Bisnis.com, PALEMBANG – Sejumlah pabrik pengolahan karet di Sumatra Selatan kekurangan bahan baku karena penurunan produktivitas di tingkat petani.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel Nur Ahmadi mengatakan penurunan produksi di tingkat petani ini disebabkan adanya penyakit gugur daun, dan keengganan dari petani itu sendiri untuk menyadap karena anjloknya harga.
"Dari 29 pabrik pengolahan karet yang ada di Sumatera Selatan, bisa dikatakan saat ini semuanya lagi kesulitan bahan baku. Suplainya yang kurang dari petani,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya, pabrik-pabrik ini menerapkan tiga shift kerja (8 jam/shift) dalam satu hari untuk menyerap karet dari petani untuk diolah menjadi SIR 10 dan SIR 20 dan agar layak diekspor.
Saat ini sejumlah pabrik karet di Sumsel terpaksa mengurangi jam kerja pegawainya karena kekurangan pasokan bahan baku dari petani itu.
Dia mengatakan biasanya pabrik memberlakukan tiga shift jam kerja dalam satu hari dengan tiap-tiap shift bekerja untuk 8 jam.
Namun, sejak beberapa bulan terakhir hanya memberlakukan satu hingga dua shift lantaran volume bahan baku jauh berkurang.
Kondisi ini membuat pengusaha karet kesulitan mengingat untuk mengekspor karet dalam bentuk SIR 10 dan SIR 20 diberlakukan ketentuan minimal untuk volumenya.
"Ya saat ini bisa dikatakan, pengusaha itu hanya bertahan, tapi belum bisa dikatakan bangkrut," kata Nur Ahmadi.
Gapkindo mengharapkan pemerintah dapat melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi persoalan ini mengingat penurunan harga komoditas karet itu sudah terjadi sejak 2013.
Pada 2019 ini, harga masih di bawah standar yakni sekitar US$1,3 dolar/kg dengan FoB, sehingga di tingkat petani hanya sektiar Rp5.000 – Rp7.000/kg dan di kelompok tani berkisar Rp8.000 – Rp9.000/kg.
“Pemerintah harus memperkuat diplomasinya terutama ke sesama negara pengekspor karet, agar mau mengurangi produksi Indonesia, Thailand dan Malaysia sudah sepakat, tapi ini ada negara-negara baru seperti Vietnam dan Kamboja,” kata Nur Ahmadi.
Data terakhir menunjukkan terjadi penurunan ekspor karet Sumsel pada Mei 2019 sebesar 22 persen, sejalan penurunan produksi karet Sumsel yang menyusut hingga 40 persen menjadi 583.000 ton per kuartal I/2019. Padahal pada 2017 - 2018, produksi karet secara kuartalan berada di kisaran 971.000 ton.
Untuk itu, ucap Nur Ahmadi, Gapkindo menunggu langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor karet ini mengingat keinginan untuk membangun industri hilirisasi hingga kini sebatas wacana karena tak kunjung terealisasi.
Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Yunita Resmi Sari mengatakan persoalan sektor karet kini menjadi konsentrasi semua pihak baik di daerah maupun di pemerintahan pusat.
"Arahnya saat ini bagaimana membangun hilirisasi karet, seperti membangun pabrik ban karena diakui penyerapan tertinggi karet itu untuk pembuatan ban. Sementara untuk aspal karet hanya sekitar 7,0 persen dan tidak terus menerus permintaannya," kata Yunita.
Sambil merealisasikan rencana ini, pemerintah akan berupa membenahi tata niaga karet mengingat terjadi ketidakadilan dalam pembagian keuntungan antara sisi hulu (petani) dan sisi hilir.