Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terungkap! Indikasi TPPU di Kasus Investasi Bodong Riau Capai Rp11 Triliun

Indikasi TPPU terungkap dari adanya dana perusahaan dan dana pribadi terdakwa senilai total Rp11 triliun, kemudian hilang dan hanya tinggal Rp400.000 saja di rekening perusahaan Fikasa Group.
Suasana persidangan kasus investasi bodong yang merugikan 10 korban warga Pekanbaru mencapai Rp84,9 miliar. JPU menyinggung adanya indikasi tindak pidana pencucian uang oleh para terdakwa. Istimewa
Suasana persidangan kasus investasi bodong yang merugikan 10 korban warga Pekanbaru mencapai Rp84,9 miliar. JPU menyinggung adanya indikasi tindak pidana pencucian uang oleh para terdakwa. Istimewa

Bisnis.com, PEKANBARU-- Kasus investasi bodong yang menimpa 10 warga Pekanbaru dengan kerugian Rp84,9 miliar terus bergulir.

Para korban tergiur dengan produk promissory notes atau surat utang dari Fikasa Group dengan penawaran bunga tinggi sebesar 9 persen hingga 11 persen pertahun. 

Pada sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi ahli dan saksi yang meringankan terdakwa di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Jumat (4/2/2022) siang hingga malam hari, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyinggung adanya indikasi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan oleh para terdakwa pimpinan Fikasa Group.

JPU Rendi Panalosa menanyakan kepada para saksi ahli tentang apakah para terdakwa ini bisa dijerat perkara TPPU, salah satunya kepada saksi ahli pidana perbankan dan pencucian uang, Zulkarnain.

Dari persidangan sebelumnya, terungkap adanya dana perusahaan dan dana pribadi terdakwa senilai total Rp11 triliun, kemudian hilang dan hanya tinggal Rp400.000 saja di rekening perusahaan Fikasa Group.

"Ada perputaran uang Rp 11 triliun di rekening perusahaan dan kemudian saldonya tinggal Rp 400.000. Lalu perusahaan tidak memenuhi kewajiban kepada korban, apakah disitu bisa ada indikasi tindak pidana pencucian uang?" ujar JPU menanyakan ke saksi ahli Zulkarnain.

Zulkarnain menjelaskan bahwa bisa saja ada indikasi TPPU, namun semuanya harus dibuktikan di pengadilan. Ada dua hal yaitu perbuatan pidana dan hasil perbuatan tindak pidana, kalau uang perusahaan dan terdakwa bukan merupakan uang hasil tindak pidana tentu tidak ada TPPU.

Namun jika uang perusahaan dan terdakwa itu dari hasil tindak pidana seperti penipuan dan penggelapan, pihaknya setuju adanya TPPU.

"Tapi harus ada tindak pidana dulu, dan pengadilan harus membuktikan dahulu pidana asalnya kemudian pencucian uang," ujarnya.

Ketua Majelis Hakim, Dahlan memberi kesempatan para terdakwa untuk menanggapi keterangan para saksi. Salah seorang terdakwa Bhakti Salim menanyakan pertanyaan JPU yang selalu menanyakan uang Rp11 triliun.

"Saya mau menanggapi pertanyaan jaksa yang selalu menanyakan Rp11 triliun," ujarnya.

Namun pertanyaan terdakwa langsung ditanggapi Ketua Hakim, Dahlan. Disebutkan terdakwa hanya boleh menanggapi keterangan saksi ahli.

"Tunggu, saudara diberikan kesempatan menanggapi saksi ahli. Kalau jaksa itu wewenang penasehat hukum, dan sudah atas izin majelis hakim. Itulah gunanya hakim menengahi kalau tidak debat kusir nanti," ujarnya.

Sidang kali ini menghadirkan total enam saksi. Selain Zulkarnain dari ahli perbankan, ada juga Suherman dari ahli perdata, Yunus Husen Ahli Perbankan, M Topik ahli perbankan dan pencucian uang, dan dua saksi yang meringankan terdakwa.

Keterangan saksi ahli lainnya, ada yang berpendapat kasus ini bisa masuk ke perdata atau pidana. Namun sebagian saksi menilai ke perdata dulu yang didahulukan. Namun pendapat ini ditanggapi Ketua Hakim, Dahlan.

"Ini case by case jadi dilihat dulu satu kasus dengan lainnya, karena setiap kasus itu berbeda. Jadi apakah perdata atau pidana nanti akan kita buktikan."

Dari sidang sebelumnya, saksi ahli hukum pidana perbankan yang juga akademisi Universitas Padjajaran, Dr. Jonker Sihombing menilai para terdakwa yaitu pimpinan Fikasa Group terdiri dari Agung Salim, Bakti Salim, Cristian Salim, Elly Salim dan Maryani menyasar orang awam dan juga masyarakat yang literasi keuangannya masih rendah. 

"Saya melihat para korban yang menyimpan dananya ini orang awam dan sebenarnya digolongkan dalam masyarakat dengan literasi keuangah masih rendah, dan apa yang dilakukan Fikasa Group ini mengakali orang-orang dengan membuat medium term notes dan promissory notes seakan-akan sama dengan simpanan ke bank dalam bentuk deposito," ujarnya.

Menurutnya Fikasa Group menerbitkan promissory notes dan medium term notes, dengan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) sebagai surat sanggup atau promes.

Namun, dari barang bukti yang ditunjukkan di persidangan kepadanya, mulai dari surat perjanjian dan warkatnya ada dua barang bukti, dia menilai redaksional surat perjanjian dan warkat ini seperti ijazah atau sertifikat deposito perbankan, sehingga tidak memenuhi pasal 174 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). 

Karena itu, walaupun Fikasa Group menyatakan barang bukti ini promes, tapi pada kenyataannya tidak memenuhi ketentuan promes atau surat sanggup yang ada di pasal 174 KUHD, disebabkan di dalamnya tidak ada redaksional secara terang benderang kesanggupan membayar tanpa syarat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arif Gunawan
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper