Bisnis.com, PEKANBARU — Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Riau mencatat perlambatan kinerja di sepanjang 2019. Pasalnya, terjadi penurunan jumlah devisa impor dan berkurangnya potensi bea masuk dari komoditas methanol.
Kepala Kanwil DJBC Riau Romy Rosfyandi menjelaskan bahwa penerimaan Kanwil DJP Riau sampai dengan 31 Desember 2019 hanya memenuhi 94,64 persen dari target yang ditetapkan senilai Rp 295,54 miliar.
Secara total, realisasi penerimaan Kanwil DJBC Riau pada 2019 senilai Rp 279,70 miliar atau turun 11,97 persen dari posisi tahun lalu yang senilai Rp315,79 miliar.
"Penurunan penerimaan didorong oleh penurunan jumlah devisa impor. Terjadi pergeseran dan berkurangnya potensi bea masuk dari komoditas methanol yang berasal dari dok BC 2.3 beralih menjadi dok BC 2.0 (Pemberitahuan Impor Barang/PIB) dengan skema FTA (free trade agreement)," tutur Ronny di Pekanbaru, Selasa (4/2/2020).
Berdasarkan data Kanwil DJBC Riau sampai dengan 31 Desember 2019, penerimaan bea masuk tercatat senilai Rp 153,30 miliar atau memenuhi 83,13 persen dari target yang ditetapkan Rp184,42 miliar dan turun dari capaian tahun lalu senilai Rp 204,75 miliar.
Di sisi lain, bea keluar justru berlebih realisasinya sebesar 113,75 persen dari target yang ditetapkan yaitu senilai Rp 125,42 miliar dari target Rp110,26 miliar. Bea keluar juga naik dibandingkan realisasi pada 2018 senilai Rp 110,26 miliar.
Sementara cukai tercatat senilai Rp968,19 juta, juga melebihi target 111,79 persen senilai Rp 866,04 juta. Dibandingkan tahun lalu, penerimaan cukai juga naik dari posisi Rp776,80 juta.
Adapun penerimaan pajak dalam rangka impor (PDRI) yang terdiri dari PPN, PPh, impor, dan PPnBM di Kanwil DJP Riau tercatat senilai Rp2,2 triliun.
“Namun perlu diingat, bahwa upaya yang kami lakukan di sini adalah meningkatkan industrial system dan pelayanannya karena penerimaan di sektor pajaknya tidak mengalami penurunan," tutur Ronny.
Dirinya menjelaskan bahwa penurunan di bea masuk disebabkan adanya skema kerjasama bilateral berupa kesepakatan perdagangan bebas (FTA) dengan negara mitra yang menetapkan bea masuk untuk methanol turun menjadi 0 persen.
Akan tetapi, hal itu tidak berlaku di pajak penerimaan impor lewat pajak pertambahan nilai impor sehingga penerimaan pajak yang tercatat di Kanwil Dirjen Pajak (DJP) Riau masih ada. Ronny pun menegaskan bahwa pihaknya di sini berperan dalam memperkuat pelayanan agar industri semakin berkembang.
Sedangkan untuk bea keluar, kenaikan dan kelebihan tadi disebut Ronny tidak dapat dijadikan potret untuk kinerja 2020. Pasalnya, pembengkakan bea keluar pada 2019 juga disebabkan oleh memburuknya hubungan dagang antara India dan Malaysia yang kala itu membuat pengambilan sawit dari Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan.
"Untuk bea keluar, memang di sini kami persentase capaiannya 113,75 persen, mengalami peningkatan juga di produk sawit. Namun ini belum bisa dianggap sebagai potensi untuk awal 2020," jelasnya.
Untuk memaksimalkan pemasukan dari bea keluar, pihak Kanwil DJBC Riau akan melakukan pemetaan produk-produk di luar sawit yang belum terjaring untuk dijadikan objek pajak. Ronny mengungkapkan sudah ada beberapa produk yang ditargetkan untuk dibidik menjadi potensi penerimaan pajak, baik di DJBC maupun di DJP.
Pada 2019, Kanwil DJBC Riau dan Kanwil DJP Riau telah melakukan joint program yang meliputi kegiatan joint analysis, joint collection, joint supervisory, dan secondment yang ditujukan untuk meningkatkan pengawasan atas kepatuhan WP, khususnya penerima fasilitas terhadap ketentuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Hal ini baik dalam pemanfaatan fasilitas Kawasan Berikat maupun fasilitas ekspor dan impor.