Bisnis.com, PALEMBANG – Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia Sumatra Selatan Harry Hartanto mengatakan Gapki mendukung penegakan hukum untuk menjerat perusahaan sawit “nakal” yang kedapatan melakukan pembakaran untuk membuka lahan perkebunan.
Harry mengatakan aparat harus tegas menindak karena sejatinya sejak 1995 sudah diberlakukan aturan untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar.
“Bahkan jika ada dari 73 anggota Gapki Sumsel yang melakukannya, maka tidak masalah untuk ditindak,” tuturnya pada Selasa (8/10/2019).
Namun, tambahnya, harus ada penegakan asas praduga tak bersalah mengingat kejadian kebakaran lahan itu harus dilihat asal muasalnya, yakni dibakar, membakar, atau terbakar.
Kepolisian juga harus melakukan penyelidikan secara mendalam mengingat beberapa kasus justru kebakaran bermula dari areal di luar konsesi.
“Seperti ini misalnya, api dari luar konsesi (lahan milik masyarakat, lahan tak bertuan), kemudian tidak tertanggulangi. Lalu masuk ke areal konsesi, lantas tinggal menunggu saja untuk menyalahkan. Apa seperti itu penegakan hukum yang benar?” kata Harry.
Selain itu, aparat penegakan hukum juga harus mempertimbangkan mengenai kesungguhan dari perusahaan perkebunan sawit dalam menyediakan sarana dan prasarana kebakaran sesuai dengan Permentan No. 5/2018.
Untuk mengikuti aturan pemerintah ini, perusahaan perkebunan mengeluarkan dana yang cukup besar seperti penyediaan minimal dua menara api untuk lahan seluas 1.000 hektare, 15 orang anggota pemadam, pompa air, mobil tangki, embung, dan lainnya.
“Jadi, saat terbakar, satgas darat langsung beroperasi bekerja sama dengan BPBD, Manggala Agni, hingga Masyarakat Peduli Api. Lantas muncul pertanyaan, kenapa masih terbakar, ini suatu pertanyaan yang sulit dijawab karena membuat kami jadi pesimis,” kata Harry.
Sebelumnya pada pekan ini, Satuan Tugas Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel lahan dari delapan perusahaan perkebunan di Sumatra Selatan, terkait dengan kasus kebakaran hutan dan lahan.
Lahan konsesi yang disegel itu yakni PT DGS dengan komoditas tebu di OKI, PT WAG dengan komoditas sawit di OKI, PT MBJ dengan komoditas sawit di OKI, PT DIL dengan komoditas sawit di Musi Rawas, PT TIAN dengan izin hutan tanaman industri (HTI) di Musi Rawas.
Kemudian PT HBL dengan izin menanam kayu jelutung di Musi Banyuasin, PT LBI yang merupakan perusahaan milik Singapura (PMA) yang izinnya penanaman sawit di Ogan Komering Ulu, serta terbaru PT TAC yang bergerak dalam HTI di Musi Banyuasin.