Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Pupuk Sumatra Utara Terus Meningkat, Tapi Harga Tetap Mahal

Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor pupuk bernilai US$20,70 juta pada November 2021. Sedangkan pada Desember 2021, jumlahnya menjadi US$30,18 juta. Pupuk memberi peran 6,63 persen dari total impor Sumatra Utara pada akhir tahun lalu.
Sejumlah petani di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, memupuk tanaman pertanian mereka, Rabu (19/1/2022). /Bisnis-Nanda Fahriza Batubara
Sejumlah petani di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, memupuk tanaman pertanian mereka, Rabu (19/1/2022). /Bisnis-Nanda Fahriza Batubara

Bisnis.com, MEDAN - Impor pupuk melalui Sumatra Utara pada Desember 2021 lalu meningkat 45,76 persen atau sebesar US$9,48 juta dibanding bulan sebelumnya.

Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor pupuk bernilai US$20,70 juta pada November 2021. Sedangkan pada Desember 2021, jumlahnya menjadi US$30,18 juta. Pupuk memberi peran 6,63 persen dari total impor Sumatra Utara pada akhir tahun lalu.

"Pada Desember 2021, golongan barang yang mengalami kenaikan nilai impor terbesar adalah pupuk sebesar US$9,48 juta atau 45,76 persen," kata Koordinator Fungsi Statistik Distribusi BPS Sumatra Utara Dinar Butarbutar, Kamis (3/1/2022).

Masih berdasar data BPS, total nilai impor pupuk sepanjang 2020 tercatat US$168,22 juta. Sedangkan pada 2021, jumlahnya menjadi US$213,92 juta. Terjadi peningkatan senilai US$45,70 juta atau 27,17 persen. Pupuk berkontribusi 4,09 persen dari total impor sepanjang 2021.

Terpisah, sejumlah petani mengeluhkan harga pupuk nonsubsidi yang melambung tinggi di Sumatra Utara. Harga pupuk jenis urea dan NPK nonsubsidi bahkan naik mencapai 50 persen ketimbang harga normal.

"Harganya pupuk nonsubsidi sudah tidak terbeli. Benar-benar mahal sekali sekarang," kata Ketua Kelompok Tani Juma Deleng Kabupaten Karo, Sumatra Utara, Samuel Ginting, kepada Bisnis.

Akibat harga yang melambung tinggi, sedangkan ketersediaan pupuk subsidi terbatas, Samuel dan petani lainnya harus memutar otak. Mereka mencampur pupuk nonsubsidi dengan air demi mengurangi kuantitas penggunaan, walau berisiko menurunkan kualitasnya.

Untuk pupuk jenis urea nonsubsidi, harga di pasaran kini berkisar Rp530 ribu-Rp550 per zak atau 50 kilogram. Sedangkan untuk jenis NPK 16-16-16 mencapai Rp700 ribu per zak.

Pengamat ekonomi Sumatra Utara Gunawan Benjamin membenarkan bahwa harga pupuk nonsubsidi melambung tinggi selama 2021. Hal itu membuat petani mengeluh dan menyebabkan kenaikan harga berbagai komoditas pertanian.

Menurut Gunawan, konsumsi pupuk di Sumatra Utara juga naik. Khususnya sejak Kuartal III 2021 hingga penutupan tahun. Kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) mendorong permintaan pupuk dari petani sawit meroket. Di sisi eksternal, kenaikan harga komoditas energi, khususnya gas, juga turut memicu terjadinya lonjakan harga pupuk.

"Yang saya khawatirkan adalah dampak turunan dari mahalnya harga pupuk itu sendiri. Kalau Sumatra Utara bergantung pada pupuk impor, ini berarti harga produk pertanian atau produk pangan provinsi ini tidak terlepas dari fluktuasi harga energi, fluktuasi pada nilai tukar rupiah, hingga pembentukan harga pupuk di negara lain," kata Gunawan kepada Bisnis.

Gunawan mencontohkan biaya tanam komoditas cabai merah yang naik 25-30 persen sejak terjadi peningkatan harga pupuk 50 persen. Kenaikan biaya produksi tersebut berpeluang mengerek kenaikan harga jual produk pertanian sekitar 5-10 persen.

Berdasar kondisi itu, lanjut Gunawan, diketahui bahwa pembentukan harga pangan di Sumatra Utara saat ini belum mampu lepas dari belenggu ketergantungan pupuk impor.

"Ini sama saja kita menggantungkan urusan perut kita dengan negara lain. Dan harga pupuk yang mahal belakangan ini akan membuat rata-rata harga pangan di Sumatra Utara lebih mahal dibandingkan periode sebelumnya," kata Gunawan.

Pada kesempatan sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemprov Sumatra Utara Baharuddin Siregar tak menampik terjadi kenaikan harga pupuk nonsubsidi yang signifikan belakangan ini.

Menurutnya, hal itu dipicu kebijakan negara importir bahan baku pupuk.

"Ya, ini dampak dari negara-negara yang tidak lagi menjual bahan baku pembuat pupuk seperti kiserit dan potasium," kata Baharuddin kepada Bisnis.

Sejauh ini, pemerintah daerah hanya bisa mendorong penggunaan pupuk organik sebagai alternatif dan solusi di tengah kondisi yang sedang berlangsung.

"Kami mendorong pembuatan pupuk-pupuk organik dan penggunaan dolomit," kata Baharuddin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ajijah

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper