Bisnis.com, PADANG - Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumatra Barat menyampaikan realisasi belanja APBD sektor pertanian dan perkebunan hingga Agustus 2022 masih 33 persen dari Rp211 miliar untuk alokasi tahun ini.
Sekretaris Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar Ferdinal Asmin mengatakan mengatakan secara jumlah, alokasi anggaran untuk dinasnya pada tahun 2022 ini memang terbilang naik bila dibandingkan tahun 2021.
"Tahun ini anggaran untuk dinas pertanian provinsi Rp211 miliar, kalau di tahun 2021 kalau tidak salah saya di bawah Rp200 miliar. Namun untuk realisasi tahun 2022 ini memang masih sedikit yakni 33 persen untuk keuangan dan 47 persen untuk fisik," katanya ketika dihubungi Bisnis di Padang, Kamis (8/9/2022).
Dia menyebutkan penyebab masih sedikitnya realisasi anggaran itu, karena terkendala administrasi. Untuk menyalurkan segala bentuk bantuan ke petani itu, harus lengkap by name by address nya.
Menurutnya dari anggaran Rp211 miliar itu, Rp55 miliar diperuntukan untuk pembayaran gaji pegawai dan operasional lainnya. Sedangkan sisanya Rp156 miliar untuk kegiatan seperti halnya pengadaan bantuan untuk pertanian dan perkebunan.
"Biasanya realisasi anggaran ini akan berjalan lebih cepat terhitung September dan hingga akhir tahun. Jadi semoga mulai bulan ini realisasi anggaran lebih cepat," ujarnya.
Dengan demikian, Ferdinal Asmin menyatakan, tidak bisa asal-asalan dalam penyaluran bantuan ke petani itu. Intinya bila segala persyaratan lengkap, seperti penerima bantuan atau petani itu merupakan kelompok tani, dan bukan secara pribadi, serta menyalurkan sesuai kuota yang diajukan.
"Makanya kita butuh waktu dan proses yang cukup lama, karena perlu verifikasi dan lainnya juga. Tapi ini bukan bermaksud mempersulit. Untuk apa kita persulit, harapan kita produksi pertanian ini naik," ujarnya.
Menurutnya bila produksi pertanian dan perkebunan di Sumbar ini meningkat, maka dampaknya akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Sumbar. Serta memiliki peran dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam daerah.
Ferdinal Asmin menjelaskan di Sumbar ini kalau bicara hasil pertanian tidak diragukan lagi. Seperti bawang merah, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, merupakan Sentra Bawang Merah. Begitupun soal beras, Sumbar pun beras premium.
Lalu sayur-sayuran, Sumbar juga memiliki lahan yang luas yang terbesar di sejumlah daerah, termasuk di Solok, Padang Panjang, Agam, dan Tanah Datar, serta daerah lainnya.
"Jadi yang kita salurkan itu berupa bibit, mulai dari bibit bawang, padi, dan hingga bibit untuk perkebunan yakni sawit, karet, gambir, dan tanaman tua lainnya," tegas dia.
Selain ada bantuan bibit, juga ada bantuan alat yang dapat digunakan oleh petani untuk mengolah lahan. Sehingga, dari segi dukungan dari Pemprov Sudah bagus, tapi untuk menyalurkan dukungan yang berupa bantuan itu harus memiliki berkas secara hukum yang sah.
"Makanya penerima bantuan itu kelompok tani, bukan perorangan dari petaninya," sebut dia.
Ferdinal Asmin juga menepis anggapan bahwa dengan sedikitnya realisasi APBD di sektor pertanian dan perkebunan ini seakan terlihat Sumbar tidak mampu menggenjot produktifitas pertanian, sehingga tidak mampu membendung tingginya inflasi di Sumbar.
"Inflasi tidak sederhana itu. Tapi kalau disebut produktivitas pertanian ini berperan dalam pertumbuhan ekonomi, ya betul itu," ungkapnya, ketika ditanya persoalan tingginya inflasi di Sumbar yang disebabkan tingginya harga bahan pokok.
Dia mengaku khawatir melihat situasi harga BBM bersubsidi yang kini melonjak naik. Karena hal itu jelas akan mempengaruhi produktivitas pertanian dan perkebunan.
"Di Sumbar ini pernah inflasinya tertinggi kedua di Sumatra yaitu 8,01 persen pada Juli 2022. Makanya menyikapi situasi kini, perlu hati-hati. Saya berharap sektor pertanian dan perkebunan kita mampu bertahan," harapnya.
Dari data BPS menjelaskan, sektor yang dominan sebagai penyumbang inflasi itu adalah bahan pokok yakni harga cabai merah, bawang merah, dan komoditi lainnya.
Cabai merah yang dijual di Sumbar kebanyakan dari luar daerah, seperti Medan, Kerinci, dan Jawa. Begitu pun bawang merah juga banyak dari bawang luar daerah.
Kepala Bidang Perdagangan Disperindag Sumbar Ridonal menyebutkan komoditas cabai merah yang banyak diperjualbelikan di sejumlah pasar di Sumbar sebagian kecilnya dari dalam daerah.
"Masyarakat Sumbar ini seleranya cocok dengan cabai merah dari Jawa. Kalau cabai merah lokal di Sumbar terkenal pedasnya. Sehingga untuk masakan orang Sumbar itu, kurang pas jika terlalu pedas," katanya.
Sementara terkait bawang merah, Kepala Bidang Distribusi dan Cadangan Pangan Dinas Pangan Sumbar, Donna Gracia Jorie, menjelaskan, Sumbar merupakan salah satu dari sentra bawang merah terbesar di Indonesia, setelah Brebes.
"Produksi bawang merah di Sumbar ini 90 persen di jual ke luar daerah, seperti beberapa daerah di Sumatra dan Jawa. Sekitar 10 persennya untuk memenuhi kebutuhan dalam daerah," jelasnya.
Jadi untuk menghitung standar harga bawang merah di tingkat petani itu, bila minimal harus Rp20.000 per kilogram. Kalau di bawah Rp20.000 per kilogram, maka petani merugi.
"Sehingga bila ada harga bawang merah di tingkat pasar Rp25.000 per kilogram, merupakan harga standar. Kalau di bawah harga tersebut, masuk kategori harga anjlok, dan artinya petani merugi," ujarnya.
Terkait produktivitas bawang merah ini, Donna Gracia Jorie, telah ada arahan dari pemerintah pusat ke daerah untuk mendukung produktivitas, dengan cara membantu sejumlah bibit. Di Sumbar hal ini tengah disiapkan.
"Sola perkebunan bawang merah, sentar memang di Alahan Panjang Solok, tapi di daerah lainnya juga ada perkebunan bawang merah yakni di Kabupaten Agam dan Tanah Datar. Intinya daerah dataran tinggi cocok untuk menanam bawang," tutupnya.