Bisnis.com, PADANG - Pengamat ekonomi dan juga Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kebijakan tarif 0% untuk impor dari Amerika Serikat harus realistis dalam menilai ancamannya.
Hal yang paling disorot Syafruddin adalah produk yang impor itu merupakan komoditas pangan, yang artinya pangan yang masuk ke pasar Indonesia bukanlah hasil panen dari petani kecil di tanah air yang bekerja di ladang 2 atau 3 hektare, seperti yang banyak dijumpai di desa-desa.
"Jadi yang masuk adalah produk korporasi raksasa pertanian di AS entitas besar yang mendapat subsidi negara dalam skala masif. Hal tidak bisa dianggap sepele, nasib petani atau produksi dalam negeri perlu diperhatikan juga oleh pemerintah kita," katanya, Senin (21/7/2025)
Dia menyebutkan pemerintah AS menyuntikkan miliaran dolar setiap tahun ke dalam sistem pertaniannya, mulai dari subsidi langsung, asuransi hasil panen, hingga program pembelian surplus yang menjaga harga tetap menguntungkan bagi korporasi.
"Nah, ini adalah mesin produksi pangan industri, bukan sistem pertanian rakyat seperti yang kita miliki," ujarnya.
Menurutnya agenda swasembada pangan yang selama ini menjadi cita-cita nasional tidak akan pernah terwujud jika negara membiarkan produk pangan murah dan bersubsidi dari luar negeri membanjiri pasar domestik.
Baca Juga
Tanpa proteksi terhadap produksi lokal, ucap Syafruddin, petani akan kehilangan insentif untuk menanam, lahan akan terbengkalai, dan ketergantungan terhadap impor akan makin dalam.
"Ironisnya, kita sedang berusaha menekan defisit perdagangan pangan, tetapi kebijakan ini justru berpotensi memperlebar jurang tersebut," tegasnya.
Menghadapi situasi itu, dia memberikan saran kepada pemerintah untuk harus segera merumuskan kebijakan strategis yang melindungi agenda swasembada pangan dari ancaman kesepakatan tarif 0% atas impor pangan dari Amerika Serikat.
Selanjutnya, langkah pertama yang mendesak adalah memperkuat fondasi produksi dalam negeri melalui peningkatan produktivitas petani lokal. Dimana negara perlu hadir dengan memberikan subsidi input produksi seperti benih, pupuk, dan alat pertanian modern, agar biaya produksi tidak membebani petani kecil.
"Kondisi yang terlihat saat ini mayoritas hanya menguasai lahan di bawah 1 hektare," sebutnya.
Selanjutnya Syafruddin menyampaikan sistem pascapanen juga harus dibenahi secara sistematis, agar produk lokal tidak kalah bersaing karena kerugian kualitas dan tingginya biaya distribusi.