Bisnis.com, PALEMBANG--Siang itu penghujung tahun 2018 Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero), Budi Santoso Syarif, menyambangi Kilang Plaju Palembang. Misinya ingin menengok inovasi dalam meracik minyak sawit mentah menjadi BBM di green refinery pertama di Tanah Air tersebut.
Tak berselang lama, pada awal Januari 2019, kilang yang berada di tepian Sungai Musi itu, kembali kedatangan tamu penting. Kali ini Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati meninjau kilang yang dikelola Pertamina Refinery Unit (RU) III.
Tak tanggung-tanggung, Nicke menggandeng Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Ignasius Jonan untuk menyaksikan langsung upaya perseroan dalam menghasilkan BBM yang ramah lingkungan.
Niat Pertamina menciptakan energi bersih lewat Kilang Plaju menempuh serangkaian kajian dan ujicoba untuk menemukan teknologi yang tepat.
Kilang yang berdiri sejak 1904 silam itu kini dapat menghasilkan green gasoline (bensin) dengan kadar octane hingga 91, B20 (biosolar) hingga green LPG. Semua produk bahan bakar itu merupakan campuran produk turunan CPO dengan energi fosil sehingga menjadi bahan bakar ramah lingkungan yang berkualitas.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Pertamina memulai uji coba lewat metode Advanced Cracking Evaluation (ACE) Test pada Agustus 2018. Cara tersebut diyakini dapat membuat produk turunan CPO, yakni refined bleached deodorized palm oil (RBDPO), dapat diolah menjadi green fuel dengan skema co-processing. Perseroan lantas memulai teknik tersebut pada pertengahan Desember 2018.
Region Manager Communication & CSR Pertamina Sumbagsel, Rifky Rahman Yusuf, menjelaskan co-processing merupakan metode produksi yang mengolah bahan baku minyak nabati dan minyak bumi secara bersamaan. Dalam skema ini dilakukan injeksi RBDPO secara bertahap dari 2,5% hingga 7,5%.
"Selain membuat metodenya, kami juga harus menyiapkan sarana dan prasarana yang mendukung co-processing, seperti line, tangki dan jetty. Green fuel ini kami olah di unit RFCC (Residual Fluid Catalytic Cracke),” katanya.
Saat ini, unit RFCC Kilang Plaju yang berkapasitas 20,5 Million Barel Steam Per Day (MBSD) mampu menghasilkan green fuel sebanyak 405.000 barel setara 64.500 kilo liter (KL) per bulan. Selain itu, kilang ini juga menghasilkan produksi elpiji ramah lingkungan sebanyak 11.000 ton per bulan.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan Kilang Plaju menjadi sinyal move on yang ingin ditunjukkan perusahaan energi pelat merah itu.
“Kami ingin menjawab tantangan dunia agar bisnis migas mulai move on dari sumber energi fosil menuju green energy yang bersumber dari minyak sawit, apalagi kita punya sumber itu dalam jumlah banyak,” katanya.
Nicke meyakini energi ‘hijau’ merupakan bisnis masa depan yang banyak dinantikan pasar dunia. Oleh karena itu perseroan ingin ambil bagian dalam era baru industri migas itu melalui konversi kilang lama ke kilang ‘hijau’ alias green refinery.
Apalagi, cadangan minyak mentah (crude oil) yang bersumber dari fosil telah diperkirakan sejumlah pihak akan habis pada tiga puluh tahun mendatang.
Menurut dia, pengembangan green refinery tak sekadar mengusung misi energi hijau namun juga secara hitungan bisnis mampu menghemat kas perseroan.
"Kami bisa berhemat hingga US$160 juta atau Rp2,3 triliun per tahun karena mengurangi ketergantungan impor minyak mentah. Kami hitung impor minyak bisa berkurang hingga 7.360 barel per hari (bph),” paparnya.
Dalam jangka panjang, kata Nicke, perusahaan bakal bekerjsama dengan perusahaan minyak asal Italia, ENI, yang menjadi pelopor konversi kilang pertama di dunia.
Kerjasama tersebut untuk mengembangkan kilang-kilang Pertamina lainnya menjadi green refinery.
Dia mengatakan pihaknya ingin mengoptimalkan sumber daya alam dalam negeri untuk menciptakan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional.
