Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Kebun Sawit Sumsel Merosot Hingga 60%

Produksi kelapa sawit di Sumatra Selatan tercatat mengalami penurunan rata-rata 50 persen - 60 persen selama akibat kemarau panjang yang terjadi pada tahun lalu.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, PALEMBANG – Produksi kelapa sawit di Sumatra Selatan tercatat mengalami penurunan rata-rata 50% – 60% selama akibat kemarau panjang yang terjadi pada tahun lalu.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, mengatakan penurunan produksi terjadi sejak April 2020 dan dialami semua kebun sawit, baik milik perusahaan, plasma maupun mandiri.

“Produksi sawit di kebun perusahaan skala besar merosot begitu pula petani swadaya tidak jauh beda. Ini memang terjadi karena siklus tahunan dan kemarau panjang tahun lalu,” katanya saat dihubungi Bisnis, Jumat (28/8/2020).

Rudi memaparkan berdasarkan laporan produksi tandan buah segar (TBS) diterima pihaknya, penurunan produksi dialami kebun Wilmar Grup yang turun 60%, PT London Sumatra (Lonsum) turun 50% dan PT Hindoli turun sebesar 35%.

“Sekarang ini memang masa trek yang ditandai dengan daun mengering dan pembungaan yang berkurang,” katanya.

Dia menerangkan kondisi trek tersebut bakal berpengaruh terhadap pencapaian produksi komoditas andalan Sumsel sampai akhir tahun 2020. Namun demikian, angka penurunan produksi tersebut tidak begitu signifikan mengingat luas perkebunan sawit eksisting baru mencapai 1,18 juta hektare berdasarkan Statistik Perkebunan Sumsel. Sementara berdasarkan SK Mentan nomor 833/kpts/2019 tentang luas tutupan sawit Sumsel tahun 2019 tercatat seluas 1,46 juta ha.

“Walaupun ada penurunan tidak seberapa, tapi dampaknya di Industri PKS (pabrik kelapa sawit) sangat terasa sampai ada yang mengurangi shift kerja,” katanya.

Sementara itu Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Sumsel, Alex Sugiarto, mengatakan dalam kondisi panen rendah (low crop), tenaga kerja panen di lapangan biasanya dialihkan untuk melakukan pekerjaan berupa perawatan tanaman.

“Pengurangan atau pengaturan shift pasti karena pasokan TBS berkurang, namun sebagian karyawan biasanya dialihkan utk perbaikan perawatan mesin-mesin pabrik,” kata dia kepada Bisnis.

Alex menambahkan pekerja pun dialihkan untuk persiapan pabrik menghadapi kapasitas penuh saat panen puncak (peak crop).

Dia menjelaskan low crop terjadi pada Semester I/2020 yang dipengaruhi cuaca panas (el nino) pada tahun 2019. Pihaknya memproyeksi panen mulai membaik dan mencapai puncaknya pada September – Oktober 2020.

Dia menambahkan kondisi panen rendah dan puncak pasti dihadapi industri kelapa sawit setiap tahun.

“Sehingga manajemen kebun dan pabrik sudah memiliki perencanaan untuk pengaturan jenis pekerjaan dan jadwal shift,” ujarnya.

Di tengah penurunan produksi TBS, harga komoditas tersebut cenderung terus merangkak naik.

Berdasarkan penetapan harga TBS Sumsel Periode II Agustus 2020 tahun 10—20 mencapai Rp1.740,85. Harga tersebut naik hampir 6 persen dibandingkan periode I Agustus yang senilai Rp1.644,54.

Sementara untuk harga crude palm oil (CPO) tercatat senilai Rp8.733,50 naik sekitar 5,3% dari harga sebelumnya Rp8.288,98 per kilogram.

“Dengan kondisi low crop dan di Malaysia juga mengalami tekanan produksi karena kendala tenaga kerja di masa pandemi Covid-19, sehingga membantu kenaikan harga CPO,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dinda Wulandari
Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper