Bisnis.com, PADANG PARIAMAN - Puluhan tahun yang silam, suara raungan gergaji mesin tidak asing terdengar di kawasan hutan yang ada di Nagari/Desa Salibutan Lubuk Alung, Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat.
Hari demi hari, satu per satu pohon yang ada di dalam hutan tersebut tumbang, dan hal itu dilakukan secara sadar oleh oknum masyarakat setempat. Alasan mereka cuma satu, hasil hutan tersebut sudah menjadi sumber mata pencaharian.
Hal yang tidak habis pikir, penebangan pohon di hutan itu seakan luput dari pantauan pihak yang berwenang. Sehingga membuat oknum masyarakat bertindak secara leluasa untuk menumbangkan pohon-pohon yang di hutan Salibutan tersebut.
Desa ini berada di kaki Bukit Barisan I yang merupakan lokasi hutan lindung. Luas Desa Salibutan mencapai 265.337 hektare dengan jumlah penduduk 500 Kepala Keluarga (KK).
Terdapat 60% dari luas wilayah Silabutan merupakan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Lindung.
Sebelah selatan dan barat di Desa Salibutan ini, berbatasan dengan Desa Lubuk Alung, sebelah utara dengan Desa Pasie Laweh, dan sebelah timur berdekatan dengan Kabupaten Solok.
Baca Juga
Bicara soal hutan, alam di Desa Salibutan ini dikelilingi aliran sungai yang begitu bersih. Deru air yang mengalir deras dan udara yang terasa asri menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan di desa ini.
Namun bila kondisi pembalakan liar tidak segera dihentikan di desa Salibutan, keindahan alam di desa itu bisa lenyap dimakan gergaji mesin.
Kondisi ini, yang membuat seorang anak desa Salibutan Lubuk Alung, Ritno Kurniawan yang terketuk hatinya untuk menyelamatkan hutan di kampung halamannya itu.
Situasi tersebut, bermula pada tahun 2013, disaat Ritno menyelesaikan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Yang namanya baru pulang ke kampung halaman, selain rindu keluarga, hal lain yang saya rindukan itu, pergi ke tempat bermain bersama teman-teman dulu, ya ada kawasan hutan dan mandi di sungai. Tapi, ketika saya masuk ke hutan, loh banyak sisa potongan kayu," kata Ritno, Senin (16/9/2024)
Mengetahui dan melihat kondisi dan situasi yang demikian, terbesit di pikirannya untuk mengubah hutan di kampung halamannya itu agar terlihat hijau kembali, dan mencarikan solusi agar masyarakat tidak berpikir harus merusak hutan untuk bisa mendapatkan uang.
"Hal seperti ini tidak bisa dibiarkan," begitu kata hati Ritno.
Keinginan Ritno ini, didasari atas kekhawatirannya tentang keberlangsungan alam di desanya tersebut.
Menurutnya bila kondisi tersebut tidak segera diperbaiki, hutan di Salibutan bakal gundul, masa depan di desa yang dulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu kecilnya, bisa berubah menjadi perkampungan yang gersang.
"Saya tidak ingin, hutan di desa ini lenyap, jika tidak dari sekarang kita ubah kondisi yang terjadi itu, taruhannya adalah masa depan anak-anak saat ini," katanya.
Perjalanan Ritno pun dimulai untuk menyelamatkan hutan di kampung halamannya itu. Langkah kecil Ritno ini awalnya ada keraguan, mengingat kegiatan ilegal tersebut sudah menjadi sumber mata pencaharian utama oleh masyarakat setempat.
"Saya harus hati-hati untuk memulai rencana menghentikan penebangan pohon di hutan itu. Jadi dengan keyakinan yang saya miliki, saya memulai melangkah untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat, itu lah langkah perdana saya," jelasnya.
Kendati ada rasa khawatir dan ragu terkait keinginannya mengumpulkan seluruh warga untuk membahas menghentikan mengambil kayu di hutan Salibutan, hati Ritno berkata bahwa upaya tersebut akan membuahkan hasil yang baik pada masanya.
