Bisnis.com, BATAM — Aktivitas ilegal di waduk dan area tangkapan air menjadi masalah klasik di Kota Batam yang tak kunjung tuntas dibereskan. Bukannya berkurang, aktivitas ilegal yang semakin marak justru mengancam kawasan lindung, dan tentu saja berdampak langsung terhadap kualitas dan kuantitas cadangan air baku bagi Batam yang memang bergantung pada air waduk.
Kesan pertama saat masuk ke dalam hutan lindung Duriangkang yang terletak di Kecamatan Suangai Beduk, Batam, kawasan ini lebih cocok disebut sebagai perkebunan rakyat ketimbang hutan lindung. Pepohonan tak lagi berdiri rapat menghalangi sinar matahari, lebih banyak hamparan luas berisi tanaman holtikultura.
Jamak terlihat singkong, jagung, serai, pepaya, nangka dan tanaman-tanaman sejenis. Masing-masing kebun tampaknya dirawat dengan baik, sepi ilalang di sekitar tanaman-tanaman tersebut.
Masuk lebih jauh, kita bisa menemukan barisan-barisan pohon menghitam seperti terbakar. Di bawahnya rumput-rumput pendek bernasib sama. Barisan pohon ini tampaknya sengaja dibakar untuk membuka lahan perkebunan baru.
Diseberangnya ada barisan pohon gosong yang telah ditebang. Lahan di belakangnya telah gembur dicangkul, dan dipenuhi batang-batang singkong yang distek. Beberapa telah tumbuh daun muda. Beberapa bulan kedepan sudah bisa dipanen dan dijual.
Kondisi waduk juga cukup memprihatinkan. Keramba ikan tampak berjejer rapih diselingi tanaman eceng gondok yang memenuhi hampir seluruh tepian waduk. Kerambah itu biasanya diisi ikan mujahir, ikan gabus, atau ikan air tawar lain yang bisa dijual.
Tak jauh dari barisan keramba, tampak barisan kapal-kapal kayu diparkir di pinggir waduk. Di tengah kapal berdiri tiang setinggi 2 meter, dengan jaring bulat berdiameter 2 meteran tergantung di puncaknya. Sementara di tengah danau beberapa orang tengah menggunakan kapal serupa, sembari membentangkan jaring untuk menangkap ikan.
Uniknya, tak jauh dari waduk telah ada beberapa orang bersepeda motor menunggu ikan-ikan hasil tangkapan tersebut. Di belakang masing-masing motornya ada gentong besar yang diisi air, untuk memasukan hasil tangkapan warga.
Salah seorang warga menepi sambil membawa jaring penuh ikan. Dia tampak mendekati ketiga orang tersebut. Ikan-ikan yang dijaringnya ditimbang menggunakan timbangan kecil, kemudian dia dibayar.
Meneruskan perjalanan hingga sekitar 25 meter lagi, segerombolan pria tampak memancing menggunakan pancingan sederhana dari bambu. Mereka menggunakan umpan dari lumut untuk memikat mujahir.
Sampah-sampah plastik kemasan tampak berserakan di tepian waduk hingga ke dalam waduk. Terlihat jelas sampah itu adalah bekas makanan dan minuman kemasan yang dibawa pemancing saat memancing disana. Demikian juga gerombolan pria tersebut, mereka membawa botol air mineral besar, dan meninggalkannya begitu saja setelah selesai memancing.
Perlu Diselamatkan
Kondisi waduk Duriangkang saat ini, fungsi ekologisnya tak lagi mendapat perhatian. Fungsi ekonomis, yaitu sebagai sumber mata pencaharian hidup seringkali mengalahkan fungsi hutan dalam memelihara keseimbangan ekologis –termasuk iklim global.
Padahal disadari atau tidak, pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia (eksploitasi hutan) tanpa memedulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka.
Batam pernah punya pengalaman buruk akibat lalai menanggulangi praktik perambahan dan eksploitasi hutan lindung di area tangkapan air. Waduk Baloi, yang merupakan waduk pertama di Batam terpaksa berhenti beroperasi karena dipenuhi penduduk.
Hutan lindung Baloi dirambah oleh penduduk, kemudian dijadikan pemukiman liar. Kini areal tersebut dikenal dengan nama Baloi Kolam. Berkurangnya jumlah hutan secara signifikan mengakibatkan sedimentasi waduk semakin parah.
Sementara limbah organik warga memperburuk kualitas air yang ada di waduk, hingga bakteri e-coli yang terkandung dalam air melampaui ambang batas. Akibatnya, air yang diolah tak lagi layak konsumsi. Kalaupun harus diolah, biaya yang dikeluarkan hingga air layak konsumsi akan sangat tinggi.
“Kita bisa sebut Dam Baloi saat ini telah menjadi septic tank umum hingga terpaksa ditutup. Kita harus belajar dari kejadian Dam Baloi, sehingga kejadian yang sama tidak terulang lagi di dam yang lain,” ujar Presiden Direktur Adhya Tirta Batam (ATB), Benny Andrianto dalam keterangan yang diterima, Selasa (2/7/2019).
Dam Duriangkang merupakan andalan utama suplai air bersih di Batam saat ini. Sekitar 70 persen kebutuhan air bersih ditopang oleh waduk tersebut. Karena itu, keberadaannya sangat vital bagi keandalan suplai air bersih di Batam.
Jika kondisi hutan lindung Dam Duriangkang tak segera ditanggulangi, Benny khawatir nasib Dam Baloi akan terulang kembali. Jika itu terjadi, maka kerugian ekonomi dan sosial yang terjadi akan sangat besar.
Aktivitas nelayan di tepian Danau Duriangkang.
Dalam rentang tahun 2008 hingga 2013 rata-rata curah hujan di lima waduk yang ada di Batam selalu berada di angka 2.000 mm/tahun. Curah hujan di Dam Sei Harapan misalnya, mencapai 2.500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi berada di Dam Muka Kuning, mencapai 3.000 mm/tahun.
Pada rentang tahun 2014 hingga 2017, rata-rata curah hujan di seluruh Dam di Batam berada pada angka 1.100 mm/tahun hingga 2.300 mm/tahun. Curah hujan di Dam Sei Harapan hanya 2.300 mm/tahun. Dam Sei Ladi 1.800 mm/tahun. Sementara curah hujan di Dam Muka Kuning yang sempat tinggi hanya 1.800 mm/ tahun pada rentang tersebut.
Hasil pengukuran curah hujan di tahun 2018 kembali menunjukan kecenderungan penurunan. Curah hujan di Dam Sei Ladi misalnya, turun menjadi hanya 1.600 mm/tahun. Curah hujan di Dam Duriangkang juga turun dari rata-rata 2014-2017, dari 1.900 mm/tahun menjadi 1.800 mm/tahun. Kondisi yang sama berlaku hampir di semua dam.
Di lain pihak, kebutuhan air bersih di Batam terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan industri. Dengan curah hujan yang semakin kecil, dikhawatirkan sumber air baku di Batam juga akan semakin menipis dan tak mampu mengimbangi kebutuhan air yang semakin meningkat.
Karena Batam hanya mengandalkan sumber air baku dari hujan, maka menjaga hutan harus menjadi tanggungjawab bersama. (K41)