Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPK Endus Aroma Korupsi Dana Penanganan Covid-19 di Sumut, Nilainya Capai Rp1 Miliar

Sebanyak Rp70 miliar dari anggaran tersebut dipakai untuk delapan kegiatan yang belakangan jadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumatra Utara.
Ilustrasi/Bisnis
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, MEDAN - Pada tahun 2020 lalu, Pemprov Sumatra Utara mengalokasikan anggaran belanja tidak terduga untuk penanganan pandemi Covid-19 senilai Rp1,2 triliun. Hingga tutup tahun, anggaran yang terealisasi hanya 92,73 persen atau Rp1,1 triliun.

Sebanyak Rp70 miliar dari anggaran tersebut dipakai untuk delapan kegiatan yang belakangan jadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumatra Utara.

Satu di antara delapan kegiatan yang disorot adalah pengadaan makanan, minuman, snack atau makanan ringan dan pengadaan peralatan isolasi atau karantina terpusat serta posko penanganan Covid-19 di Kepulauan Nias, Sumatra Utara.

Anggaran yang direalisasikan untuk pengadaan-pengadaan di atas mencapai Rp1,6 miliar. Akan tetapi, terdapat Rp1 miliar dari anggaran tersebut diduga telah dikorupsi. Pengelola kegiatan ini sendiri tak lain adalah Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Sumatra Utara.

Indikasi praktik kotor mencuat dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Sumatra Utara terhadap Laporan Keuangan Pemprov Sumatra Utara Tahun Anggaran 2020.

Dari realisasi anggaran senilai Rp1,6 miliar, sebanyak Rp1,1 miliar di antaranya dipakai untuk pengadaan makanan, minuman, snack.

Kemudian sisanya, yakni Rp521 juta lagi, dipakai untuk pengadaan kebutuhan peralatan isolasi atau karantina terpusat serta posko penanganan Covid-19.

Saat itu, terdapat dua daerah isolasi atau karantina terpusat di Kepulauan Nias. Yaitu di Kabupaten Nias Selatan dan Kota Gunung Sitoli.

Berdasar hasil pemeriksaan uji petik atas dokumen pertanggungjawaban, fisik serta konfirmasi terhadap pelaksana kegiatan, BPK menemukan lebih dari Rp1 miliar, atau tepatnya Rp1.033.207.900, dari dana yang dipakai tidak sesuai kondisi sebenarnya.

Seperti diketahui, Pemprov Sumatra Utara punya waktu 60 hari untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK sejak LHP diserahkan pada Kamis (27/5/2021) lalu. Selepas itu, aparat penegak hukum bisa menjadikannya sebagai bahan penyidikan.

Bahkan sesuai Pasal 26 Ayat 2 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004, pihak yang sama sekali tidak menindaklanjuti rekomendasi juga bisa terancam pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan dan denda Rp500 juta.

Inspektur Pemprov Sumatra Utara Lasro Marbun meminta waktu untuk memastikan sampai mana progres tindak lanjut pihaknya. Namun hingga berita ini diturunkan pada Jumat (1/4/2022), Lasro belum memberi jawaban.

"Saya akan minta data dulu ya, biar tidak salah," ujar Lasro kepada Bisnis.

Pada 2020 lalu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatra Utara masih dijabat oleh Riadil Akhir Lubis.

Yang bersangkutan kemudian pindah tugas dan menjabat Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemprov Sumatra Utara. Namun Riadil meninggal dunia pada 2021.

Sekarang, Kepala BPBD Sumatra Utara dijabat oleh Abdul Haris Lubis. Hingga berita ini diturunkan, Haris belum menjawab pertanyaan mengenai tindak lanjut temuan BPK.

Temuan dana mencurigakan senilai Rp1 miliar awalnya muncul dari tiga kejanggalan pada pelaksanaan kegiatan.

Pertama, BPK menyoroti biaya Rp468 juta pada pengadaan makan dan minum untuk kebutuhan isolasi terpusat di Kabupaten Nias Selatan. Di daerah ini, pelaksanaan isolasi berada di Hotel Yo dan Rumah Susun Sederhana Sewa Pangkalan TNI AL.

Sesuai Surat Perintah Komando Satgas Penanganan Covid-19 Sumatra Utara, terdapat 388 petugas ditempatkan di lokasi. Menurut data Dinas Kesehatan Pemkab Nias Selatan, jumlah pasien isolasi per hari kurun 29 September-11 November 2020 adalah 1 hingga 52 orang.

