Bisnis.com, MEDAN - Sembilan anak buah kapal (ABK) asal Sumatra Utara mengadu ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Mereka diduga mengalami eksploitasi alias praktik perbudakan saat bekerja di kapal asing. Mulai dari gaji yang tidak jelas, perlakuan tak manusiawi hingga kekerasan.
Dua aduan dilaporkan pada 2019, kemudian lima aduan pada 2020 dan dua aduan pada 2021. Semua aduan tersebut kini masih dalam proses penanganan oleh SBMI.
"Saat ini sudah ada sembilan ABK dari Sumatra Utara yang mengadu ke kami tentang dugaan perbudakan," ujar Ketua SBMI Haryanto Suwarno kepada Bisnis, Jumat (10/5/2022).
Sembilan ABK terduga korban perbudakan itu bekerja di kapal asing melalui tiga perusahaan penyalur tenaga kerja perkapalan atau agensi yang berkantor di Jawa Tengah.
Saat ini, menurut Haryanto, pihaknya tengah memfasilitasi persoalan itu secara musyawarah. Pihak agensi diminta memenuhi tuntutan ABK, termasuk gaji.
Baca Juga
"Teman-teman masih menempuh langkah musyawarah dengan perusahaan agar ABK mendapatkan haknya. Tapi kalau tidak kunjung selesai, kami akan dorong ke upaya litigasi, kami akan segera melaporkannya," ujar Haryanto.
Dari sembilan orang ABK di atas, satu di antaranya bernama Syarifudin Siregar. Yang bersangkutan meninggal dunia setelah bekerja selama tiga tahun di kapal sekitar 2020 lalu. Tragisnya, jasad Syarifuddin dilarung ke laut tanpa perizinan dari pihak keluarga.
Selain itu, SBMI juga pernah menerima laporan dari seorang ABK asal Sumatra Utara lainnya yang juga bernama Syarifudin. Dia mengalami eksploitasi saat bekerja di kapal asing 2014 silam.
Perkara ini telah dilaporkan oleh SBMI ke Bareskrim Mabes Polri pada 2015 lalu dengan dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Akan tetapi, hingga saat ini terduga pelaku belum juga ditangkap meski sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Orang yang dimaksud adalah lelaki bernama Ibrahim. Dia merupakan pimpinan perusahaan atau agensi yang menempatkan Syarifudin bekerja di kapal asing. Ibrahim merupakan pemilik PT Dinda Bahari. Perusahaan ini berkantor di Bekasi, Jawa Barat.
"Masalahnya kepolisian tidak dapat menangkap pelakunya. Masih DPO," kata Haryanto.
Berdasar data SBMI, terdapat total 634 aduan ABK asal Indonesia tentang dugaan praktik perbudakan di kapal penangkap ikan kurun 2013-2021. Laporan terbanyak datang dari ABK asal Jawa Tengah dan Jawa Barat. Persentase laporan ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut Ocean Campaigner Greenpeace Indonesia Arifsyah M Nasution, Sumatra Utara merupakan provinsi yang jadi sumber tenaga kerja ABK di Indonesia. Tak jarang dari ABK tersebut yang berkerja di kapal-kapal asing melalui agensi.
"Sumatra Utara termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi sumber ABK asal Indonesia yang diberangkatkan untuk bekerja di kapal-kapal ikan berbendera asing di luar negeri. kata Arifsyah.
Untuk mengingatkan publik akan bahaya praktik terselubung perbudakan di zaman modern seperti ini, Ikatan Wartawan Online (IWO) Medan berkerja sama dengan Greenpeace Indonesia menggelar nonton bareng (nobar) film Before You Eat di Universitas Medan Area (UMA), Kota Medan, Sumatra Utara pada Rabu (8/6/2022) lalu.
Acara dihadiri oleh berbagai kalangan. Antara lain mahasiswa dan mahasiswi, himpunan nelayan, dewan pimpinan daerah, praktisi hukum hingga jurnalis. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Rektor UMA Prof Dadan Ramdan.
Menurut Ketua IWO Medan Erie Prasetyo, nobar kali ini digelar untuk mengedukasi masyarakat tentang praktik perbudakan pada zaman modern.
Seperti diketahui, Before You Eat merupakan film dokumenter yang menceritakan kisah ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal luar negeri.
Mereka mengalami berbagai eksploitasi, mulai dari gaji yang tak jelas, jam kerja hingga berbagai perlakuan keji lainnya.
Selain mengungkap tabir gelap dunia perbudakan di kapal, kata Erie, film ini juga diputar dalam rangka memperingati Hari Laut Sedunia atau Ocean World Day.
"Antusias peserta sangat tinggi selama mengikuti enam jam sesi acara ini. Film ini memberi edukasi kepada masyarakat bahwa perbudakan pekerja masih terjadi di zaman modern saat ini," kata Erie, Kamis (9/6/2022).
Menurut Ocean Campaigner Greenpeace Indonesia Arifsyah M Nasution, pemutaran film dokumenter Before You Eat tak bertujuan hanya bertujuan memperdalam pemahaman penonton terkait praktik perbudakan modern.
Namun juga bentuk upaya mempertajam sikap kritis mahasiswa dan kalangan akademisi terhadap kaitan antara eksploitasi manusia dan kerusakan lingkungan.
"Pemutaran di kampus-kampus bertujuan untuk menguatkan pemahaman serta sikap kritis mahasiswa dan kalangan akademisi terhadap isu serta hubungan kerusakan lingkungan, kemiskinan dan perbudakan modern di laut," katanya.
Sementara itu, Rektor UMA Prof Dadan Ramdan mengapresiasi film dokumenter Before You Eat karena mampu mengemas cerita pilu yang dialami ABK melalui visualisasi yang mengesankan.
"Setelah saya tonton, film ini sangat menarik. Terus terang saja, saya merasa terharu menontonnya," kata Dadan.
Menurut Dadan, praktik eksploitasi manusia masih kerap terjadi dan membuatnya tidak habis pikir. Sebab, pelaku di balik awal mula praktik tersebut ternyata juga melibatkan warga sebangsa.
Oleh karena itu, Dadan berpendapat bahwa persoalan ini mesti jadi perhatian seluruh pihak. Tak terkecuali dari kalangan ulama. Dadan pun berharap agar persoalan di atas segera memeroleh solusi.
"Jadi mungkin ini tugas alim ulama juga untuk menyadarkannya," kata Dadan.
Before You Eat merupakan film dokumenter yang diproduksi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan didukung oleh Greenpeace Indonesia.
Film ini menceritakan tentang praktik eksploitasi terhadap pekerja perikanan, khususnya para ABK yang bekerja di kapal asing.
Tindak keji yang mereka alami terjadi mulai sejak sebelum berangkat, selama di kapal, hingga tiba kembali ke Tanah Air.
Beberapa cuplikan video direkam langsung oleh para ABK menggunakan telepon seluler. Mereka berbagi kisah perjuangan menuntut hak, termasuk keadilan bagi rekan-rekan mereka yang meninggal karena sakit hingga dilarung ke laut tanpa persetujuan keluarga.
Tindak kekerasan yang dialami, kontrak kerja yang tidak jelas, dan muslihat agen-agen perekrutan serta prosedur pengiriman ABK yang sumir, membuat praktik ini disebut seba io gai ‘perbudakan modern’.
Film Before You Eat membuka mata penontonnya tentang apa yang terjadi di atas kapal penangkap ikan, carut marutnya proses pengiriman tenaga kerja, hingga tentang penangkapan spesies satwa laut yang dilindungi.