Bisnis.com, PEKANBARU — Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Riau memasang target konservatif untuk pertumbuhan ekonomi Bumi Lancang Kuning pada 2020.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau Decymus mengatakan untuk sementara ini pihaknya memasang target Produk Domestik Regional bruto (PDRB) Provinsi Riau pada kisaran 2,5%—3%.
“Kami sementara ini konservatif dulu, 2,5%—3% [untuk PDRB Riau 2020]. Kalau kita bisa mengatasi tantangan yang ada sekarang dan memanfaatkan peluang, itu angkanya akan cenderung ke 3%, bahkan bisa lebih,” kata Decymus saat ditemui di kantornya, Jumat (10/1/2020).
Adapun Badan Pusat Statistik Provinsi Riau mencatat pertumbuhan ekonomi Bumi Lancang Kuning hingga periode kuartal III/2019 hanya sebesar 2,74%,melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 2,94%.
PDRB Riau pada periode 9 bulan pertama 2019 itu berkontribusi sebesar 4,63% yoy (year-on-year) terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, turun dibandingkan pada 2018 yang sempat mencapai 5,04% yoy.
Bank Indonesia Perwakilan Riau pun mencatat provinsi ini tak lagi menjadi daerah dengan PDRB terbesar pertama di luar Pulau Jawa. Posisinya kini turun ke peringkat dua setelah Provinsi Sumatera Utara.
Menurut Decymus, dalam menghadapi perlambatan dan ketidakpastian global pada tahun ini diharapkan Provinsi Riau dapat melakukan hilirisasi serta mengembangkan sumber pertumbuhan baru untuk dapat bertahan.
Menurutnya, sisi global pada 2020 belum akan menggembirakan dan tak bisa diharapkan untuk menggenjot kinerja ekspor dari Riau.
Selama ini, ekonomi Riau ditopang oleh ekspor komoditas. Hal itu terbukti rentan apabila terjadi gejolak di luar negeri, misalnya perlambatan ekonomi dunia yang langsung berdampak terhadap permintaan komoditas minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), migas, dan karet yang menjadi andalan masyarakat di Tanah Melayu.
“Kalau [Riau] begini-begini saja, ya paling sama lagi seperti tahun ini , [PDRB] sekitar 2,7%—2,9%. Bahkan kalau misalnya tidak hati-hati [bisa lebih lambat lagi], perlambatan itu kan selama ini dari 2015 karena ekspor [turun],” tutur Decymus.
Dari data BPS Riau per November 2019, nilai ekspor Riau tercatat senilai US$11,07 miliar atau mengalami penurunan 24,99% yoy dari sebelumnya US$14,75 milar.
Penurunan ekspor secara kumulatif pada periode Januari—November 2019 disebut karena turunnya ekspor minyak mentah sebesar 82,17% dan ekspor industri pengolahan hasil minyak sebesar 12,48%.
Untuk mengantisipasi perlambatan lebih jauh, BI Riau menyarankan adanya hilirisasi untuk menjawab tantangan dari menurunnya permintaan terhadap kelapa sawit dan minyak bumi dari luar negeri.
Adapun, saat ini berbagai hambatan dari negara tujuan ekspor kelapa sawit banyak menyasar produk primer dan intermediate. Dengan mendorong hilirisasi, produk-produk final goods berbasis kelapa sawit akan selamat dan tidak banyak mengalami hambatan.
“Sektor berbasis kelapa sawit dan minyak bumi sudah sejak lama menjadi sektor yang besar, hampir 80% ekonomi Riau. Tiada tantangan yang lebih relevan atas sektor gemuk ini selain hilirisasi,” lanjut Decymus.
Dirinya menegaskan bahwa hilirisasi di Riau masih dapat lebih ditingkatkan lagi. Saat ini, industri berbasis kelapa sawit di Riau baru mampu menghasilkan 20 jenis produk turunan, jauh di bawah Malaysia yang sudah menghasilkan 147 produk turunan.
Pada saat bersamaan, sektor alternatif pertumbuhan ekonomi Riau juga dapat ditingkatkan lagi kontribusinya terhadap PDRB Riau. Sejak 2019, Decymus mengatakan pihaknya telah gencar menyuarakan perlunya mencari sektor usaha yang dapat menjadi sumber pertumbuhan baru.
Dari kajian yang telah dilakukan, sektor perdagangan, perikanan, real estat, Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), ekonomi kreatif, serta pariwisata tampil menjadi sektor yang potensial untuk menopang ekonomi Riau.
“Kami sudah menyampaikan concern ini ke semua pemangku kepentingan di Riau, mulai dari gubernur, bupati, kapolda juga. Semua sangat mendukung bahwa perlunya kita mengembangkan sektor ekonomi yang bisa menjadi sumber pertumbuhan baru,” pungkas Decymus.