Bisnis.com, PEKANBARU -- Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melanda ribuan tenaga kerja di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) pada awal 2025 menuai perhatian serius dari berbagai kalangan, termasuk akademisi.
Ekonom Universitas Riau Edyanus Herman Halim memperingatkan PHK sebanyak 3.128 pekerja, khususnya dari PT Pulau Sambu dan PT RSUP Pulau Burung, dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi di Riau akibat penurunan daya beli masyarakat.
“Akan ada pengurangan permintaan konsumsi masyarakat karena mereka yang di-PHK tidak lagi mendapat uang gaji untuk berbelanja. Kondisi ini dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya, Kamis (10/4/2025).
Dirinya menekankan hilangnya pendapatan pekerja akan berdampak domino pada sektor perdagangan dan jasa di wilayah tersebut, yang menjadi salah satu penopang ekonomi lokal. Edyanus mengingatkan perlunya intervensi cepat untuk menahan pelemahan ekonomi.
“PHK massal ini bukan hanya masalah ketenagakerjaan, tetapi juga sinyal bahwa ketahanan ekonomi Riau terhadap guncangan sektor primer seperti kelapa masih rapuh. Perlu diversifikasi ekonomi dan dukungan langsung kepada pekerja terdampak agar daya beli tidak terus tergerus,” tegasnya.
Meski situasi mulai membaik pada Maret 2025 dengan tidak adanya PHK baru di Inhil dan PT Pulau Sambu memulai rekrutmen ulang, Edyanus menilai dampak ekonomi jangka pendek tetap signifikan.
Baca Juga
“Meskipun ada rekrutmen ulang, data pekerja yang kembali bekerja belum jelas. Ketidakpastian ini bisa memperpanjang penurunan konsumsi masyarakat,” tambahnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau Boby Rachmat sebelumnya telah mengonfirmasi PHK massal ini terjadi pada Februari 2025, dengan total 3.128 pekerja terdampak.
“Kontribusi terbesar berasal dari PT Pulau Sambu dan PT RSUP Pulau Burung di Indragiri Hilir,” ungkap Boby.
Penyebab utama PHK ini adalah anjloknya produksi kelapa hingga 50%, dari biasanya 10.000 butir per hektare menjadi hanya 5.000 butir, bahkan kurang.
“Ini dipicu oleh trek atau masa tidak berbuah yang parah, ditambah cuaca ekstrem seperti El Nino, tanaman kelapa tua, dan intrusi air laut,” jelasnya.
Boby sendiri mengakui data pasti pekerja yang direkrut kembali belum diterima dari perusahaan, meskipun proses tersebut telah dimulai.
Gubernur Abdul Wahid juga telah menyoroti penyebab struktural di balik krisis ini. Dirinya menyebut metode pertanian tradisional yang masih digunakan petani Inhil kurang adaptif terhadap perubahan iklim, sehingga memperburuk produktivitas. “Masyarakat masih tradisional, perlu ada peremajaan kelapa yang sudah tua,” katanya.
Untuk itu, Pemprov Riau telah berkoordinasi dengan Dinas Perkebunan guna merancang program peremajaan tanaman kelapa sebagai solusi jangka panjang, sambil meminta PT Sambu Grup tetap beroperasi demi menjaga stabilitas ketenagakerjaan.
Pemerintah provinsi dan Disnakertrans Riau terus memantau situasi ini untuk memastikan hak pekerja terpenuhi dan stabilitas tenaga kerja pulih.
Namun, tantangan besar tetap ada, terutama bagi industri kelapa yang menjadi tulang punggung Inhil. Harapan kini tertumpu pada efektivitas solusi jangka pendek dan panjang agar roda ekonomi lokal tidak semakin terpuruk akibat gelombang PHK ini.