Bisnis.com, PEKANBARU—Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Riau menilai tingginya harga Pertalite di wilayah itu, membuat tindakan protes atau penolakan oleh masyarakat ke Pertamina menjadi sebuah hal yang wajar.
Ketua Apindo Riau Wijatmoko Rah Trisno mengatakan daerahnya adalah penghasil minyak terbesar di Indonesia, tetapi harga jual bahan bakarnya malah paling tinggi dibandingkan wilayah lain.
"Kondisi yang sangat ironi sekali, padahal Riau daerah penghasil minyak terbesar bagi Indonesia, jadi wajar masyarakat menolak dan protes kenaikan harga Pertalite," katanya kepada Bisnis akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan saat ini Riau masih menetapkan besaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) bagi bahan bakar umum sebesar 10% dalam peraturan daerahnya.
Hal itu menyebabkan harga jual Pertalite di Riau menjadi paling tinggi dibandingkan daerah lain di Tanah Air. Misalnya sebelum 24 Maret 2018, harga jual Pertalite di Jakarta hanya senilai Rp7.600 per liter, namun di Riau harga jualnya mencapai Rp8.000 per liter.
Untuk menurunkan harga jual Pertalite di daerah itu, masyarakat setempat bersama mahasiswa sudah menggelar sejumlah aksi protes kepada pemda dan DPRD setempat.
Hasilnya disepakati bahwa pemda mengajukan revisi perda PBBKB yang sebesar 10%, menjadi 7,5%, sedangkan legislatif inginnya turun menjadi 5%.
Tetapi bukannya segera mendapatkan harga lebih murah, mulai tengah malam tadi untuk membeli Pertalite, masyarakat Riau harus merogoh kocek lebih dalam yaitu Rp8.150 per liter.
"Rakyat Riau belum selesai berkeluh kesah dan demonstrasi tentang tingginya pajak Pertalite, malah Pertamina kembali menaikkan harganya, ini menunjukkan ketidakpedulian dengan masyarakat bawah," katanya.
Adapun mulai 24 Maret 2018 pukul 00.00 WIB, Pertamina menaikkan harga jual Pertalite Rp200 per liter dari sebelumnya Rp7.600 menjadi Rp7.800. Khusus untuk Riau dan Kepulauan Riau harga jualnya mencapai Rp8.150 per liter atau naik Rp150 dari sebelumnya Rp8.000 per liter.