Bisnis.com, PADANG - Harga sejumlah bahan pokok mengalami kenaikan diduga terjadi karena berkurangnya pasokan masuk ke pasar.
Persoalan ditanggapi oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Sumatra Barat. Gubernur Mahyeldi mengatakan kenaikan harga bahan pokok sudah terpantau mengalami kenaikan sejak sebelum Ramadan 2022 lalu.
"TPID perlu fokus mengkoordinasikan kondisi yang terjadi saat ini, dan melakukan sejumlah langkah pengendalian di provinsi dalam rangka menjaga inflasi," katanya, Jumat (10/6/2022).
Menurutnya kondisi perekonomian di Sumbar saat ini tidak hanya dilanda akibat kenaikan harga sejumlah bahan pokok. Tapi juga diikuti dengan adanya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi dan kerbau.
Persoalan wabah PMK dan naiknya harga bahan pokok jelang Idul Adha 2022 ini, kata Mahyeldi, harus segera dikendalikan.
"Melalui TPID ini, saya berharap betul sama-sama bekerja. Jangan sampai kondisi saat ini dibiarkan berlangsung lama. Kan sudah sejak awal Ramadan terjadi. Tapi harga yang terjadi kini, sudah sangat tinggi," sebutnya.
Seperti untuk cabai merah, hari ini harga cabai merah dari Jawa Rp75.000 per kilogram. Lalu cabai merah lokal Rp60.000 per kilogram.
Biasanya harga cabai merah di Sumbar ini normalnya di kisaran Rp15.000 hingga Rp25.000 per kilogram. Artinya kenaikan harga cabai merah ini sudah sangat tinggi.
"Kondisi kenaikan harga cabai merah ini akibat gagal panen di Jawa. Jadi produksi hanya sedikit, dan berdampak kepada pasokan ke pasar juga mengalami penurunan," sebutnya.
Padahal saat ini kebutuhan cabai merah terbilang meningkat, mengingat telah dilonggarkannya sejumlah aturan terkait pandemi Covid-19. Seperti halnya rumah makan
Mahyeldi menyebut, dulu sewaktu pandemi, rumah makan dibatasi, dimana hanya melayani pembeli yang dibungkus, dan tidak melayani makan di tempat.
"Sewaktu itu kebutuhan rumah makan terhadap bahan pokok tidak terlalu banyak. Tapi kini, rumah makan telah beroperasi normal, sehingga kebutuhan terhadap bahan pokok jadi nanik. Sementara pasokan cabai merahnya tidak normal masuk ke pasar," ungkap gubernur.
Belajar dari hal itu, maka perlu melahirkan sebuah inovasi di bidang pertanian, sebagai solusi kedepannya.
Mahyeldi menyatakan perlu adanya modernisasi dan hilirisasi pertanian dengan menggunakan sistem alih teknologi, sehingga tidak terlalu bergantung pada kondisi alam.
“Perlunya modernisasi pertanian, karena salah satu terjadinya kelangkaan pangan adalah iklim yang terus berubah. Jadi kita perlu mengembangkan inovasi pertanian, salah satunya adalah modifikasi cuaca,” kata gubernur.
Dia menjelaskan modifikasi cuaca itu dapat mengkondisikan cuaca berperilaku sesuai dengan kebutuhan di sektor pertanian, seperti meningkatkan curah hujan atau mempercepat terjadinya hujan.
Modifikasi cuaca juga dapat memecah persoalan kekeringan lahan pertanian di saat musim kemarau karena teknologi modifikasi cuaca akan meminta hujan yang airnya dapat mengisi waduk.
"Begitu juga, peningkatan intensitas hujan di saat musim tanam," jelasnya.
Selain itu, Mahyeldi juga menyebutkan perlu adanya pembangunan green house untuk melindungi tanaman pangan dari bahaya cuaca ekstrim.
Sehingga produksi pangan di Sumbar bisa terus berjalan tanpa bergantung pada kondisi iklim pada saat itu.
"Melalui perguruan tinggi juga bisa fokus pada bidang pertanian itu sebenarnya. Sehingga bisa membantu pemerintah, dalam hal memfasilitasi dan membina masyarakat di sekitarnya untuk mengembangkan usaha pertanian," ujarnya.
Untuk itu gubernur mendukung perguruan tinggi yang mempunyai usaha pertanian, untuk mengisi kebutuhan pangan dan menyuplai kebutuhan sayuran yang ada di pasar dan supermarket.
Kepala Bank Indonesia Wilayah Sumbar, Wahyu Purnama, menambahkan bahwa saat ini sumbar masuk ke dalam komoditas penyumbang inflasi nasional pada Mei tahun 2022.
Komoditas tersebut antara lain Nasi dengan lauk mengalami inflasi sebesar 1,70 persen, Telur ayam ras sebesar 11,24 persen, Sawi Hijau sebesar 33.51 persen, dan angkutan udara sebesar 41.72 persen.
Dibandingkan pada bulan April 2022, inflasi kelompok di Sumbar tercatat mengalami penurunan, kecuali pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, kelompok transportasi, serta kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran yang masih mengalami inflasi.
“Secara bulanan, inflasi Sumbar pada Mei 2022 berada pada urutan ke-1 inflasi tertinggi dari total 10 provinsi di Kawasan Sumatera,” papar Wahyu yang juga sebagai Wakil Ketua TPID Sumbar itu.
Sementara secara triwulan I pertumbuhan ekonomi Sumbar sudah positif sebesar 3,64 persen, namun sebagai catatan pertumbuhan ekonomi di triwulan/I tahun 2022 lebih rendah dari rata-rata Sumatera dan lebih rendah dari nasiona.
Wahyu menyebutnya berdasarkan hasil diskusi TPID, Sumbar berkomitmen meningkatkan sinergi dan koordinasi dengan seluruh anggota TPID sehingga laju inflasi tetap terkendali.
Seperti melakukan sepuluh langkah strategis pengendalian inflasi, antara lain menghimbau maskapai tidak menaikkan harga tiket pesawat di akhir tahun, serta adanya peningkatan pengawasan oleh Satgas Pangan ke pasar-pasar guna memastikan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Kemudian melakukan optimalisasi peran Toko Tani Center Indonesia di kabupaten/kota, operasi pasar oleh Bulog, Koordinasi intensif dengan produsen, dan distributor khususnya untuk minyak goreng, terigu, agar distribusi merata, menetapkan HET dan tata niaga minyak goreng, melakukan koordinasi dengan Dinas Perhubungan untuk kelancaran transportasi, melakukan substitusi pupuk dan pertanian terpadu, melakukan koordinasi dengan Pertamina dan PLN, dan antar TPID se-Sumbar. (k56)