Bisnis.com, PADANG - Ekspor cicak yang sempat menjadi sumber perekonomian baru di Provinsi Sumatra Barat terhitung sejak Mei tahun 2022, kini harus berhenti sejenak.
Hal ini disebabkan adanya sejumlah dokumen yang diminta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kepada pelaku eksportir, sebelum melakukan ekspor satwa liar.
"Ya, untuk ekspor cicak di Sumbar kita tahan dulu. Karena harus ada sejumlah surat izin yang perlu dipenuhi eksportir," kata Kepala Balai KSDA Sumbar Ardon Andono ketika dihubungi Bisnis di Padang, Kamis (15/12/2022).
Dia menjelaskan alasan perlu adanya izin untuk ekspor cicak itu, karena cicak termasuk satwa liar yang memiliki pengaruh kepada keseimbangan ekosistem di alam.
Artinya jika penangkapan satwa liar cicak tidak dikendalikan, BKSDA khawatir ekosistem bakal tidak seimbang, dan dampaknya akan dirasakan hingga ke manusia.
"Kalau cicaknya habis, maka serangga akan banyak. Makanya penangkapan cicak secara liar perlu dikendalikan," ujarnya.
Untuk itu, Ardi meminta agar kepada eksportir perlu untuk mengantongi sejumlah izin, mulai dari izin tangkar, pengepul, izin angkut, hingga izin edar.
Surat izin tangkar yang dimaksud, bila ada masyarakat melakukan penangkaran atau budi daya cicak yang bertujuan untuk diperdagangkan.
Namun apabila cicak diperdagangkan sumbernya bukan dari budi daya, tapi ditangkap secara liar, maka untuk pengepul harus mempunyai surat izin pengepul pula.
Selanjutnya bila masuk pada jalur perdagangan, eksportirnya harus memiliki surat izin angkut dalam negeri bila cicaknya didapatkan dari pengepul luar provinsi. Begitupun selanjutnya, jika cicaknya hendak di ekspor, maka eksportir harus memiliki surat izin angkut luar negeri.
"Seluruh surat-surat izin itu merupakan ranahnya BKSDA. Hal ini bukan kita bermaksud mempersulit. Tapi dengan adanya kelengkapan dokumen itu, BKSDA bisa memantau atau mengecek habitat dari cicak tersebut," tegasnya.
Ardi menyampaikan kendati cicak bukanlah satwa liar yang dilindungi, namun ekosistem dari cicak itu penting untuk dijaga. Karena peran cicak sebagai satwa pemakan serangga, juga harus dipastikan populasinya.
"Kasus banyaknya serangga pernah terjadi di salah satu daerah di Jawa. Hal itu akibat sudah habisnya cicak liar, akibat ditangkap warga. Nah hal ini yang nantinya kita khawatirkan di Sumbar, jika tidak segera dikendalikan," ungkapnya.
Selain soal berbagai surat izin yang perlu dikantongi, BKSDA juga membatasi kuota perdagangan cicak berdasarkan cangkupan wilayah.
Misalnya di Sumbar, jika habitat cicaknya ternyata terbilang normal dan tidak terjadi kelebihan populasi. Artinya Sumbar tidak punya kuota untuk memperdagangkan cicak tersebut.
"Berbeda jika cicak di Sumbar ini, populasinya banyak dan berlebih bahkan. Nah hal kita persilakan untuk menangkapnya, hingga kondisi populasi dikatakan normal alias keseimbangan ekosistem masih terjaga," ungkap Ardi.
Selama ini untuk lalu lintas ekspor cicak di Sumbar, diketahui banyak datang dari luar Sumbar, seperti yang dari daerah Jawa dan beberapa daerah di Sumatra.
"Untuk kondisi ini, jika eksportirnya ada di Sumbar, tapi cicaknya dari luar Sumbar. Maka dokumen yang harus dimiliki yakni surat izin angkut dalam negeri dan luar negeri," ucapnya.
Intinya BKSDA menyatakan tidak bermaksud menghalangi pelaku usaha, dan bahkan BKSDA mendukung perekonomian masyarakat. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah harus melalui jalur yang resmi dan aman, karena BKSDA memiliki tanggung jawab soal habitat dan ekosistem dari satwa liar, termasuk cicak tersebut.
Dari data Balai Karantina Pertanian Padang, ekspor cicak di Sumbar bahkan sudah dimulai sejak Mei 2022 lalu, dengan tujuan Hong Kong. Sementara BKSDA baru menghadang pengiriman cicak dalam kondisi kering, pada pertengahan November 2022 lalu.
