Bisnis.com, SUMATRA - Ada yang berbeda di salah satu areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau. Di tengah belantara pepohonan kelapa sawit yang sudah berusia lebih dari 25 tahun itu, tampak sekotak halaman yang dipenuhi oleh tanaman bunga berwarna-warni dan pohon pepaya yang sudah berbuah.
Masuk lebih dalam, masih di kawasan perkebunan itu, terbentang kolam renang yang lengkap dengan pendopo-pendopo teduh dan bebungaan khas tropis. Persis seperti onsen atau pemandian air panas yang sering dijumpai di daerah pegunungan nun jauh di Jepang sana.
Siapa mengira, ada kolam renang yang begitu indah di tengah-tengah perkebunan sawit ini? Berenang sambil menikmati suara burung dan serangga di tengah-tengah perkebunan sawit yang teduh, jauh dari ingar-bingar perkotaan, siapa sangka?
Adalah ide dari Sunarto, seorang petani kelapa sawit di Satuan Pemukiman (SP) 2 Desa Buana Bhakti, Kabupaten Siak, Provinsi Riau untuk menebang pohon-pohon sawit miliknya di lahan seluas 4 hektare, membersihkan lahan bekas tanaman penghasil CPO itu, dan menyulapnya menjadi tempat agrowisata.
Pak Sunarto, petani kelapa sawit yang mendidik anak-anaknya untuk berwirausaha sebagai alternative income ketika kebun sawit mereka akan dilakukan peremajaan.
“Anak-anak saya yang dua orang itu tertawa pas saya bilang di sini akan saya jadikan kolam renang. Tidak ada yang percaya bisa ada kolam renang. Saya sudah sampaikan, lingkungan banyak peluang,” ujar Sunarto sambil menyeduh kopi di samping kolam renang Tirta Buana Asri itu.
Sekilas ke belakang, kenang Sunarto, pertama kali dirinya menginjakkan kaki di Bumi Lancang Kuning ini ketika mengikuti program transmigrasi pada 1992. Kala itu, Sunarto berangkat dari Jawa Tengah dan mendapatkan lahan seluas 2 hektare yang bisa ditanami kelapa sawit dan 0,5 hektare lahan pekarangan di Riau.
Tentu saja, saat itu belum ada sebatang pohon sawit pun yang berdiri. Tetapi, Sunarto bersama petani transmigran lainnya masuk dalam kemitraan bersama Asian Agri dan mulai mengolah lahan pertanian seluas 2 hektare tadi.
Selama 3 tahun, kata Sunarto, dirinya bekerja dengan upah Rp1.500 per hari untuk menanam dan merawat kelapa sawit. Memasuki tahun ke-4, tanaman sawit itu dialihkan oleh Asian Agri kepada petani plasmanya dan hasil produksi pun mulai dapat dinikmati.
Seiring berjalannya waktu, tentu tanaman kelapa sawit tak dapat terus-menerus berproduksi maksimal. Biasanya, tanaman sawit berusia lebih dari 25 tahun sudah mulai mengalami penurunan produktivitas yang artinya harus diremajakan (replanting).
Proses peremajaan ini, kata Sunarto yang juga menjadi Ketua KUD Bhirawa Bhakti, menjadi momok tersendiri bagi petani sawit.
“Dari awalnya itu, sebenarnya pemerintah sudah menganjurkan lahan pekarangan tidak boleh ditanami sawit saja. Ini kan [sekarang] sawit semua. Ternyata, mau replanting ini baru terasa, petani tidak bisa makan apa—apa,” jelas Sunarto.
Biasanya, tanaman sawit memerlukan waktu hingga 3 tahun menjelang berbuah sejak baru ditanam. Petani yang pendapatannya hanya bergantung pada hasil sawit tentu akan gamang selama masa tunggu itu, imbuh Sunarto.
Dirinya pun memutar otak. Setelah mendapatkan beberapa masukan dan binaan dari Asian Agri, Sunarto pun memberanikan diri membuka usaha selain berkebun sawit.
Pas sekali, di dekat kolam renang tadi ada sumber air yang sangat banyak. Sebelumnya, Sunarto sempat menanami kebun bekas tanaman sawit itu dengan buah-buahan dan umbi-umbian.
"Dengan sumber air yang cukup, daripada sekedar untuk menyiram kebun, lebih baik dimanfaatkan menjadi kolam seperti sekarang ini," jelas Sunarto.
KEMBANGKAN KEWIRAUSAHAAN
Sebagai langkah preventif menjelang masa peremajaan, Asian Agri selaku perusahaan yang membina para petani sawit yang tergabung dalam kebun plasmanya ambil peran.
Rafmen, Deputy Head Kemitraan Asian Agri, menyampaikan bahwa sebagai salah satu grup perusahaan perkebunan terbesar di Indonesia telah mengantisipasi kekosongan pendapatan petani binaannya selama masa replanting.
“Dalam menjalankan kegiatan, kami berfokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan mengelola sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan meningkatkan potensi mitra,” tutur Rafmen.
Dirinya memamaparkan bahwa kemitraan Asian Agri dengan para petani setempat telah terjalin sejak 1987. Para petani transmigran digandeng melalui program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) Trans menjadi petani plasma.
Keberhasilan petani plasma, lanjut Rafmen, direplikasikan dengan membina, membangun, dan mengembangkan potensi petani swadaya melalui program One to One Partnership Commitment (Komitmen Kemitraan Satu Banding Satu).
Saat ini, sudah ada lahan seluas 101.000 hektare milik petani yang bermitra dengan Asian Agri dan dikelola dengan prinsip berkelanjutan.
Menjelang memasuki masa replanting, Asian Agri pun berupaya menumbuhkan minat wirausaha dari petani binaannya.
Hal itu dilakukan supaya petani tetap produktif selama masa tunggu menjelang sawitnya kembali menghasilkan.
“Dalam program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), pendapatan alternatif sangat dibutuhkan oleh petani terutama ketika tanaman belum menghasilkan,” ujarnya.
Adapun, dukungan berupa alih teknologi perkebunan, penyediaan bibit unggul Topaz Asian Agri, capacity building untuk petani dan organisasinya diharapkan mampu membuka wawasan petani untuk berbisnis sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing.
Kembali ke kolam renang Pak Sunarto, kini manajemen tempat hiburan itu dijalankan oleh anak bungsunya bernama Dwiyono.
Dalam waktu dekat ini, kata Dwiyono, dirinya bakal menambah fasilitas di kolam renang itu dengan membuka satu kolam renang lagi dan menyediakan aneka kuliner.
Dwiyono, anak Pak Sunarto yang mengelola usaha kolam renang dan taman bunga serta sayur dan buah organik.
“Tanamannya juga mau diganti menjelang Lebaran, supaya pas nanti Lebaran bunganya mekar semua. Nanti juga mau mengembangkan kolam pancing dan kuliner,” kata Dwiyono.