“Kami juga menjajaki kerjasama dengan PTPN untuk suplai kelapa sawit sebagai bahan baku green fuel, agar bahan bakar yang dijual tetap terjangkau bagi masyarakat Indonesia,” katanya.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan pengembangan green refinery merupakan era baru bagi industri bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia.
“Jika kita menggunakan BBM dari renewable resources dapat tercipta udara bersih. Green energy ini kita siapkan untuk generasi masa depan,” katanya.
Ambisi Ciptakan B-100
Setelah sukses menghasilkan aneka produk bahan bakar campuran CPO, Pertamina kini berambisi mengolah energi hijau yang berasal dari 100% minyak sawit mentah.
“Kami akan melakukan proses pengolahan 100% CPO [menjadi BBM] di sini, di Kilang Plaju,” kata Nicke.
Nicke menjelaskan ambisi itu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan mengingat Kilang Plaju juga sudah mampu mengolah B20 yang dilakukan sejak awal tahun 2019.
Region Manager Communication & CSR Pertamina Sumbagsel, Rifky Rahman Yusuf, menambahkan pihaknya telah melakukan improvement baik dari segi sarfas penerimaan minyak nabati (fatty acid methyl ester/FAME) maupun produksi B-20 dalam tempo yang cukup cepat.
Dia memaparkan Kilang RU III mampu mengolah pasokan FAME dari supplier dengan kapasitas 30.000--40.000 kilo liter per bulan. Selanjutnya, FAME tersebut dicampur ke solar sehingga menghasilkan 180.000 -- 200.000 KL B-20 setiap bulan.
Adapun kebutuhan B-20 di wilayah Sumsel dan Lampung tercatat sebanyak 3.500 KL – 5.000 KL per hari.
Menurut Rifky, melalui pemanfaatan minyak sawit ini, selain menyejahterakan petani sawit dengan menjaga stabilisasi harga CPO juga mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari Business as Usual (BAU) pada tahun 2030.
Diketahui, RU III Plaju merupakan salah satu dari 30 lokasi yang ditentukan menerima FAME.
Dukungan Hulu Sawit
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Sumsel menilai asa Pertamina untuk menciptakan BBM 100% dari sawit bukanlah mimpi di siang bolong.
Ketua Gapki Sumsel, Harry Hartanto, mengatakan keinginan membuat BBN itu dapat terwujud karena ditopang berlimpahnya pasokan CPO dalam negeri.
“Sampai B-100 kita sanggup. Memang ada potensi kekurangan [produksi] tetapi kan sekarang pemerintah lagi gencar program replanting yang hasilnya bisa meningkatkan produktivitas kebun,” kata Harry.
Dia menjelaskan untuk mensuplai 100% CPO untuk biosolar, produksi di hulu perlu digenjot minimal capai angka 7,5 ton sampai 8 ton CPO per ha. Sementara produktivitas kebun saat ini masih di angka 4 ton – 6 ton CPO per ha.
Oleh karena itu, menurut dia, program peremajaan kebun sawit menjadi kunci utama untuk mengejar target produktivitas lahan.
Harry menghitung dengan luasan kebun sawit di Tanah Air mencapai 14 juta hektare berpotensi menghasilkan 78,75 juta ton CPO. Asumsinya berasal dari produksi tandan buah segar (TBS) sebanyak 25 ton per ha dengan rendemen 22,5%.
“Jadi sebetulnya tidak mustahil untuk B-100 hanya saja perlu komitmen kuat untuk menerapkan pertanian yang baik, mulai dari bibit yang bagus, pemeliharaan hingga pemupukan harus sesuai,” katanya.
Harry menambahkan Sumsel menjadi sumber kekuatan untuk menuju green energy, pasalnya 10% produksi sawit dan CPO Indonesia disokong Bumi Sriwijaya. Apalagi, program peremajaan kebun sawit juga dipusatkan di provinsi itu.
“Kalau produksi CPO kita sudah 8 ton per ha, saya rasa kita tidak perlu lagi energi fosil. Dengan menggunakan CPO untuk kebutuhan dalam negeri juga menunjukkan bahwa kita mandiri dalam energi,” katanya.