"Jadi saya pun mulai musyawarah dengan masyarakat. Hasilnya sesuai kekhawatiran saya, ide dan rencana saya untuk menyelamatkan hutan Salibutan ditolak masyarakat, bahkan ada yang memandang remeh atas rencana saya itu," ujar dia.
Langkah awal yang kurang baik. Tapi semangat Ritno tidak berakhir di sana, perlahan-lahan dan tahap demi tahap, Ritno terus melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat.
Sembari proses pendekatan dilakukan, Ritno merasa perlu untuk mengetahui lebih dalam kondisi hutan Salibutan tersebut. Sehingga dia mencoba memasuki hutan Salibutan bersama sejumlah teman-temannya.
Namun, apa yang ditemukan Ritno ketika itu, hanyalah sebuah suasana yang sedih. Hatinya terasa pilu, pandangannya tertuju pada hamparan hutan Salibutan yang terdapat sisa penembangan pohon, kayu-kayu, dan ranting-ranting muda berserakan. Sisa serbuk potong kayu dari gergaji mesin bertebaran.
"Padahal, hutan itu menyimpan sejuta kenangan bagi perjalanan hidup saya di waktu anak-anak dulu," sebutnya.
Perburuan tanaman buah yang tumbuh di hutan, sudah menjadi bagian dari cerita saya, ketika dia mengenang kisah masa kecilnya.
"Dulu hutan Salibutan itu hijau dan rimbun, ada banyak satwa yang bisa ditemui. Mulai dari harimau hingga sejumlah jenis burung, serta satwa lainnya. Saya ingat betul tentang hutan Salibutan itu. Tapi ketika saya pulang setelah selesai kuliah, kondisi hutan Salibutan sangat memprihatinkan," ujar dia.
Seiring waktu berjalan, penelusuran Ritno di dalam hutan yang merupakan kawasan Cagar Alam Nasional Bukit Barisan I itu, akhirnya menemukan air terjun yang menawan.
Airnya dingin, jernih, bersih, suasana alam masih terasa sangat asri di sekitar kawasan tersebut. Kicauan burung masih terdengar ramai bersahut-sahutan. Ternyata kawasan itu, belum terjamah oleh masyarakat penebang pohon.
"Tempat itu, kini dikenal dengan Objek Wisata Air Terjun Nyarai," sebutnya.
Dengan ditemukannya sebuah kawasan yang berpotensi menjadi tempat wisata itu, Ritno seakan mempunyai ide baru untuk bisa kembali menyakinkan masyarakat terkait kondisi hutan Salibutan, masih bisa diselamatkan.
Persis pada tahun 2013, Ritno menemukan sebuah alasan kenapa masyarakat harus menghentikan kegiatan mencari kayu ke hutan.
Hingga akhirnya musyawarah pun kembali dilakukan, dan ternyata usaha Ritno membuah hasil yang menggembirakan. Masyarakat sepakat untuk tidak menebang pohon di hutan.
"Jadi pada pertemuan itu, saya sampaikan bahwa ada sebuah tempat yang indah dan bisa dijadikan tempat wisata. Bila dikelola, maka akan mendatangkan nilai ekonomi yang lebih besar dibandingkan menebang pohon di hutan," ungkapnya.
Menurutnya untuk mengajak masyarakat beralih dari sebelumnya menganggap sumber mata pencaharian dari hutan, maka hal yang perlu disiapkan yakni usaha baru lainnya, yang dapat menjadi pijakan baru dalam mencari rezeki.
Usaha Ritno sampai di titik itu, dapat dikatakan mulai menemukan titik terang. Hutan yang dulu nyaris gundul, dan kini sudah rimbun dan hijau kembali.
Seiring waktu berjalan, langkah kecil Ritno untuk mengubah hutan Salibutan telah membentuk sebuah rantai ekonomi di daerah tersebut.