Dari keterangan eksportir cicak di Sumbar, Doni, menjelaskan, terakhir cicak kering yang hendak di kirimnya melalui cargo di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) yang jumlahnya 5 koli atau 132 kilogram, dihadang oleh salah seorang petugas BKSDA.
"Tanggal 22 November 2022 lalu, saya hendak mengirimkan cicak kering untuk kelima kalinya di cargo BIM. Tiba-tiba saya ditemui petugas BKSDA dan meminta sejumlah dokumen. Saya kaget, kok tiba-tiba begini ya?" cerita Doni.
Dia menyebutkan adapun surat-surat yang diminta oleh salah seorang petugas BKSDA adalah surat izin angkut luar negeri, karena cicak kering itu akan dikirim ke Hong Kong.
"Saya pun menjelaskan ke petugas itu. Loh kok sekarang begini ya, saya bukan sekali ini saja yang ekspor cicak. Bukannya izin yang terpenting itu dari Balai Karantina Pertanian. Itu kata saya, tapi orang BKSDA itu tetap melarang saya untuk mengirimkan cicak yang telah di packing rapi sudah ada izin dari Balai Karantina Pertanian," jelasnya.
Di satu sisi, Doni mengaku tidak merasa keberatan jika benar perlu ada dokumen-dokumen yang diminta oleh BKSDA tersebut. Tapi dia berharap jelaskan dari awal, jika dokumen yang perlu dilengkapi itu tidak hanya dari Balai Karantina Pertanian saja.
"Setahu saya, otoritas yang berwenang adalah Balai Karantina Pertanian, guna memastikan kesehatan produk hewan kering yang dikirim itu. Nyatanya tiba-tiba ada surat izin dari pihak lain pula. Lagian cicak bukan hewan dilindungi," ungkapnya.
Akibat adanya hal itu, 5 koli cicak kering yang sempat batal di ekspor melalui BIM, akhirnya dia mengambil inisiatif untuk mengekspor melalui Kota Medan, Sumatra Utara.
Beruntung melalui bandara di Medan, tidak ada persoalan yang dihadapinya, termasuk izin-izin dari BKSDA di Medan. "Agak ringan beban pikiran saya, karena jika tidak bisa dikirim, rugi saya, karena harga satu kilogram cicak kering itu sampai ratusan ribu. Nah 5 koli itu beratnya 132 kilogram," jelasnya.
Kini semenjak adanya surat-surat izin yang diminta BKSDA itu, Doni terpaksa memberhentikan sejumlah pekerja yang selama ini dilibatkannya untuk mengekspor cicak kering tersebut.
"Mau tidak mau, saya harus memberhentikan pekerja di tempat saya. Karena saya tidak bisa ekspor cicak kering lagi. Padahal cicak-cicak dari berbagai daerah masuk terus ingin memasok ke Sumbar. Ya harus bagaimana lagi," tegasnya.
Doni juga menyebutkan perdana dia mengekspor cicak kering itu pada bulan Mei 2022, dengan jumlah 670 kilogram. Selanjutnya ada pengiriman lagi dengan jumlah 45 kilogram, lalu ada dikirim lagi sebanyak 670 kilogram. Serta lanjut pada Juli 2022 sebanyak 1,4 ton kembali di ekspor, dengan tujuan Hong Kong.
"Nah ketika mau kirim 5 koli cicak kering, baru dihadang BKSDA, persis pada 22 November 2022," sebut dia.
Doni mengakui selama melakukan ekspor cicak kering itu, dari sekian ratusan kilogram cicak yang dikirim, hanya sebagian kecil yang merupakan hasil tangkapan cicak di Sumbar. Selebihnya bahan cicak kering yang dikirim itu, berasal dari Jawa dan Medan.
"Palingan cuma enam atau delapan kilogram cicak asal Sumbar. Karena memang belum banyak masyarakat di Sumbar yang tahu untuk menangkap cicak itu. Jadi saya harus cari ke luar daerah," tutupnya.
Doni berharap segala bentuk dokumen-dokumen keperluan untuk ekspor cicak atau satwa liar seperti yang disebutkan BKSDA, harusnya disosialisasikan, sehingga masyarakat maupun pengusaha lainnya tahu. Jika tidak, BKSDA seakan terkesan-kesan menghambat perekonomian masyarakat.