Bisnis.com, BATAM – Dunia usaha di Batam menilai KEK bukan jalan keluar untuk meningkatkan daya saing Batam.
KEK tak menyelesaikan masalah substansial di Batam, justru menimbulkan sejumlah dampak negatif terutama pada pelaku UKM dan masyarakat. Yang harus dilakukan adalah memperkuat FTZ Batam.
Ketua DPD REI Khusus Batam Achyar Arfan menyoroti keterbukaan pemerintah terkait rencana perubahan Batam menjadi KEK. Hingga hari ini pengambil kebijakan belum pernah melakukan sosialiasasi yang memaparkan bentuk KEK yang akan diterapkan di Batam.
Kondisi ini menciptakan kegamangan, karena dunia usaha sama sekali tak mendapat gambaran yang jelas mengenai arah pengembangan Batam kedepan. Idealnya, pemerintah harus menjelaskan arah-arah perubahan yang akan diterapkan di Batam.
“Kita ada dalam satu kapal. Harusnya kita semua tahu kondisinya,” ujar Achyar.
Dia percaya apa yang dilakukan pemerintah adalah untuk kemajuan Batam. Dengan pemaparan yang komprehensif dari pemerintah, stakeholder di Batam punya gambaran yang jelas mengenai arah pengembangan Batam ke depan.
Baca Juga
Dengan gambaran yang jelas, dunia usaha bisa menimbang-nimbang untung ruginya KEK dengan tolak ukur yang jelas. Pasalnya, tanpa penjelasan yang tegas saat ini, banyak spekulasi-spekulasi yang muncul di tengah stakeholder. Kondisi ini malah menciptakan ketidak pastian.
“Sekarang kan semua tanda tanya. Ada yang bilang KEK itu bagus, ada yang bilang tidak. Ada yang bilang UWT pemukiman bisa dihilangkan, ada yang bilang lain lagi. Tidak jelas arahnya kemana,” jelasnya.
Jika pemerintah menjelaskan secara gamblang mengenai rencana pengembangan Batam, stakeholder di Batam bisa ikut memberikan pandangan melalui kajian yang memadai. Dia percaya, pandangan dari stakeholder di Batam akan memperkaya format pengembangan Batam kedepan, sehingga lebih sempurna dan menarik bagi investasi.
“Pak Darmin harusnya kirim tim yang bisa berdialog di Batam. Tak hanya dunia usaha, juga termasuk masyarakat. Sehingga aspek sosiologisnya juga terpenuhi,” ujarnya.
Dia mengakui, Batam butuh fitur-fitu baru untuk menjadi kawasan yang menarik untuk investasi. FTZ Batam harus dimodifikasi dan direstorasi agar Batam menjadi lebih menarik. Namun bukan berarti FTZ Batam serta merta dirubah sama sekali.
Apalagi menurut pengalaman, belum satupun KEK di Indonesia yang menunjukan kisah sukses. Semuanya masih dalam tahap pengembangan. Berbeda dengan FTZ yang sudah terbukti pernah menjadi pemikat utama ekonomi.
Menurutnya, pilihan terbaik adalah meningkatkan kapasitas fasilitas yang sudah terbukti bisa memikat investor, ketimbang memasukan konsep yang belum terbukti keandalannya. “Ada belasan KEK yang dibuat pemerintah. Tapi belum ada yang menunjukan Succes Story,” jelasnya.
Tentu saja fasilitas di KEK lebih menarik dari FTZ. Namun belum tentu KEK lebih menarik dibanding FTZ. Pasalnya, fasilitas di KEK tak otomatis bisa dinikmati sepenuhnya oleh industri di dalam KEK.
Menurut Achyar, industri yang ada di dalam KEK harus lebih dulu mengajukan permohonan untuk mendapat fasilitas di KEK. Permohonan itu kemudian akan ditelaah, sebelum industri tersebut mendapat fasilitas yang dimohonkan.
Yang menjadi catatan, belum tentu semua fasilitas KEK bisa dinikmati industri yang dimaksud. Berbeda dengan KEK, Fasilitas FTZ sudah bisa langsung dinikmati oleh pelaku usaha yang mendirikan perusahaannya di Batam.
“Setelah dapat, akan ada raport. Kalau hari ini bisa dapat 9 fasilias, bisa jadi setelah dievaluasi beberapa tahun kemudian bisa turun menjadi hanya 7. Atau bisa naik menjadi 12. Jadi tidak pasti untuk selamanya bisa dinikmati,” paparnya.
Sektor properti pasti akan kena imbas bila pemerintah salah menerapkan pola pengelolaan Batam. Industri dan investasi masih merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Batam. Jika sektor ini melemah akibat salah pengelolaan, maka dipastikan akan berimbas langsung kepada daya beli masyarakat.
Selain itu pengenaan PPN kepada barang dan jasa di sektor konsumsi sebagai dampak hilangnya fasiltias FTZ akan membuat harga kebutuhan masyarakat naik. Ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap properti.
Menurut data yang dipaparkannya, sekitar 70 persen pekerja di Batam medapatkan gaji di bawah Rp 4 juta setiap bulannya. Jiika tidak disediakan rumah murah, pekerja-pekerja ini tidak akan mampu memiliki hunian yang terjangkau.
“Rumah murah untuk pekerja harus tetap disediakan. Tadi jika harga konsumsi naik dan menekan daya beli masyarakat, kemampuan untuk mendapatkan rumah murah juga akan semakin turun,” paparnya.
Wakil Ketua Kadin Kepri Osman Hasyim mengatakan, penerapan KEK di Batam dipastikan akan menghilangkan fasilitas FTZ di luar wilayah KEK. Kondisi ini akan memicu terjadinya inflasi. Pasalnya barang dan jasa di luar KEK akan dikenakan bea masuk, PPN dan PPNBm.
“Harga barang akan semakin tinggi. Kondisi akan diperparah karena nilai Rupiah kita semakin melemah,” ujarnya.
Kenaikan harga barang-barang konsumsi akan berdampak langsung kepada upah buruh. Karena komponen penyusun hidup layak turut berubah. Tentu saja kondisi ini akan berdampak kepada industri yang sensitif terhadap upah buruh dan memicu eksodus.
“Dua tahun terakhir Batam berada di titik terendah pertumbuhan ekonomi. Sekarang mulai merangkak naik. Harusnya ini momentum yang harus dijaga,” jelasnya.
Menurut pengusaha meningkatkan daya saing Batam tak perlu dengan konsep KEK Enclave. Konsep Enclave pernah diterapka di batam pada 2003 silam dan terbukti gagal. Pemerintah akhirnya kembali menerapkan konsep FTZ secara menyeluruh di Batam.
Jika Batam dirubah menjadi KEK dengan konsep Enclave, maka dikhawatirkan pengalaman kegagalan yang telah dirasakan akan kembali terjadi. Pengusaha sudah punya hitung-hitungan bila konsep KEK Enclave diberlakukan. Bisa dipastikan akan terjadi gejolak ekonomi dan hilangnya kepercayaan investor.
Kontrol terhadap Lalu lintas barang juga akan semakin merepotkan. Beberapa produk di Batam dikerjakan di beberapa industri yang berbeda. Mulai dari bahan baku, barang setengah jadi, barang jadi hingga pengepakan.
Pengiriman produk antar industri ini akan sangat merepotkan bila Batam menjadi KEK Enclave. Karena harus melewati wilayah pemukiman penduduk yang bukan KEK. Jika pemerintah tak mampu menerapkan sistem yang mudah, maka lalu lintas barang antar KEK nantinya akan mnimbulkan kerumitan tersendiri.
“Pasti akan ada pemeriksaan barang di setiap pintu masuk KEK. Ada berapa banyak petugas yang harus diterjunkan untuk mengawasi 24 jam. Ini akan sangat merepotkan. Sekarang saja dalam sehari ada 11 ribu barang di pelabuhan yang harus dikontrol,” jelasnya.
Dewan Kehormatan Apindo Kepri Abidin Hasibuan juga berpendapat sama. Penyebab utama turunnya investasi di Batam bukan karena fasilitas FTZ yang kurang menarik. Menurutnya masalah perburuhan, upah dan fasilitas infrastruktur yang jadi penyebab utama.
“Jadi KEK tak akan menyelesaikan masalah sesungguhnya,” jelasnya.
Demo buruh setiap tahun menjadi salah satu perhatian utama investor. Kondisi sempat memburuk sejak tahun 2010 hingga 2014. Saat itu demo buruh sampai melakukan sweeping ke sejumlah perusahaan asing di kawasan industri.
Kondisi ini membuat investasi asing tak nyaman beraktifitas di Batam. Namun kondisi semakin membaik beberapa tahun belakangan. Namun efek sweeping yang pernah dilakukan masih cukup meninggalkan citra buruk.
Masalah berikutnya adalah mengenai upah buruh yang cukup tinggi. Selama periode 2010 hingga 2014, upah buruh naik hingga di atas 100 persen. Kondisi ini membebani keuangan investor dan menimbulkan ketidak pastian dalam perhitungan cost berusaha.
Kondisi diperparah dengan tingginya biaya logistik pelabuhan di Batam. Biaya logistik dari Batam menuju Singapura diperkirakan lebih mahal ketimbang biaya logistik dari Tanjung Priok ke Amsterdam.
“Masalah-masalah itu yang harus diselesaikan. Pasti investasi akan membaik,” jelasnya.
Jika KEK diimplementasikan di Batam, yang kena dampak adalah UKM yang selama ini menjadi Sub kontraktor sejumlah perusahaan dalam kawasan industri. Barang dan jasa yang dibeli dari luar KEK tidak akan mendapat fasilitas KEK. Kondisi ini akan membuat UKM yang selama ini menjadi rekanan akan mati suri.
“Siapa sub contraktor yang sanggup menyewa di dalam kawasan KEK nanti? Listrik, air dan teleponnya mahal. Kita ahrus hati-hati,” jelasnya.
Jika pemerintah ingin merumuskan formula terbaik untuk mengelola Batam, alangkah baiknya bila berdiskusi dengan pelaku usaha di Batam. Dengan demikian, formula yang dihasilkan benar-benar bisa diimplementasikan dan tepat sasaran.
Ketua Asosiasi Forwarder dan Logistik Indonesia (AFLI) Kepri Daniel Burhanuddin menekankan pentinya pemerintah menyerap aspirasi langsung dari Batam. Selama 71 tahun berusaha di Batam, tampaknya pemerintah lalai menyerap suara dari pelaku usaha.
“Harusnya selera investor yang harus dipenuhi. Tapi pemerintah tak melakukan hal ini,” jelasnya.