Mulai dari adanya Wisata Air Terjun Nyarai, hingga terbentuknya Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Kandis Bundo Gamaran yang mengolah hasil hutan yakni asam kandis. Serta hal baru dimulai kini oleh Ritno bersama masyarakat adalah mengembangkan budi daya madu galo-galo atau kelulut.
"Syarat bisa membudidaya madu galo-galo itu lingkungannya harus banyak tanaman, ya artinya harus ada hutan yang rimbun. Sekarang hutan Silabutan sudah hijau," jelasnya.
Mendirikan Pokdarwis dan KUPS Nyarai
Usaha Ritno untuk menyelamatkan hutan di kampung halamannya itu mulai menapaki jalan yang terang, setelah mendapat dukungan dari masyarakat setempat.
Melalui ditemukannya sebuah objek wisata Nyarai, dia membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Nyarai. Dalam pokdarwis itu, Ritno melibatkan pemuda setempat yang juga mantan pelaku pembalakan liar di Salibutan.
Pokdarwis ini tidak serta merta langsung bergerak, tapi hal utama yang dilakukan Ritno memberikan edukasi kepada masyarakat setempat, soal pentingnya menjaga hutan dan menjaga alam.
Seiring proses edukasi kepada masyarakat berlangsung, objek wisata Nyarai pun mulai dikenal pengunjung lokal, melalui promosi yang dilakukan Ritno bersama Pokdarwis di media sosial.
Bahkan di awal Nyarai mulai dikenal, dalam satu bulan saja, rata-rata ada 1.500-2.000 orang yang berkunjung ke Wisata Air Nyarai.
Dari data posko Nyarai, pengunjung tidak hanya berasal dari Sumbar, tetapi juga dari provinsi tetangga seperti dari Riau, Jambi, Bengkulu, dan beberapa pengunjung dari luar Sumatra.
"Jadi setiap ada pengunjung yang mau ke Nyarai, akan kita pandu, karena perjalanannya menyusuri hutan, serta waktu tempuh dengan tracking mencapai kurang lebih 4 jam dari posko," jelasnya.
Untuk pemandu wisata ini, Ritno menyiapkan 170 orang pemandu, dimana 80 persennya mantan pembalak liar. Dalam satu kali perjalanan, satu orang pemandu akan mendapat upah Rp50.000 hingga Rp80.000 per hari.
"Nah, bila dibandingkan pada saat masyarakat masih melakukan pembalakan liar itu, upahnya hanya Rp150.000 per minggu. Kalau jadi pemandu wisata, per hari saja maksimal bisa Rp80.000. Untung malahan jadi pemandu wisata," ucap dia.
Kondisi ini, secara tidak langsung Ritno telah memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa ada rezeki yang lebih baik, bila alam atau hutannya dikelola dengan baik pula.
Dengan menjadi pemandu wisata tidak hanya soal upah, namun cara itu telah membuat hutan jadi lebih aman dan lingkungan pun terjaga. Sehingga pendapatan dan ekonomi masyarakat setempat jadi berkembang.
"Sebenarnya ketika wisata Air Terjun Nyarai sudah mulai dikunjungi wisatawan itu, kondisi pembalakan di dalam tidak seratus 100 persen berhenti. Namanya karakter masyarakat, ada yang menerima, dan ada satu dari seratus orang yang berpikir berbeda," jelasnya.
Ritno menyampaikan kondisi yang bisa dikatakan benar-benar tidak terdengar lagi raungan gergaji mesin itu, pada tahun 2015. Ketika itu barulah aktivitas pembalakan liar berhenti 100% di hutan Salibutan.
Berkat capaian itu, bulan demi bulan berlalu, wisata Nyarai pun viral di berbagai beranda media sosial. Hal ini turut menghantarkan Ritno kepada kondisi, dimana ada pihak yang mendukung aksi Ritno dalam menyelamatkan hutan.
Pada tahun 2017, melalui program Satu Indonesia Awards dari PT Astra International Tbk, Ritno mendapat kesempatan menerima apresiasi Satu Indonesia Awards 2017.
