.500 ha dan PT Jerman (300 ha).
Namun, lanjutnya, selama ini yang mencuat hanya kasus lahan 47 ribu hektare yang dikelola PT Torganda. Padahal, dalam hitung-hitungan Walhi Sumut, jumlah dana yang bisa terkumpul dalam satu siklus tanam sawit dari lahan yang dikelola Torganda bisa mencapai Rp7,8 triliun dan harus dipertanggungjawabkan juga kepada publik.
"Perintah putusan MA dieksekusi semuanya, kemudian perusahaan diberikan waktu satu siklus tanam sawit, kemudian dihutankan kembali. Nah, uang yang satu siklus tanam tersebut kan seharusnya dikembalikan ke negara. Kalau menurut hitungan kita sudah mencapai Rp 7,8 triliun, siapa yang pegang?" tanya Dana.
Menurutnya, jika uang tersebut belum dibayar oleh PT Torganda, maka pemerintah harus memintanya dan bila tidak, hal itu termasuk kerugian negara.
Seperti diketahui, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 2642/K/PID/2006, yang sudah berkekuatan hukum tetap, memutuskan DL Sitorus bersalah melakukan penguasaan terhadap hutan negara lewat perusahaannya, PT Torganda dan PT Torus Ganda.
Putusan kasasi itu menyebutkan, pertama, Perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 23.000 ha yang dikuasai Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan dan PT Torganda beserta seluruh bangunan yang ada di sana, dirampas untuk negara lewat Departemen Kehutanan.
Kedua, Perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 24.000 ha yang dikuasai Koperasi Parsadaan Simangambat Ujung Satu dan PT Torus Ganda beserta seluruh bangunan yang ada di sana, juga dirampas untuk Negara lewat Departemen Kehutanan.
Terpisah, Sutrisno Pangaribuan, Anggota Komisi C DPRD Sumatra Utara juga menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan diskriminasi dalam penanganan masalah ini.
"Kami sudah sarankan untuk diselesaikan semua, tidak hanya perusahaan DL Sitorus saja (PT Torganda). Ada puluhan perusahaan di sana, baik yang swasta maupun BUMN. Kami sudah sampaikan berkali-kali, kenapa hanya DL Sitorus saja yang dieksekusi Kejaksaan."
Dia juga mengaku menemukan sekitar 29 perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan Register 40 saat melakukan kunjungan di lapangan. Ia mempertanyakan kenapa hanya Koperasi Bukit Harapan dan KUD Serba Guna di bawah PT Torganda yang diburu KLHK.
Anggota DPRD Sumut lainnya, Aripay Tambunan, menilai meninggalnya DL Sitorus membuka fakta bahwa KLHK tidak berhasil menciptakan iklim kompetisi yang adil dan transparan bagi pengusaha di bidang perkebunan.
"KLHK hanya fokus menindak satu perusahaan di antara sekian perusahaan yang bermasalah di lahan register 40."
Jika pemerintah ingin tegas, lanjut dia, seharusnya semua perusahaan atau pengusaha yang melakukan usaha di lahan Register 40 ditindak tegas jika melanggar aturan.
Seharusnya Menteri KLHK Siti Nurbaya berada di posisi netral, tidak berpihak pada kepentingan tertentu. Dan dia bisa menjelaskan secara gamblang kepada publik, siapa saja pihak-pihak yang tidak memenuhi persyaratan mengelola lahan di Register 40.