Dari dokumen pertanggungjawaban, diketahui bahwa penyedia pengadaan makan dan minum untuk kebutuhan isolasi dipercayakan ke suatu buffet berinisial JG.

Berdasar surat pemesanan dari BPBD Sumatra Utara, buffet JG diminta menyediakan paket sarapan, makan siang dan makan malam ditambah masing-masing air mineral kemasan selama 44 hari.

Harga satu paket dipatok senilai Rp42.500. Dengan total permintaan mencapai 30.573 paket, biaya yang dibutuhkan nyaris Rp1,3 miliar. Tepatnya mencapai Rp1.299.352.500.

Akan tetapi, kejanggalan mulai terkuak setelah petugas BPK RI Perwakilan Sumatra Utara melakukan konfirmasi kepada pemilik buffet JG, yakni lelaki DCK.

Kepada petugas, DCK mengaku menerima pesanan paket tersebut dari seseorang berinisial He, pihak yang ditugaskan oleh Satgas Penanganan Covid-19 Sumatra Utara untuk mencari penyedia paket-paket yang dibutuhkan.

DCK juga mengungkapkan bahwa buffet JG miliknya ternyata hanya berperan menyediakan paket sarapan seharga Rp15.000 per porsi ditambah minuman mineral kemasan seharga Rp5.000 per botol.

Sedangkan untuk makan siang dan makan malam, DCK membelinya dari suatu rumah makan berinisial NK. Masing-masing seharga Rp35.000 per porsi. Walaupun penyedia makan siang dan makan malam dialihkan ke NK, namun khusus untuk penyediaan minumnya tetap digarap oleh buffet JG milik DCK. Harganya juga dipatok Rp5.000 per botol.

Beranjak dari pengakuan DCK, petugas BPK lanjut melalukan konfirmasi ke seseorang berinisial R. Wanita ini merupakan pemilik rumah makan NK. R kemudian membenarkan bahwa DCK memesan paket makan malam dan makan siang seharga Rp35.000 per porsi. Pembayaran pesanan dilakukan oleh DCK kepada R secara tunai.

Berdasar data pemesanan dari DCK, diketahui bahwa total pengadaan sarapan, makan siang dan makan malam berjumlah 18.942 paket dengan biaya senilai Rp631 juta.

BPK kemudian memeriksa dokumen pembayaran oleh BPBD Sumatra Utara ke nomor rekening bank atas nama DCK. Diketahui bahwa BPBD melakukan transfer sebanyak lima kali senilai total Rp1.100.148.900 setelah dipotong pajak.

Uang itu kemudian ditarik oleh DCK dari bank. Sebanyak Rp631 juta masuk ke kas buffet JG serta rumah makan NK selaku pihak penyedia kebutuhan makan dan minum. Sedangkan selebihnya, yakni Rp468 juta, diserahkan kembali oleh DCK ke He, lelaki yang sebelumnya ditugaskan BPBD Sumatra Utara untuk mencari pihak penyedia.

Petugas BPK pun lanjut melakukan konfirmasi ke He. Dia membenarkan telah memilih buffet JG sebagai penyedia makan dan minum untuk kebutuhan isolasi di Kabupaten Nias Selatan. Akan tetapi, untuk harga per porsi sesuai yang tersaji pada surat pertanggungjawaban (SPJ) ditetapkan langsung oleh BPBD Sumatra Utara.

Dugaan korupsi kian mencuat lantaran He juga mengaku tidak mengetahui soal sisa dana senilai Rp468 juta tersebut. Padahal, pemilik buffet JG mengaku menyerahkan sisa dana itu kepadanya.

"Atas sisa dana sebesar Rp468.748.900 tersebut, saudara He tidak dapat memberikan penjelasan," petikan isi LHP BPK RI Perwakilan Sumatra Utara.

Selain aliran sisa dana yang tidak jelas, petugas BPK juga menemukan adanya perbedaan jumlah paket makanan antara SPJ dengan pihak penyedia.

Menurut perhitungan BPK terhadap seluruh data yang dirangkum, jumlah paket makanan untuk kebutuhan isolasi di lokasi itu mestinya sebanyak 16.788 paket. Jumlahnya terdiri atas paket makanan untuk pasien sebanyak 2.601 paket dan untuk petugas sebanyak 14.187 paket.

