Bisnis.com, PADANG - Presiden RI Joko Widodo secara resmi melarang untuk melakukan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan produk minyak goreng mulai 28 April 2022 mendatang.
Kendati alasan Jokowi mengambil kebijakan itu agar pasokan minyak goreng di dalam negeri tidak langka dan melimpah. Namun ada beberapa hal yang perlu diingat pemerintah terkait kebijakan tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatra Barat Syahril. Dengan mengumumkan penghentian ekspor CPO dan produk minyak goreng terhitung 28 April 2022 itu, sebenarnya bukanlah langkah yang bijak.
"Sebenarnya tidak pun diumumkan di tanggal 28 April itu ekspor (CPO dan produk minyak goreng) dihentikan, pabrik sebenarnya sudah berhenti juga beroperasi. Kan terhitung 28 April itu orang pada mulai cuti Lebaran, ya terhenti dulu ekspornya, mengingat masih Lebaran," katanya ketika dihubungi Bisnis di Padang, Senin (25/5/2022).
Namun Syahril melihat akibat adanya pernyataan resmi dari Presiden Jokowi itu, memberikan dampak buruk kepada para petani, dan memberikan keuntungan bagi para eksportir. "Seharusnya pak Presiden tidak mengumumkannya, setidaknya kondisi masih bisa terkendali," ujarnya.
Dia menjelaskan jika hasil panen sawit di Indonesia ini sifatnya kebutuhan domestik saja, maka perusahaan akan berpikir untuk mematok nilai beli sawit dengan harga yang lebih murah.
Bila harga sawit murah, yang merasakan dampaknya adalah petani, terutama untuk petani perkebunan rakyat. Tapi bagi eksportir, kondisi tersebut mampu menghasilkan cuan.
"Jika harga sawit lagi murah, perusahaan CPO bisa saja stok sebanyak-banyaknya. Nanti bila ekspor dibuka kembali. Nah bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi," ujarnya.
Tapi ada hal yang perlu diwaspadai yakni berpotensi terjadi monopoli, karena perusahaan bakal menjual atau ekspor stok CPO sebanyak-banyaknya yang selama ini di stok.
Dikatakannya persoalan ini seharusnya menjadi perhatian dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
"Potensi monopoli malah yang terjadi menurut saya. Karena dengan dihentikannya ekspor CPO, dunia pasti kekurangan pasokan. Akibatnya harga CPO bisa naik. Bila Indonesia membuka kembali keran ekspor, tentu stok yang selama ini ada, diekspor lah sebanyak-banyaknya," ungkap dia.
Di satu sisi, menurutnya kebijakan dilarangnya ekspor CPO dan produk minyak goreng itu bakal membuat kondisi perekonomian petani suram. Namun bila kebijakan itu hanya bersifat jangka pendek, Syahril menyatakan tidak mempersoalkannya.
Dia melihat, bila kebijakan Presiden Jokowi itu dalam jangka pendek, maka memang sudah semestinya berjalan dalam kondisi momen Lebaran.
Akan tetapi, bila kebijakannya itu dalam jangka panjang, maka akan menimbulkan kerugian. Tidak hanya bagi petani, tapi juga bagi eksportir dan bahkan bagi pemerintah.
"Saya berharap kebijakan ini jangan sampai jangka panjang. Pada merugi semuanya, pajak CPO ini memberikan pendapatan yang besar bagi pemerintah. Jika dihentikan ekspornya, bisa berpengaruh ke pendapatan dari sektor ekspor CPO," katanya.
Hal tersebut tentunya semakin membuat petani menderita. Bahkan bisa saja harga yang dulu pernah di bawah Rp1.000 per kilogram bakal kembali terjadi.
Untuk itu, agar kondisi harga tidak mengambang, perlu pemerintah untuk segera membuat patokan harga terendah. "Patokan harganya itu harus menghitung modal dasar seperti harga pupuknya," sebut dia.
Syahril menilai jika tidak ada aturan terkait patokan harga terendah itu, maka perusahaan bisa saja semena-mena menetapkan harga sawit.
Artinya antar perusahaan bisa saja mempunyai harga beli yang berbeda. Akibatnya petani mau tidak mau harus menjual hasil panennya, dari pada buah sawit membusuk di batang.
Dia berharap hal tersebut tidak terjadi, sehingga petani pun tidak terlalu dirugikan akibat kebijakan dilarangnya ekspor CPO dan produk minyak goreng.
"Kalau sekarang harga sawit di tingkat petani perkebunan rakyat di Sumbar masih Rp3.500 per kilogram. Saya belum tahu, bagaimana pula kondisi harga sawit nantinya, terhitung 28 April 2022 itu," tegasnya. (k56)