Kegigihannya dan kepeduliannya terhadap hutan, menghantarkan Ritno menjadi anak muda yang dipandang layak menjadi orang menginspirasi bangsa Indonesia, terutama dalam bidang lingkungan.
"Berkat Nyarai dan berkat kekompakan masyarakat untuk sepakat setop mengambil kayu ke hutan. Alhamdulilah, Astra memberikan kesempatan serta memberikan amanah untuk membangun Desa Salibutan ke arah yang lebih baik, dan bermanfaat dimasa mendatang," jelasnya.
Dinobatkan sebagai sosok yang menginspirasi, membuat Ritno merasa bertanggung jawab atas penghargaan tersebut, sehingga dia bertekad untuk menggenjot peran Nyarai yang dapat memberikan dampak lingkungan dan ekonomi, yang bisa dinikmati masyarakat.
Bahkan belum lama ini, kegigihan Ritno dalam mengelola Wisata Air Terjun Nyarai itu turut meraih juara harapan kategori daya tarik pengunjung. Penghargaan itu diberikan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, pada Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023.
"Penghargaan itu berkat kerjasama masyarakat juga. Tapi usaha ini tidak berpuasa diri di sini saja, dan kami akan tetap melanjutkan cita-cita untuk terus membuat hutan Salibutan selalu terjaga dan bermanfaat bagi masyarakat," tegasnya.
Sorotan langkah Ritno pada sektor lingkungan tidak hanya dari Astra, dan ternyata pada tahun 2019, Kementerian LHK RI melalui Program Perhutanan Sosial memberikan izin untuk mengelola hutan di Desa Salibutan tersebut.
Dimana terdapat 2.800 hektare lahan hutan diberi izin untuk dikelola oleh masyarakat melalui Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Nagari Salibutan, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS Nyarai) dan Pokdarwis Nyarai.
Dengan adanya program dari KLHK itu, membuat Nyarai menjadi kawasan ekowisata, serta menjadi ikon wisata desa Salibutan dan di Kabupaten Padang Pariaman.
"Dengan adanya Nyarai ini lah, saya masukan satu program yang membuat hutan Salibutan kembali hijau, setelah kegiatan pembalakan liar telah berhenti, namanya program Pohon Asuh," sebutnya.
Ritno menyebutkan program Pohon Asuh itu merupakan caranya untuk mengajak pengunjung yang datang dan hendak menuju Wisata Air Terjun Nyarai untuk membawa satu bibit tanaman, kemudian dipersilahkan untuk menanam bebas di dalam hutan.
"Jadi pohon asuh ini dihadirkan sebagai bentuk keberlanjutan penghijauan kembali hutan Salibutan," tegasnya.
Dalam menjalan program pohon asuh ini, Pokdarwis akan meminta kepada pengunjung untuk mendonasikan Rp10.000 per orang sebagai bentuk menukar satu bibit pohon yang nantinya akan ditanam di dalam hutan.
Melalui cara ini, pengunjung yang datang berwisata ke Air Terjun Nyarai telah turut melestarikan lingkungan dan hutan di desa Salibutan.
Ada beragam jenis bibit tanaman yang dikasih oleh KUPS Nyarai kepada pengunjung, mulai dari bibit jengkol, petai, manggis, asam kandis, hingga sejumlah tanaman buah lainnya.
"Hutan ini banyak pohon meranti. Makanya diburu atau ditebang masyarakat. Jadi kita mengarahkan setiap pengunjung menuju Nyarai, bibit tanaman yang dibawa itu merupakan bibit tanaman buah," sebutnya.
Menurut Ritno semenjak adanya Pohon Asuh itu, sampai saat ini terdapat puluhan ribu bibit tanaman yang telah tumbuh dengan baik di hutan Salibutan. Bahkan bila dilihat dengan kamera drone, hutan Salibutan akan terlihat hijau dan rimbun.
Kendati Ritno tidak memantau secara intens terkait perkembangan kondisi hutan pasca berhentinya pembalakan liar, namun hijaunya hutan sudah bisa dilihat ketika tiba di posko Nyarai.
Dia menyebutkan Pohon Asuh tersebut, selain diperuntukan bagi pengunjung yang hendak menuju Nyarai. Ternyata program itu turut diterapkan oleh masyarakat setempat, dimana masing-masing rumah warga, diberi satu bibit tanaman buah. Dengan demikian, lingkungan rumah warga pun akan terlihat hijau dan rimbun.
"Sebenarnya bebas saja, kalau warga mau tanam di dekat rumah silahkan. Mau di tanam di kebun juga silahkan. Makanya saat ini diperkirakan jumlah bibit yang telah ditanam di kawasan Desa Salibutan sekitar puluhan ribu batang," tegasnya.
Ritno mengaku bahwa peran Pohon Asuh terhadap keberlangsung hutan Salibutan sangatlah besar. Selain mengedukasi masyarakat serta pengunjung soal pentingnya menjaga hutan, secara tidak langsung Pohon Asuh telah menebar virus kebaikan yakni membuat masyarakat terbiasa menjaga kebersihan lingkungan dan menjaga hutan.
"Sampai saat ini, Pohon Asuh tetap jalan. Karena hutan Salibutan akan selalu siap menampung hadirnya bibit tanaman baru," ucap Ritno.
Salah seorang warga setempat, Aidil, mengatakan, program Pohon Asuh yang diperkenalkan KUPS Nyarai itu telah mengetuk hati masyarakat setempat untuk bersama-sama menyelamatkan hutan Salibutan yang pernah rusak akibat pembalakan liar.
"Saya sampai saat ini telah menanam lebih dari 10.000 bibit tanaman di kawasan hutan itu. Hal ini saya lakukan, karena dulu saya tidak bisa menyelamatkan hutan dari orang-orang yang melakukan pembalakan. Dengan cara itulah saya tebus kesalahan ini," kata pria kelahiran 1983 ini.
Dia menyebutkan semenjak adanya wisata Air Terjun Nyarai, selain telah berupaya untuk melakukan penghijauan kembali di hutan Salibutan, status dirinya kini sedikit banyaknya telah memiliki pemasukan.
"Saya ini bekerja serabutan saja. Tapi semenjak adanya Air Terjun Nyarai ini, saya terlibat jadi pemandu wisata. Alhamdulillah, telah ada pemasukan bagi saya pribadi," ujarnya.
Selain itu, tidak selesai untuk pengelolaan Air Terjun Nyarai saja. Dengan telah adanya izin Perhutanan Sosial dari KLHK itu, dan kondisi hutan pun sudah dalam kondisi normal tanpa ada lagi aktivitas pembalakan liar. Ritno pun melakukan pembinaan kepada sejumlah rumah tangga untuk melakukan budi daya madu galo-galo atau kelulut.
Ritno menyebutkan dengan kondisi hutan yang sudah hijau kembali, budi daya galo-galo adalah langkah yang tepat.
Hal ini dikarenakan budi daya madu galo-galo tidaklah terlalu rumit dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, asalkan hutannya hijau, mengingat lebah kelulut perlu mendapatkan sumber sari bunga dari tanaman di hutan.
"Kalau tidak ada tanaman di sekitar budi daya, sulit untuk mendapatkan madunya," sebut Ritno.
"Budi daya madu galo-galo ini hal baru kita lakukan. Panen saja belum lagi, tapi dari hasil diskusi dengan orang-orang yang telah lebih dahulu budi daya, madu galo-galo mahal harganya. Makanya saja ajak masyarakat terutama yang rumah tangga melakukan budi daya madu galo-galo," sambungnya.
Saat ini terdapat sejumlah kotak atau stup madu galo-galo telah disebar di sejumlah titik di Desa Salibutan tersebut.
Ritno berharap, dengan semakin suburnya dan hijaunya hutan, bisa mendapatkan madu yang lebih banyak. Sehingga turut memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat.
Tidak hanya soal pemanfaatan hutan melalui budi daya madu galo-galo, Ritno juga turut melatih dan membina ibu-ibu di Desa Salibutan untuk mengolah hasil hutan yakni asam kandis.
