Bisnis.com, MEDAN – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatra Utara menolak tegas kebijakan iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang digagas pemerintah.
Ketua DPP Apindo Sumut Haposan Siallagan mengatakan bahwa iuran Tapera tidak hanya memberatkan pekerja namun juga pengusaha. Hal ini lantaran memunculkan tambahan potongan dari pendapatan pekerja sebesar 2,5%, dan iuran yang dibebankan kepada pemberi kerja sebesar 0,5%.
“Kami, Apindo dan dunia usaha, konsisten menolak tegas skema Tapera ini karena memberatkan pengusaha dan pekerja,” ujar Haposan Siallagan, Rabu (29/5/2024).
Ditegaskan Haposan, Apindo Sumut hanya menolak skema iuran, bukan program perumahan bagi pekerja.
Ia pun mengatakan bahwa program perumahan bagi pekerja tetap bisa dilakukan dengan mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan.
Sesuai regulasi, kata dia, program Jaminan Hari Tua yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan telah memberikan manfaat layanan tambahan (MLT) kepada peserta (pekerja), salah satunya berupa pinjaman uang muka perumahan.
Baca Juga
"Program MLT ini menggunakan 30% dari dana JHT. Dana ini dapat digunakan untuk pembiayaan perumahan pekerja," ungkapnya.
Apindo Sumut, lanjut Haposan, menyerahkan kepada Dewan Pimpinan Nasional Apindo di Jakarta untuk melakukan upaya-upaya non-litigasi untuk menunda dan mengkaji ulang kebijakan pemerintah yang memberlakukan PP Nomor 21 Tahun 2024 terkait perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera yang menetapkan besaran iuran simpanan peserta sebesar 3% dari gaji atau upah.
Sebelumnya, Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani juga meminta pemerintah mempertimbangkan kembali diberlakukannya PP terkait Tapera tersebut.
Ia mengungkapkan bahwa sejak munculnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo dengan tegas menyatakan keberatannya atas pemberlakuan UU tersebut karena dinilai memberatkan beban iuran, baik dari sisi pelaku usaha maupun pekerja/ buruh.
Saat ini, lanjutnya, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24%-19,74% dari penghasilan pekerja. “Beban ini akan semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar,” ujar Shinta dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (29/5/2024).
Shinta menyarankan agar program yang ditujukan untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi pekerja tersebut memanfaatkan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dari sumber dana program Jaminan Hari Tua (JHT) milik BPJS Ketenagakerjaan.
“Hal ini sesuai dengan regulasi PP Nomor 55 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dimana sesuai PP tersebut maksimal 30 % (atau sekitar Rp138 triliun), maka aset JHT sebesar Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT perumahan Pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya,” ungkap Shinta.
Adapun MLT, kata Shinta, dapat dimanfaatkan untuk pinjaman KPR sampai maksimal Rp500 juta; pinjaman uang muka perumahan (PUMO) sampai Rp150 juta; dan pinjaman renovasi perumahan (PRP) sampai dengan Rp200 juta.
Selain itu, adapula fasilitas pembiayaan perumahan pekerja/ kredit konstruksi. “BPJS telah bekerja sama dengan perbankan untuk mewujudkannya,” pungkasnya. (K68)