Bisnis.com, RIAU - Dalam memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai pengaturan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, termasuk sejarah perjalanan serta perkembangannya hingga saat ini, Migas Center Universitas Islam Riau (UIR) kembali mengadakan seminar virtual dengan judul Undang-Undang dan Ekonomi Migas.
Seminar yang dilaksanakan pada Selasa (30/6) ini menghadirkan dua narasumber, yakni Hadariat Kuncara Zakty (Senior Legal Counsel for PSC Analysis SKK Migas) dan Damar Wicaksono (Legal Counsel SKK Migas).
Pada kesempatan pertama, Damar Wicaksono menjelaskan, peraturan perundang-undangan yang mendasari dan menjadi referensi dalam kegiatan usaha hulu migas antara lain Pasal 33 UUD 1945, UU No. 22 tahun 2001, PP 35 tahun 2004, Perpres 95/2012, Perpres 9/2013 jo. Perpres 36/2018, dan Permen ESDM 17/2017 jo. Permen ESDM 53/2017.
Pengaturan mengenai tugas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SKK Migas mengacu pada Pasal 2 Ayat (1) Perpres 9/2013 jo Perpres 36/2018: Sepanjang mengenai pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan kontrak kerja sama dilaksanakan oleh SKK Migas. Pasal 3 Permen ESDM 17/2017: Tugas SKK Migas adalah melaksanakan pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tahapan dan Pelaku Kegiatan Usaha Migas:
Kementerian ESDM: Menyelenggarakan urusan kepemerintahan, menetapkan kebijakan, dan mengawasi kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.
KESDM cq. DITJEN MIGAS : melakukan survei umum (penyiapan wilayah kerja), penawaran wilayah kerja, penunjukan kontraktor, penyiapan Kontrak Kerja sama.
SKK Migas : penandatanganan kontrak kerja sama, pengawas dan pengendali kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta lifting.
BU/BUT: Melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Sejarah Pengaturan Kegiatan Usaha Hulu Migas
Hadariat Kuncara Zakty menjelaskan bahwa sejarah pengaturan kegiatan usaha hulu migas diawali dengan sistem Konsesi berdasarkan Indische Mijn Wet, dimana Sumber Daya Alam (“SDA”) migas dikuasai oleh investor. Negara hanya memperoleh royalti dan pajak.
Karena tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 akhirnya pada tahun 1960 sistem Konsesi diubah menjadi sistem Kontrak Karya berdasarkan Perppu No. 44/Prp/1960, sehingga SDA Migas akhirnya dikuasai oleh Negara. Namun, masih ada kekurangan karena manajemen di tangan investor sehingga tidak terjadi alih teknologi, dan negara juga menanggung rsiko yang timbul.
Melalui UU No. 8/1971 diperkenalkanlah sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/ PSC) yakni SDA Migas dikuasai oleh Negara, manajemen di tangan Negara, Investor menyediakan modal dan risiko, kemudian hasil produksi dibagi antara Negara dan Investor sesuai persentase bagi hasil yang ditentukan.
Sistem Kontrak Bagi Hasil masih digunakan hingga saat ini dengan perkembangan yang ada, namun sejak UU No. 22/2001 dikenal dengan istilah Kontrak Kerja Sama (KKS).
“Kontrak Kerja Sama sesuai filosofinya adalah implementasi dari Pasal 33 ayat 3 UUD ’45. Dimana Pemerintah Indonesia selaku pemilik SDA Migas mengajak investor untuk menanamkan investasinya pada kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, dengan ketentuan Investor harus memiliki keahlian dan teknologi, kemampuan finansial dan bersedia menanggung risiko bisnis dan operasi yang timbul”, kata Hadariat yang sering kali dipanggil Didit, seperti pernah dilansir Riau Pos.
Damar menambahkan Pasal 1.19 UU 22/2001: Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk Kontrak Kerja Sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Prinsip utama Kontrak Kerja Sama sesuai Pasal 6 UU No.22/2001 yakni sumber daya alam dikontrol oleh Negara, modal dan risiko seluruhnya ditanggung oleh investor, kepemilikan Migas di tangan Pemerintah sampai titik serah.
Titik penyerahan adalah suatu titik setelah proses produksi dimana migas yang dihasilkan sudah dapat dihitung. Sebelum titik penyerahan tersebut (atau sebelum jumlah produksi dapat dihitung) semua migas adalah milik negara/pemerintah.
"Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi (Pasal 1.4 PP No. 35/2004). Saat ini dikenal bentuk Kontrak Bagi Hasil baru yaitu Kontrak Bagi Hasil Gross Split adalah Kontrak Bagi Hasil dalam kegiatan usaha hulu migas berdasarkan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi (Pasal 1.7 Permen ESDM No. 8/2017)," tambah Damar.
Bagaimana kondisi hulu migas saat ini?
Hadariat menjelaskan bahwa berdasarkan Global Petroleum Survey yang dilakukan oleh Fraser Institute pada 2007-2018 kepada para eksekutif di perusahaan migas, hasilnya Indonesia selalu masuk dalam 20 persen terbawah, posisi terendah didapat Indonesia pada 2014 (9 persen terbawah) dan 2017 (5 persen terbawah), dan pada 2018, posisi Indonesia masuk di 10 terbawah.
“Penyebab utama penghambat investasi pada tahun 2018 adalah fiskal, pajak, ketidakpastian peraturan dan administratif, dan lain-lain. Inilah yang membuat posisi daya tarik investasi di Indonesia menjadi urutan bawah," katanya.
Ditambahkan RUU Cipta Kerja dan RUU Migas yang saat ini sedang dibahas merupakan angin segar bagi industri hulu migas agar industri migas lebih atraktif, diharapkan pengaturan mengenai tatakelola Migas ke depan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi antara lain:
Negara/pemerintah seharusnya tidak saja melakukan pengawasan dan pengendalian tetapi juga pengelolaan Migas (melalui BUMN).
Penguasaan negara perlu diperkuat dengan pengelolaan SDA berupa konsesi atau perizinan, BUMN yang diberikan konsesi dapat melakukan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan BU/BUT sehingga membentuk skema pengelolaan migas B to B.
Dalam hal negara belum memiliki kemampuan modal, teknologi dan manajemen, maka pengelolaan SDA dapat dilakukan kerja sama dengan BU/BUT.
Dalam rangka penataan ulang lembaga yang lebih efisien serta diharapkan mengurangi poliferasi organisasi pemerintahan, maka diperlukan lembaga/badan yang ideal berupa badan usaha.
Dalam seminar virtual tersebut, mahasiswa dan Kontraktor KKS diajak berdiskusi tentang undang-undang dan ekonomi migas termasuk kondisi yang dialami KKKS di lapangan.
Webinar rutin yang dilaksanakan di Migas Center UIR ini diikuti 90 peserta yang terdiri dari mahasiswa dari Universitas Islam Riau, Universitas Pertamina, Universitas Trunojoyo Madura, Universitas Jambi, Politeknik Negeri Malang, UPN Jawa Timur, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Malikussaleh, Universitas Sebelas Maret, Universitas Jember, Universitas Lampung Mangkurat, SMK Perminyakan Dumai, Internasional-SOS Indonesia, PT Uniplastindo Interbuana, Universitas PGRI Madiun, SKK Migas Perwakilan Sumbagut dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) wilayah Sumbagut.
Humas SKK Migas Perwakilan Sumbagut Arilda Septania mengatakan, SKK Migas bersama Kontraktor KKS terus memberikan sosialisasi dan edukasi kepada generasi muda, yakni pelajar dan mahasiswa, mengenai minyak dan gas bumi melalui Migas Center, guna memberikan pemahaman kepada mahasiswa bahwasanya yang bekerja di sektor migas itu tidak seluruhnya berasal dari teknis tetapi juga non teknis. "Bahkan 60 persen yang bekerja di migas itu berasal dari non teknis. Jadi siapa saja berpeluang bekerja di sektor migas," jelas Arilda.
Migas Center Universitas Islam Riau, hasil kolaborasi SKK Migas - PT. Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) dan UIR, merupakan pusat informasi dan edukasi seputar minyak dan gas bumi di Riau.
Di masa pandemi COVID-19, setiap dua minggu Migas Center mengadakan virtual sharing session dengan mengundang praktisi atau narasumber dari PT CPI, SKK Migas atau KKKS lainnya di Riau serta tokoh masyarakat untuk berbagi ilmu seputar dunia minyak dan gas bumi kepada mahasiswa dan khalayak umum.