Alasan Ritno berpikir bahwa asam kandis menarik untuk dikelola, karena semenjak hutan Salibutan terjaga dan berhentinya aktivitas pembalakan liar, tanaman asam kandis yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu di kawasan perhutanan sosial tersebut, memiliki nilai ekonomi bila dikelola dengan baik.
"Sebelumnya telah saya dirikan KUPS Nyarai, lalu ada madu galo-galo, untuk asam kandis ini juga didirikan KUPS nya dan diberi nama KUPS Kandis Bundo Gamaran," jelasnya.
Gamaran merupakan nama korong atau kampung kecil dari Desa Salibutan. Dalam KUPS Kandis Bundo Gamaran ini, semuanya adalah para ibu-ibu rumah tangga.
Mereka sebelumnya memang telah mengutip sejumlah asam kandis yang ada di kawasan perhutanan sosial, namun dijual dalam kondisi yang basah ke pasar, sehingga harganya pun terbilang cukup rendah.
Ritno yang juga dipercaya sebagai Asesor Astra ini melihat hasil hutan yang dikutip oleh para ibu-ibu itu tidak hanya sebatas dijual dalam keadaan basah ke pasar.
Hingga akhirnya para ibu-ibu tersebut dilatih untuk mengolah asam kandis menjadi produk yang berkualitas dan layak masuk ke pasar modern atau ritel.
"Dalam hal ini saya bekerja sama juga dengan pihak yang juga peduli dengan lingkungan. Tapi untuk proses pembinaan hingga kemasan produk ada peran Astra," sebutnya.
Salah seorang pengurus KUPS Kandis Bundo Gamaran Efi Susanti menyampaikan kegiatan tersebut baru dimulai Juli 2022 lalu. Hal ini seiring telah adanya pembinaan yang dilakukan Ritno bersama pihak peduli lingkungan.
"Jadi sekarang kita telah ada merek, kemasan, dan pasarnya juga, dan yang kita jual asam kandis nya saja," jelasnya.
Efi menyebutkan dari waktu demi waktu yang dilalui, para ibu-ibu di KUPS Kandis Bundo Gamaran mulai berpikir untuk melakukan produk turunan dari asam kandis.
Mereka pun mencoba membuat permen dari asam kandis, dan hasilnya belum maksimal. Selanjutnya dicoba membuat sirop, dan ternyata memiliki rasa yang tidak kalah enak dari merk sirop yang telah ada.
"Jadi rasanya itu ada asam manis, apalagi diminum pakai es, akan terasa semakin segar," jelasnya.
Saat ini para ibu-ibu Gamaran tersebut, tengah berupaya untuk mendapat izin dari BPOM dan label halal. Bila hal itu selesai, maka produk asam kandis tersebut ditargetkan dapat menembus pasar yang lebih luas.
"Sejauh ini belum ada produk sirop yang lahir di Sumbar ini, kebanyak merek-merek yang sudah terkenal. Nah, kita lah yang baru memproduksinya, tapi kita tunggu dulu izin edarnya dari BPOM," ungkapnya.
Diakui Efi bahwa peran sosok Ritno di desanya itu memberikan dampak positif. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa ada orang luar dari berbagai daerah dan bahkan wisatawan asing yang masuk ke desa mereka.
"Ada bule-bule yang sering memancing ikan di sungai di desa kami ini. Hal itu ide nya Ritno. Kalau tidak ada anak muda itu, mungkin sulit untuk maju desa kami ini," kata Efi.
Berawal dari langkah menghentikan pembalakan liar, lalu memulai melakukan penghijauan hutan, dan hingga akhirnya hutan yang diselamatkan itu telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat secara ekonomi, dan manfaat bagi keseimbangan alam di desa itu sendiri.
Hal yang dilakukan Ritno ini telah menciptakan pemahaman bahwa tidak harus merusak hutan untuk mengambil manfaatnya, dan kinilah eranya green economic (ekonomi hijau).