Bisnis.com, MEDAN—Pemerintah harus membuat kebijakan yang bisa cepat mendorong investasi untuk mengimbangi kenaikan suku bunga kredit perbankan setelah Bank Indonesia menaikkan BI Rate.
"Naiknya BI rate mulai 31 Mei 2018 memang merupakan upaya BI menjaga kestabilan nilai tukar rupiah karena beberapa bulan ini mengalami tekanan hingga Rp14.200 per dolar AS," kata pengamat ekonomi Wahyu Ario Pratomo di Medan, Sumatera Utara, Kamis (31/5/2018).
Dia mengakui, konsekuensi naiknya BI rate adalah naiknya suku bunga perbankan khususnya kredit sehingga dapat menekan pertumbuhan permintaan dan investasi.
Menurut dia, agar investasi tidak turun, pemerintah harus berupaya mendorong investasi masuk terutama dari luar negeri.
"Untuk menarik investasi tentunya pemerintah harus memberikan kemudahan dan insentif bagi investasi di sektor ril," katanya.
Jika tidak dilakukan pemerintah, katanya, jelas pertumbuhan ekonomi 2018 tidak dapat mencapai target yang sebesar 5,2 persen "Bahkan bisa terjadi peningkatan NPL atau kredit bermasalah yang akhirnya semakin mengganggu perekonomian secara menyeluruh," katanya.
Kepala BI Perwakilan Sumut, Arief Budi Santoso menyebutkan, sesuai Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 30 Mei 2018 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen.
Suku bunga Deposit Facility (DF) sebesar 25 bps menjadi 4,00 persen dan suku bunga Lending Facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen.
"Kenaikan BI Rate itu berlaku efektif 1 Mei 2018," katanya.
Kebijakan itu sebagai langkah "pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve" BI untuk memperkuat stabilitas khususnya stabilitas nilai tukar terhadap perkiraan kenaikan suku bunga AS yang lebih tinggi, serta meningkatnya risiko di pasar keuangan global.