Bisnis.com, JAKARTA - Wajah Kristianto sumringah ketika dia mengorek segumpal tanah gembur di depannya. Di balik tanah-tanah itu, mencuat beberapa ekor cacing pipih sepanjang 10—15 sentimeter.
Bukan sembarang cacing, Kristianto telah membudidayakan cacing ANC (African Night Crawler) yang akan diekspor itu di dekat kebun sawit milik ayahnya sejak 2005 silam.
Dirinya mengaku, ide untuk mengembangkan budidaya cacing ANC berasal dari lingkungan tempat tinggalnya yang dipenuhi tanaman sawit.
“Saya sebagai anak [petani sawit] terpanggil, potensi apa sih yang bisa dikembangkan di sini yang berkaitan dengan sawit,” tuturnya belum lama ini.
Dia mengatakan bahwa usaha apa pun yang akan digelutinya nanti, kalau bisa, dari sawit dan kembali lagi ke sawit.
Adapun, media yang digunakan untuk budidaya cacing ANC dijelaskan oleh Kris berasal dari pohon sawit yang telah mati.
Namun, perlu diingat bahwa pohon sawit itu harus yang mati karena kondisi alam misalnya jatuh terkena petir saat hujan. Dengan demikian, pohon-pohon sawit itu tidak akan memiliki kadar bahan kimia yang dapat menghambat perkembangan cacing ANC.
Pohon sawit yang telah mati tadi akan menjadi makanan alami bagi cacing ANC. Setelah dijadikan tempat tinggal dan makanan oleh si cacing, sisa-sisa pohon sawit itu nantinya akan membusuk dan bisa dijadikan pupuk organik.
Beberapa usaha sempat dicoba oleh Kristianto untuk mempertahankan pundi-pundi keuangan menjelang masa peremajaan (replanting) sawit. Akan tetapi, sejak 2005 sampai sekarang Kristianto pun lebih fokus di budidaya cacing ANC hingga telah memiliki beberapa mitra.
“Saya berpikir beberapa tahun terakhir ini, pohon sawit yang dimiliki masyarakat itu sudah menginjak masa replanting. Jadi, saya berpikir sebelum masa replanting itu terlaksana, masyarakat sudah memiliki suatu usaha. Walaupun kecil, ada kegiatan,” tuturnya.
Adapun Kris tak sendiri dalam bisnis budidaya cacing ANC ini. Setidaknya sudah 30 orang, yang juga adalah sesama anak petani sawit, yang membudidayakan cacing ANC di Kecamatan Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, Provinsi Riau itu.
Kris mengaku tak mudah untuk mengajak orang lain untuk ikut membudidayakan cacing ANC tersebut. Pasalnya, kendati terlihat sederhana, perawatan cacing itu ternyata lebih rumit untuk mendapatkan hasil yang optimal.
“Yang sudah berhasil, sudah panen, itu sekitar 70% [dari mitra],” tutur Kris.
Sedangkan untuk pupuk organik yang berasal dari pembusukan tadi, Kris mengatakan saat ini sudah diambil sampel untuk diuji kandungannya di laboratorium.
Apabila terbukti efektif untuk dijadikan pupuk sawit organik, Kris mantap untuk mengemas produk pupuk tersebut sambil tetap meningkatkan produktivitas budidaya cacing ANC-nya.
Setali tiga uang, adik Kris bernama Dwiyono tak ketinggalan. Apabila sang kakak masih bergelut di dunia agribisnis, Dwi justri tertarik mengembangkan usaha pariwisata.
Tak jauh dari perkebunan sawit milik ayahnya, Dwiyono telah mengelola kawasan agrowisata kolam renang.
Dwiyono menjelaskan bahwa tumbuhnya minat berusaha tersebut tidak serta-merta. Dibantu oleh sang ayah, Sunarto yang merupakan petani mitra Asian Agri Group, Dwiyono dan Kristianto selalu dibimbing dalam mengembangkan suatu usaha.
“Mereka [Asian Agri Group] yang mendampingi. Kami disekolahkan di Yogyakarta di tempat Pak Gembong selama satu bulan,” kata Dwiyono mengacu kepada Gembong Danudiningrat yang merupakan dosen Universtias Gadjah Mada (UGM).
Sunarto, ayah dari Kristianto dan Dwiyono, menambahkan bahwa permasalahan memang selalu muncul ketika lahan sawit memasuki masa peremajaan. Pasalnya, petani sawit harus menunggu hingga 3 tahun sebelum pohon-pohon sawit itu menghasilkan.
“Saya mencoba [kewirausahaan] ini supaya menjadi percontohan bagi petani kita. Alhamdulillah lingkungan mencontoh kita, [lahan] ini bisa tanami apa saja, entah singkong atau apa sayur-sayuran juga bisa,” tuturnya.
BIMBING KEWIRAUSAHAAN
Manager Kebun Plasma Buantan Asian Agri Group Djuamsjah Purba mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen membina petani sawit yang menjadi mitra untuk memperkuat ekonomi selain daripada sektor sawit.
“Dari 2009, kami mencoba menggali potensi yang ada dengan pelatihan-pelatihan dan membawa mereka [petani] ke pelatihan ke tempat yang ahlinya. Tidak hanya di sini saja, tapi sampai ke luar, terutama ke Pulau Jawa,” ujarnya.
Saat ini telah ramai digaungkan peremajaan kelapa sawit yang terkadang membuat petani sawit agak ketar-ketir. Diharapkan dengan tumbuhnya minat kewirausahaan di keluarga petani sawit dapat membawa pendapatan alternatif ketika tanaman sawit replanting belum menghasilkan.
Beberapa pelatihan yang diberikan dalam beberapa tahun terakhir, ungkap Djuamsjah, di antaranya adalah pelatihan pertanian terpadu, peternakan, pengelolaan limbah dan sampah, hingga pengemasan produk.
“Kami latih tidak hanya generasi pertama, tapi juga generasi kedua. Supaya nanti saat orang tua sudah tidak berkecimpung di pertanian, anaknya sudah bisa bertani atau berusaha sesuai kesukaan mereka,” ujar Djuamsjah.
Provinsi Riau mendapatkan target program peremajaan atau replanting kelapa sawit dari Pemerintah Pusat seluas 24,5 ribu hektare pada 2020. Sejauh ini, sudah 1.500 hektare lahan sawit yang berhasil di-replanting.
Ahmad Syah Harrofie, Plt. Kepala Dinas Perkebunan Riau, menyampaikan bahwa lahan sawit yang disepakati untuk program peremajaan tersebut hanya seluas 24 ribu hektare. Adapun, lahan itu tersebar di 10 kabupaten dan kota se-Riau kecuali Kota Pekanbaru dan Kab. Kepulauan Meranti.
“Kita berharap target replanting itu bisa dicapai maksimal. Walaupun tidak sampai 100%, paling tidak mendekati target. Sehingga selisihnya tidak seperti tahun lalu, ditargetkan 26 ribu hektare, yang terealisasi hanya 9 ribu hektare lebih," harapnya.