Bisnis.com, PADANG—Otoritas Jasa Keuangan menyatakan kinerja bank perkreditan rakyat Sumatra Barat masih meyakinkan, meski sejumlah BPR di daerah itu kesulitan dari segi permodalan.
Kepala OJK Perwakilan Sumbar Darwisman menyebutkan rerata kinerja BPR sepanjang kuartal pertama tahun ini masih tumbuh di kisaran 9%, dan berpotensi membaik seiring pemulihan harga komoditas.
“Sejauh ini masih meyakinkan, kami optimistis bisa tumbuh di kisaran 12% di pengujung tahun,” katanya, Jumat (25/5/2018).
Dia mengungkapkan hingga Maret 2018, total penyaluran kredit BPR daerah itu sudah mencapai Rp1,17 triliun dengan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp1,35 triliun.
Pencapaian kinerja BPR juga didorong membaiknya rasio kredit bermasalah atau non performing loan/NPL yang sudah di bawah dua digit, atau hanya 9,2%.
Menurutnya, penurunan NPL memang tidak bisa langsung seketika, karena mayoritas nasabah BPR adalah di sektor pertanian dan perdagangan yang rentan gelojak harga komoditas pertanian, seperti sawit dan karet.
Adapun, untuk meningkatkan kinerja BPR daerah itu, OJK mendorong bank wong cilik itu melakukan merger atau penggabungan, mengingat sebagian BPR di daerah itu memiliki modal inti di bawah Rp3 miliar.
Darwisman menyebutkan beberapa BPR sudah mulai melakukan upaya merger agar tetap bertahan dan bersaing di industri perbankan.
“BPR di Sumbar ini paling banyak di Sumatra, tetapi sebagian besar modalnya kecil, karena sejarahnya juga banyak BPR terbentuk asalnya dari LPN [lumbung piti nagari/lembaga keuangan desa],” katanya.
Umumnya BPR yang berasal dari LPN sulit melakukan penambahan modal, karena sebagian besar pemegang sahamnya adalah kelompok masyarakat, dan juga memiliki keterbatasan untuk menyuntikkan modal.
Belum lagi, keterbatasan kemampuan manajemen pengelolanya, sehingga BPR demikian sulit bersaing dengan bank–bank lainnya.
“Jadinya hidup susah mati tidak mau. Kalau terus dibiarkan ujungnya tutup. Makanya, kami dorong BPR ini untuk merger, karena juga sudah ada ketentuan modal minimum BPR,” katanya.
Dia menuturkan sesuai aturan OJK, pada akhir 2019 seluruh BPR diwajibkan memiliki modal inti minimum Rp3 miliar dan modal inti minimum Rp6 miliar pada 2024.
“Karena masih banyak BPR yang modal intinya di bawah Rp3 miliar, kami dorong upaya–upaya itu. Merger, termasuk kemungkinan investasi pemda,” katanya.
Dia mencontohkan di Kabupaten Sijunjung sebanyak 6 BPR sudah berencana melakukan merger guna penguatan modal. Bahkan, pemda setempat berencana menjadikan BUMD dengan menginvestasikan kepemilikan modal pemda sebesar 51%.