Bisnis.com, MEDAN— Pengusaha penyedia jasa ekspedisi di Sumatra Utara mengeluhkan melonjaknya tarif kargo udara atau surat muatan udara (SMU) yang ditetapkan beberapa maskapai penerbangan.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) Sumatra Utara, Iskandar Zulkarnain mengatakan saat ini terdapat 61 pelaku usaha anggota Asperindo dengan volume pengangkutan harian sekira 30 ton paket secara umum dan 20 ton komoditas pertanian dan perikanan secara total.
Dengan kenaikan tarif kargo udara yang signifikan, dia menyebut tak sanggup lagi menanggung beban biaya dari tarif SMU. Beberapa perusahaan sudah menghentikan pengiriman yang mayoritas menuju Jakarta dan Batam.
Iskandar menuturkan pihaknya sulit untuk mempertahankan kegiatan hingga tiga bulan ke depan tanpa melakukan perampingan karyawan. Alasannya, pengguna jasa ekspedisi akan mencari penyedia jasa yang menawarkan tarif lebih murah.
Dari sisi konsumen, menurutnya, juga harus menanggung biaya yang lebih tinggi bila akhirnya penyedia jasa ekspedisi membebankan kenaikan tarif kargo udara kepada konsumen akhir.
Padahal, dalam dua tahun terakhir kegiatan ekspedisi tengah tumbuh seiring dengan naiknya minat konsumen melakukan transaksi melalui lapak digital.
"Ada beberapa rekan kami di Asperindo tidak bisa mengirim lagi," ujarnya, Jumat (18/1/2019).
Ramli Simanjuntak, Kepala KPPU Kantor Perwakilan Daerah Medan, mengatakan pihaknya perlu mendalami masalah kenaikan tarif kargo udara yang telah terjadi sejak Oktober 2018 hingga Januari 2019.
Pihaknya akan memanggil pihak maskapai penerbangan untuk mendapat keterangan mengapa tarif naik beberapa kali dalam kurun waktu singkat. Dia mencotohkan dari kenaikan harga yang pertama, yakni Rp5.000 per kg, kini tarif SMU telah menyentuh Rp18.000 per kg untuk produk pengiriman umum.
Sementara itu untuk komoditas pertanian dan kelautan yang memiliki daya tahan relatif rendah justru dikenai biaya tambahan sebesar 50%. Selain dari frekuensi kenaikan tarifnya, pihaknya pun perlu mendapatkan penjelasan mengapa tarif naik di waktu yang hampir bersamaan.
Sebagai contoh, dia menjelaskan tarif kargo udara di maskapai penerbangan Garuda Indonesia naik pada 1 Oktober 2018 yang bersamaan dengan Lion Air. Kenaikan tarif berikutnya terjadi pada 9 Oktober oleh Garuda Indonesia dan Lion Air pada 16 Oktober.
Lalu, pada bulan ini, telah terjadi dua kali kenaikan tarif yakni Garuda Indonesia menerapkan tarif baru pada 1 Januari dan 14 Januari 2019, sedangkan Lion Air pada 3 Januari dan 7 Januari 2019.
Jangka waktu penaikan tarif kargo udara itu, katanya, bisa menjadi indikasi awal terjadinya kartel karena pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pesaing untuk memengaruhi harga barang/jasa. Terkait kartel, diatur dalam pasal 11 dalam Undang Undang No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
"Apa penyebab kenaikan itu? Logis atau tidak alasannya? Apa lagi dari Rp5.000 [per kg] ke Rp18.000 [per kg] dalam tempo yang sesingkat ini," katanya.