Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soal Rencana Moratorium Ekspor Kelapa, Ini Tanggapan KPPU

KPPU menanggapi terkait rencana pemerintah untuk moratorium ekspor kelapa sebagai respons terhadap lonjakan harga akibat tingginya permintaan dari Tiongkok.
Perkebunan kelapa yang ada di Pasir Jambak, Kota Padang, Sumatra Barat, Rabu (23/4/2025). Bisnis/Muhammad Noli Hendra
Perkebunan kelapa yang ada di Pasir Jambak, Kota Padang, Sumatra Barat, Rabu (23/4/2025). Bisnis/Muhammad Noli Hendra

Bisnis.com, PADANG - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menanggapi terkait rencana pemerintah untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara ekspor kelapa sebagai respons terhadap lonjakan harga akibat tingginya permintaan dari pasar Tiongkok.

Kepala Kanwil I KPPU Ridho Pamungkas menyampaikan ada beberapa catatan penting terkait dampak kebijakan tersebut terhadap struktur pasar dan dinamika persaingan usaha dalam negeri.

Menurutnya kebijakan moratorium ekspor dapat memberikan ruang bagi stabilisasi harga kelapa di pasar domestik. Bagi Industri hilir dalam negeri seperti produsen minyak kelapa, tepung kelapa, santan, dan makanan olahan, moratorium ekspor bisa menurunkan biaya bahan baku kelapa di pasar domestik karena pasokan meningkat. 

"Bagi masyarakat, dengan harga yang lebih stabil atau menurun, daya beli masyarakat terhadap kelapa maupun produk turunan kelapa juga bisa meningkat," katanya, Jumat (25/4/2025).

Namun disisi lain, penghentian ekspor bisa berdampak negatif terhadap petani kelapa dan eksportir, terutama yang berskala kecil. Dimana para petani kelapa di Kabupaten Asahan misalnya, menyambut baik kenaikan harga kelapa dalam beberapa bulan terakhir karena memberikan peningkatan penghasilan yang signifikan. 

"Jadi dengan adanya rencana moratorium ekspor menimbulkan kekhawatiran akan jatuhnya harga kelapa," ujarnya.

Ridho menilai pemerintah melalui Kemenko Perekonomian sudah cukup berhati-hati untuk mempertimbangkan berbagai masukan dalam mengatur ekspor agar tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga tetap menjaga keseimbangan antara pasokan dalam negeri dan kebutuhan pasar global. 

KPPU Wilayah I yang membawahi Provinsi Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau dan Kepulauan Riau, ini berpendapat dengan demikian industri dalam negeri tetap memiliki pasokan yang cukup, sementara petani masih bisa menikmati keuntungan dari pasar ekspor.

Dia berharap pemerintah juga dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengembangkan industri pengolahan kelapa di dalam negeri ketimbang mengekspor bahan mentah.

Terutama dalam membuka akses pasar lokal yang lebih adil, menyediakan fasilitas pengolahan hasil panen, dan memberi pendampingan agar petani tidak hanya bergantung pada penjualan kelapa mentah

"Inovasi produk turunan kelapa juga harus dikembangkan," tegasnya.

Data dari Gabungan Pengusaha Nata de Coco Indonesia mencatat adanya potensi kerugian devisa negara sebesar Rp79,65 triliun yang disebabkan oleh 3,68 juta ton air kelapa yang terbuang percuma pada proses pengolahan kopra atau daging kelapa kering. 

Tentunya jika diolah dengan baik, kata Ridho, kelapa tidak hanya menjadi komoditas ekspor primer, tetapi juga sumber nilai tambah yang besar bagi ekonomi nasional. 

Dalam konteks persaingan usaha, pada kondisi saat ini, KPPU Kanwil I juga menyoroti kemungkinan pelaku usaha besar yang melakukan penumpukan atau pembelian besar-besaran di tengah sulitnya pasokan. 

Dia berpendapat hal tersebut bisa menimbulkan distorsi pasar dan mematikan persaingan, terutama jika pelaku usaha dominan memanfaatkan kondisi ini untuk menguasai bahan baku.

Menurut Ridho, pasar kelapa mentah di tingkat petani dikuasai oleh segelintir pengepul besar dan pedagang pengumpul. Petani berada di posisi lemah dalam negosiasi harga, terutama karena minimnya akses pasar langsung dan ketergantungan pada jaringan distribusi lokal. 

Artinya dalam kondisi lonjakan harga global seperti sekarang, margin keuntungan justru lebih besar dinikmati oleh eksportir atau trader besar, bukan petani.

Dikatakannya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat di tengah lonjakan harga kelapa, diperlukan transparansi rantai pasok dengan membuka informasi atau referensi harga dan informasi rantai distribusi dari hulu ke hilir, mendorong kelembagaan petani melalui koperasi dan kelembagaan ekonomi petani agar bisa menjual langsung ke industri/pasar ekspor atau melalui program kemitraan usaha yang adil. 

"Kami dari KPPU juga terus mengantisipasi adanya praktik penimbunan, kartel, atau penguasaan bahan baku oleh segelintir pelaku besar," tutup Ridho.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ajijah
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper