Bisnis.com, PALEMBANG – Sengketa bisnis di sektor konstruksi tercatat mendominasi perkara yang diselesaikan oleh arbiter dibanding sektor usaha lainnya.
Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Palembang Joni Emirzon mengatakan dari 1.300 kasus bisnis yang ditangani oleh BANI, sekitar 35 persen merupakan kasus di bidang usaha konstruksi.
“Kasus pembangunan konstruksi itu bisa antara swasta dan swasta maupun pemerintah dengan swasta,” ujarnya saat acara diskusi peran BANI dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia, Sabtu (23/11/2019).
Menurut Joni, dalam menyelesaikan sengketa, dunia bisnis menginginkan penyelesaian konflik yang singkat antara sesama pelaku bisnis yang berbeda. Jika menggunakan prosedur peradilan, maka waktu yang dihabiskan akan cukup lama, bahkan dapat berlangsung bertahun-tahun.
Apalagi, sejumlah regulasi di Indonesia sudah mengarahkan penyelesaian sengketa ke arbitrase. Salah satunya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Pasal 88 UU 2/2017 menyatakan bahwa tahapan upaya penyelesaian sengketa setelah musyawarah mufakat, meliputi mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Wakil Ketua BANI Palembang Ahmad Rizal menambahkan kasus sengketa di bidang konstruksi yang ditangani pihaknya menyangkut banyak objek, mulai dari bangunan, jalan, hingga bandar udara.
“Kebanyakan sengketa umumnya terkait pembayaran, terjadi selisih bayar antara kontraktor dan pemilik,” ungkapnya.
Menurut Rizal, pelaku usaha cenderung memilih arbitrase ketimbang pengadilan karena dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satunya, penyelesaian di arbitrase lebih cepat dan hemat biaya.
Baca Juga
Pihaknya mengukur penyelesaian perkara di arbitrase maksimal 6 bulan. Namun, mayoritas sengketa dapat selesai dalam kurun 90 hari alias 3 bulan.
“Arbitrase juga bersifat rahasia. Selain itu, adanya kebebasan, kepercayaan, dan keamanan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase,” lanjutnya.
Selain kasus konstruksi, BANI Palembang juga menyelesaikan kasus sengketa usaha leasing dengan porsi 11 persen, trading sekitar 21 persen, dan ada pula kasus terkait sektor telekomunikasi.