Namun, total paket yang dipesan sesuai SPJ berjumlah 30.573 paket. Sedangkan berdasar data pihak penyedia, mereka hanya memeroleh pesanan sebanyak 18.942 paket makanan. Sehingga terdapat selisih 11.631 paket.

Dari hasil pemeriksaan, juga diketahui bahwa bukti pertanggungjawaban pemesan paket disediakan sendiri oleh He. Sedangkan DCK, selaku pemilik buffet JG, hanya menandatanganinya.

"Hal ini menunjukkan bahwa jumlah yang disajikan dalam SPJ tidak sesuai kondisi senyatanya di lapangan," isi LHP tersebut.

Kejanggalan kedua terdapat pada pengadaan snack atau makanan ringan untuk kebutuhan isolasi di Kabupaten Nias Selatan. Sama seperti pengadaan paket makanan, orang yang ditugaskan oleh BPBD Sumatra Utara untuk mencari pihak penyedia adalah He.

Kali ini, He memilih toko berinisial RRH untuk menyediakan snack tiap pagi dan sore selama 38 hari. Sesuai kontrak, biaya pengadaan tersebut tercatat Rp563 juta.

Petugas BPK RI Perwakilan Sumatra Utara kemudian melakukan konfirmasi kepada lelaki berinisial FS selaku pemilik RRH. Saat itu, FS mengaku menyiapkan pesanan sebanyak 280 kotak snack per hari selama 38 hari. Harga snack per kotak dipatok FS seharga Rp25.000, sehingga totalnya Rp266 juta.

Walau begitu, pembayaran yang ditransfer oleh BPBD Sumatra Utara ke rekening bank atas nama FS tercatat mencapai Rp551 juta setelah dipotong pajak. Dengan kata lain, terdapat selisih pembayaran mencapai Rp285 juta.

Kepada petugas, FS mengaku sudah mengembalikan selisih dana tersebut kepada He. Namun lagi-lagi, He tidak dapat memberi penjelasan saat dimintai keterangan oleh petugas BPK.

Kejanggalan ketiga adalah pengadaan peralatan kebutuhan isolasi mandiri dan posko Satgas Penanganan Covid-19. BPBD Sumatra Utara meminta CV Nur untuk menyediakan pelataran mandi, peralatan kebersihan ruangan, peralatan makan dan hotel. Dana yang disediakan mencapai Rp521 juta. Sedangkan waktu pelaksanaannya 1-30 Oktober 2020.

BPBD juga sudah membayar lunas biaya pemesanan senilai Rp521 juta tersebut dan mentransfernya ke rekening bank atas nama CV Nur.

Namun berdasar pemeriksaan dokumen dan fisik yang dilakukan petugas BPK pada April 2021, terdapat berbagai barang pesanan yang belum dipenuhi oleh CV Nur dengan nilai yang mencapai Rp264 juta. Pesanan yang belum dipenuhi itu antara lain handuk, seprai, bantal sekaligus sarungnya hingga selimut.

Kepada petugas BPK, pihak CV Nur selaku penyedia mengaku sebenarnya sudah memesan barang-barang itu. Namun karena alasan pandemi Covid-19, pesanan belum diterima CV Nur.

Setelah pemeriksaan lapangan tuntas dilakukan, petugas BPK memeroleh kuitansi pembayaran senilai Rp264 juta serta dokumentasi hasil pengadaan barang dari pihak penyedia.

"Namun tim tidak dapat melakukan pengujian atas kebenaran bukti pertanggungjawaban dan hasil pengadaan tersebut," petikan isi LHP BPK.

Atas tiga temuan di atas, BPK memerintahkan BPBD Sumatra Utara agar menarik kelebihan pembayaran dalam pengadaan kebutuhan isolasi terpusat di Kepulauan Nias senilai Rp754 juta dan menyetorkannya kembali ke kas daerah. Kelebihan bayar itu terdiri atas Rp468 juta dari buffet JG dan Rp285 juta dari RRH.

BPK juga memerintahkan Inspektorat Pemprov Sumatra Utara agar menguji pertanggungjawaban pengadaan peralatan isolasi dari CV Nur senilai Rp264 juta.

Untuk tahun anggaran 2020 lalu, Pemprov Sumatra Utara menyabet Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI Perwakilan Sumatra Utara meskipun ditemukan berbagai persoalan dalam laporan keuangannya. Opini WTP ini merupakan kali ketujuh yang diraih Pemprov Sumatra Utara.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler