Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kasus Tunjangan Perumahan Anggota DPRD OKU, Massa Kembali Demo di Kejati Sumsel

Dari hasil audit BPK, ditemukan adanya dugaan pemborosan keuangan negara sebesar Rp7,7 miliar padalam tunjangan perumahan anggota DPRD OKU tahun anggaran 2021.
Ratusan massa yang berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) kembali menggelar unjuk rasa di halaman kantor Kejaksaan Tinggi Sumatra Selatan, Senin (18/9/2023)./Istimewa
Ratusan massa yang berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) kembali menggelar unjuk rasa di halaman kantor Kejaksaan Tinggi Sumatra Selatan, Senin (18/9/2023)./Istimewa

Bisnis.com, PALEMBANG – Ratusan massa yang berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) kembali menggelar unjuk rasa di halaman kantor Kejaksaan Tinggi Sumatra Selatan, Senin (18/9/2023).

Aksi massa tersebut meminta Kejaksaan Tinggi Sumatra Selatan segera menetapkan tersangka atas kasus dugaan korupsi di Sekretariat DPRD OKU.

Berdasarkan hasil audit BPK RI, ditemukan adanya dugaan pemborosan keuangan negara sebesar Rp7,7 miliar dalam kegiatan tunjangan perumahan anggota DPRD Kabupaten OKU tahun anggaran 2021.

Koordinator aksi massa Antoni mengatakan hingga kini kasus ini belum ada perkembangan, meskipun kejaksaan sudah memeriksa sejumlah saksi dari kalangan eksekutif dan legislatif di Kabupaten OKU.

“Kami meminta Kejaksaan Tinggi Sumsel agar segera melakukan penetapan tersangka terhadap laporan yang telah diberikan kepada Kejaksaan Tinggi Sumsel dalam kegiatan tunjangan perumahan anggota DPRD OKU,” ujarnya kepada wartawan di halaman Kantor Kejaksaan Tinggi Sumsel, Senin (18/9/23).

Antoni mengatakan hingga kini Kejaksaan Tinggi Sumsel belum melakukan penetapan tersangka, padahal hasil temuan BPK RI ini sudah dua tahun dipublikasikan. Namun, dugaan pemborosan tunjangan rumah dinas DPRD Kabupaten OKU ini belum ada pengembalian atas kerugian keuangan negara.

“Maka dari itu, kami menduga bahwa dalam temuan BPK RI ini tidak ada itikad baik dari oknum-oknum anggota DPRD Kabupaten OKU,” jelas Antoni.

Dalam hal ini, Antoni juga menegaskan bahwa, hasil temuan BPK RI adalah lembaga yang terpercaya dalam melakukan audit keuangan negara, yang hasilnya audit BPK RI tidak perlu diragukan lagi atas hasil investigasi dari BPK RI itu sendiri.

Menurutnya, hasil audit BPK RI bersifat final dan mengikat, sehingga pengunjuk rasa meminta Kejaksaan Tinggi Sumsel agar segera melakukan penetapan tersangka atas kasus tersebut.  

“Hasil audit BPK RI adalah suatu temuan yang terpercaya karena BPK adalah suatu lembaga negara, sehingga Kejaksaan Tinggi Sumsel tidak perlu ragu untuk melakukan penetapan tersangka dalam kasus tersebut, apalagi dari hasil temuan ini sudah dua tahun belum ada pengembaliannya,” tegas Antoni.

Sementara itu, perwakilan warga lainnya, Heri Jaya Putra menjelaskan, jika Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel tidak mampu untuk menangani kasus korupsi di Sekretariat DPRD kabupaten OKU tersebut, maka lebih baik mundur dari jabatannya, karena masih banyak yang masih mampu untuk menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi di negara kita.

“Kami meminta jika Kejaksaan Tinggi Sumsel, kalau tidak mampu untuk menangani kasus tersebut lebih baik mundur dari jabatannya,” tutur Heri.

Sebelumnya diberitakan bahwa Kejaksaan Negeri OKU sudah memeriksa 15 saksi dari kalangan eksekutif dan legislatif terkait dugaan pemborosan tunjangan rumah dinas DPRD OKU Rp21 juta per bulan.

Kepala Kejaksaan Negeri OKU Choirun Parapat didampingi Kasi Intel Variska Ardina Kodriansyah menjelaskan kasus ini masih tahap penyelidikan.

“Sudah 15 saksi yang kita mintai keterangan, bukan diperiksa karena ini masih tahap penyelidikan,” terang Kajari kepada media.

Kasus ini bermula dari hasil temuan BPK pada bulan Juli 2022 yang mengindikasikan adanya kenaikan pada sektor tunjangan rumah dinas dan transportasi anggota DPRD OKU.

Menurut hasil temuan BPK, adanya pemborosan pada tunjungan rumah dinas Rp5.924.358.950 dan tunjangan transportasi terdapat pemborosan sebesar Rp1.889.600.000.

Total pemborosan dari dua sektor tersebut sekitar Rp7.775.958.350. Pemborosan itu terjadi dalam waktu 18 bulan, Maret 2021-Juli 2022. Seharusnya paling lambat bulan Desember tahun 2022 sudah dikembalikan.

Masing-masing anggota dewan harus mengembalikan sekitar Rp270 juta. Sebab, BPK memberikan waktu 60 hari kerja untuk pengembalian keuangan ke kas daerah sejak LHP dikeluarkan.

Namun hingga bulan Agustus 2023 ini, pengembalian belum terealisasi. Setelah dilakukan audit oleh BPK, tunjangan yang dinilai pemborosan itu disetop sampai adanya peraturan baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Herdiyan
Editor : Herdiyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper