Bisnis.com, PEKANBARU -- Pengumuman larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng oleh Presiden Jokowi pada 22 April 2022 lalu, seolah menjadi penanda dimulainya kesulitan dan beragam masalah bagi petani sawit di Tanah Air, termasuk di Provinsi Riau.
Ariana Ramelan, petani sawit asal Siak, Riau menyebut kondisi yang dirasakan pihaknya dan rekan-rekan semakin berat. Harga jual tandan buah segar yang diterima sudah turun semakin dalam.
"Sekarang harga sudah turun jauh, sebelum ada larangan ini kami bisa terima sampai Rp3.000 per kg dari para tengkulak. Tapi sekarang hanya dihargai Rp1.000 sampai Rp2.100 per kg," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (11/5/2022).
Menurut data Disbun Riau, harga acuan TBS sawit petani pada Selasa (11/5/2022) berada di angka Rp2.900 per kg, atau turun dari periode sebelum Lebaran yang berada di level sekitar Rp3.900 per kg.
Harga yang ditetapkan ini merupakan harga sawit petani di pabrik, dan angkanya bisa lebih rendah di level petani apabila menjual melalui tengkulak, pengepul, atau toke sawit.
Ariana mengakui, perbedaan harga yang diterima petani sawit dari para tengkulak disebabkan beberapa hal. Misalnya risiko akibat antrean tumpukan buah sawit saat akan masuk ke pabrik, akhirnya kualitas buah berkurang dan hasilnya harga beli dari pabrik lebih rendah.
Lalu setelah adanya pelarangan ekspor ini, pabrik membeli buah petani dari tengkulak dengan harga tidak pasti. Dimana apabila harga beli lebih rendah, risikonya akan didapatkan petani dengan pengurangan harga beli untuk pengiriman buah selanjutnya. Namun bila harga beli buah lebih tinggi, petani tidak mendapatkan pembagian keuntungan selayaknya yang diterima saat para tengkulak itu merugi.
Memang situasi ini memberatkan bagi petani sawit, tapi tidak ada pilihan lain yang bisa diambil karena buah sawit harus dipanen sesuai waktunya agar produktivitas pohon sawit dapat terjaga. Bila waktu panen ditunda, risikonya lebih besar lagi yaitu buah akan membusuk di pohon, sampai kepada rusaknya pohon sawit untuk jangka panjang.
Ditambah lagi sejak harga sawit tinggi beberapa waktu lalu, para pekerja yang memanen sawit juga meminta kenaikan upah, kemudian di saat harga turun seperti saat ini upah tidak ikut berkurang. "Jadi petani selalu kalah, maju kena mundur kena dengan situasi ini," ujarnya.
Ariana mengakui saat ini kondisi keuangan petani sedang diuji, karena penurunan harga sawit yang dekat dengan momen Lebaran dimana pengeluaran ikut meningkat tapi pendapatan dari penjualan TBS malah anjlok.
Apabila kondisi ini terus berjalan, dia meyakini perekonomian Riau kedepan akan melemah karena komoditas kelapa sawit ibarat bahan bakar pergerakan aktivitas dunia usaha di wilayah itu.
"Kami sudah paham hitung-hitungan bisnis sawit dan dampaknya bagi ekonomi daerah. Lihat saja kalau harga sawit tinggi, mal di Pekanbaru akan penuh orang belanja lalu di jalan-jalan banyak mobil pelat putih. Artinya mobil laku dibeli petani dan pengusaha sawit," ujarnya.
Tapi kondisi sebaliknya akan terjadi bila harga sawit terus melemah, ekonomi daerah akan lesu dan pusat belanja menjadi sepi. Sampai kepada turunnya penjualan mobil, motor, dan produk turunan otomotif lainnya di pasaran.
Karena itu dia mengharapkan pemerintah hadir membantu pihaknya dan rekan-rekan petani lainnya, dengan mengawal harga beli sawit di pabrik dan para tengkulak ini.
Dia juga meminta Presiden Jokowi untuk turun tangan langsung, dengan cara membuka kembali keran ekspor sawit yang menjadi penyebab utama masalah runtuhnya harga hingga merugikan petani kecil lainnya.
Sebelumnya Dinas Perkebunan Provinsi Riau menyatakan pihaknya bakal menjatuhkan sanksi kepada pabrik kelapa sawit (PKS) yang membeli sawit petani di bawah harga acuan Disbun.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Disbun Riau, Defris Hatmaja menjelaskan Gubernur Riau telah menginstruksikan Dinas Perkebunan Provinsi Riau untuk bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Kab/Kota dalam pengawasan harga ke semua PKS se-Riau yang membeli harga TBS petani jauh dari batas harga wajar.
"Silahkan dikirimkan nama PKS nya untuk ditindak lanjuti. Saat ini tim pengawas sedang di lapangan semua untuk mengawasi harga pembelian sawit petani," ujarnya.
Menurutnya anjloknya harga sawit saat ini telah mendorong Kementerian Pertanian (Kementan) dan Gubernur Riau untuk menerbitkan surat edaran bagi PKS dan memperingatkan pihak-pihak terkait anjloknya harga TBS sawit petani.
Apabila setelah dilakukan pengawasan tersebut, tetapi PKS masih membeli harga TBS petani di bawah harga yang ditetapkan, pabrik tersebut akan diberikan sanksi mulai dari peringatan sampai dengan usulan pencabutan izin usaha, sesuai yang diatur oleh regulasi dan aturan yang berlaku.
Sebelumnya Petani sawit di Provinsi Riau meminta kepada pemerintah agar kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng ke luar negeri bisa segera dicabut, agar harga beli sawit petani bisa kembali membaik.
Sekretaris Apkasindo Riau Djono Albar Burhan mengatakan saat ini harga rata-rata sawit yang diterima petani dari pabrik masih sama dengan kondisi sebelum Lebaran atau akhir April 2022 lalu, yaitu di harga Rp2.100 sampai Rp2.300 per kg.
"Harga jual sawit petani di Riau masih belum pulih ke kondisi sebelum larangan ekspor, masih jauh dari harga sebelumnya yang bisa Rp3.800 per kg. Karena itu kami minta larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng ini dicabut oleh pemerintah," ujarnya.
Dia mengakui hanya itu satu-satunya solusi agar harga jual sawit yang diterima petani bisa kembali membaik, seiring dengan masih tingginya harga CPO di pasar dunia.
Menurutnya saat ini petani sawit harus menanggung kerugian akibat harga jual sawit yang rendah, dan bahkan dinilai hanya bisa menahan kondisi tersebut dalam sepekan kedepan.
Karena apabila harga jual bertahan di angka rendah seperti saat ini, petani sawit disebut tidak mampu membeli pupuk untuk menjaga produktivitas hasil sawit kedepannya, karena memang harga pupuk juga masih tinggi.
"Untuk harga pupuk tidak ikut turun di saat harga sawit sedang turun, dan pupuk masih dijual dengan harga lama, misalnya NPK tahun lalu masih Rp450.000, sekarang sudah Rp700.000, kemudian pupuk urea yang tahun lalu Rp300.000, sekarang sudah Rp600.000," ujarnya.
Dia menyebutkan apabila kondisi harga rendah tidak bisa diselesaikan pemerintah, akan berdampak pada turunnya produktivitas sawit petani rakyat di tahun depan, yang tentu berimbas terhadap aktivitas pengolahan kelapa sawit di Provinsi Riau dan nasional.