Bisnis.com, PALEMBANG -- Sumatra Selatan dinilai bisa menjadi tumpuan untuk menjaga produksi karet nasional di tengah tren peralihan minat petani untuk menanam komoditas perkebunan lainnya, terutama kelapa sawit.
Peneliti dari Pusat Penelitian Karet Lina Fatayati Syarifa mengatakan petani karet di sejumlah provinsi penghasil karet telah banyak yang melakukan konversi tanaman ke sawit.
"Fenomena ini terjadi di Sumatra Utara, Riau dan Jambi. Sementara Sumsel cenderung lebih [produktif]," katanya di sela Konferensi Nasional Karet 2022 di Palembang, Rabu (12/10/2022).
Lina melanjutkan tingginya konversi karet ke sawit itu tak lain lantaran faktor harga. Harga sawit dinilai lebih tinggi dan menguntungkan untuk petani dibandingkan karet.
Menurut dia, terdapat pula petani karet yang ikut menanam sawit di Sumsel. Namun sifatnya bukan menggantikan, melainkan pemanfaatan lahan yang tidak terpakai di sekitar kebun karet.
"Sawit itu jadi tanaman rendahan, artinya ada lahan rendahan di sekitar kebun karet itulah yang ditanami sawit," kata dia.
Namun demikian, kata Lina, petani karet di Sumsel bisa tetap bertahan untuk menyadap karena rantai pasok di provinsi itu sudah terbentuk. Terpenting, posisi tawar petani di Sumsel lebih kuat karena membentuk kelembagaan, yakni unit usaha pengolahan dan pemasaran bahan olah karet atau bokar (UPPB).
"Rantai pasok di Sumsel ini lebih bagus, petani yang bergabung di UPPB biasanya mendapatkan harga yang lebih tinggi ketimbang petani yang tidak berkelompok, dan jual di tengkulak. Di Sumut, misalnya UPPB itu tidak berkembang," kata dia.
Oleh karena itu, dia menilai, bahwa semangat petani untuk menanam karet perlu dijaga di tengah ketidakpastian dan rendahnya harga.
"Kita tidak boleh apatis dengan karet ini. Kita tahu bahwa Vietnam lagi giat-giatnya menanam karet, jangan sampai Indonesia sebagai produsen karet nomor 2 di dunia hanya menjadi sejarah," katanya.
Berdasarkan data Direktorat Perkebunan Kementerian Pertanian, pada tahun 2017 produksi karet Sumsel mencapai 1,03 juta ton, tahun 2018 sebanyak 1,04 juta ton. Produksi kemudian terus menurun di mana pada 2019 mencapai 944.100 ton, 2020 sebanyak 804.700 ton dan pada tahun lalu bertengger di 870.000 ton.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel, Alex K. Eddy, mengatakan harga karet yang terus anjlok membuat petani tidak lagi menanam karet dan menggantinya dengan komoditas perkebunan lain.
"Belum lagi beragam penyakit seperti gugur daun (corynespora cassiicola) dan jamur akar putih (rigidoporus lignosus), yang membuat produktivitas tanaman menurun," katanya.
Imbas dari permasalahan di hulu itu, kata dia, turut dirasakan pabrikan di mana pengusaha sulit memeroleh bahan baku.
Gapkindo mencatat, setidaknya ada 28 pabrik karet di Indonesia berhenti beroperasi. Dari jumlah itu, terdapat empat pabrik yang berada di Sumsel tak lagi beroperasi.
Kondisi diperparah dengan pasar global yang tengah lesu dampak risiko resesi di sebagian besar negara pasar dan juga inflasi yang membuat daya beli menurun.
Selain itu, adanya kebijakan Cina tentang Zero Covid-19 dan embargo gas Rusia ke Eropa membuat pemesanan karet alam juga menurun cukup signifikan.
Di sisi lain, muncul produsen karet baru seperti Vietnam dan sejumlah negara di Afrika yang membuat persaingan kian ketat. Akumulasi dari permasalahan ini, ucap Alex membuat harga karet alam terus turun. Sempat mencapai 3 dolar AS per kilogram (kg) pada 2017 lalu sekarang hanya sekitar 1,3 dolar AS per kg.
Ketua UPPB Sumsel, Jumirin, mengatakan harga karet terus turun dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, di tingkat petani, harga karet mencapai Rp5.000 per kg untuk mereka yang menjual kepada tengkulak.
Harga yang lebih baik, kata dia, bisa diterima petani yang menjual getah ke UPPB dengan sistem lelang, di mana petani bsia mendapatkan harga Rp9.400 per kg.
"Namun demikian, harga tersebut masih jauh dari ideal karena harga karet seharusnya Rp 10.000 per kg," kata dia.
Dengan beragam permasalahan seperti ini, tidak heran beberapa petani memutuskan untuk beralih dari tanaman karet ke tanaman perkebunan yang lebih menguntungkan contohnya kelapa sawit yang dalam beberapa waktu terakhir harganya jauh lebih baik daripada karet.
Jumirin berharap agar pemerintah memberikan subsidi agar petani bersemangat kembali menanam karet. Misalnya subsidi pupuk atau adanya perbaikan harga.
"Jika tidak ada intervensi dari pemerintah, bukan tidak mungkin produktivitas karet di Sumsel akan menurun seiring dengan beralihnya petani karet ke tanaman lain," katanya.