Bisnis.com, PEKANBARU -- Kalangan petani kelapa sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau ingin agar di daerah itu diterapkan satu harga jual kelapa sawit.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Apkasindo Riau Gulat Manurung mengatakan saat ini yang merasakan harga sawit rendah adalah petani swadaya.
"Terakhir ada yang melapor ke saya kalau sekarang sawitnya dihargai Rp300 perkilo, itu anggota kami petani swadaya, ini sudah tidak manusiawi tapi mau bagaimana lagi karena petani sudah tidak punya duit," katanya akhir pekan ini.
Gulat mengatakan petani sawit seperti tidak dipedulikan bahkan didiamkan pemerintah ketika harga jual terjun bebas. Tetapi saat ada masalah dengan ekspor sawit dan negara luar, petani dibawa kedepan.
Untuk mengatasi hal ini, Apkasindo Riau sudah meminta kepada pemprov untuk menerapkan harga jual sawit dengan satu harga.
Hal itu disebabkan penetapan harga sawit setiap pekan yang dilakukan pemda melalui Dinas Perkebunan, hanya berlaku untuk petani mitra dan petani plasma.
Baca Juga
"Ini harapan kami, sawit harus satu harga tidak lagi dibeda-bedakan antara yang plasma, mitra, dengan kami-kami yang swadaya ini," katanya.
Selain masalah harga jual, sejumlah petani sawit Riau juga dihadapkan dengan penolakan tandan buah segar (TBS) oleh tujuh pabrik kelapa sawit setempat.
Alasan yang disampaikan yaitu TBS produksi petani, berasal dari kawasan hutan, sehingga pabrik enggan menerima karena menyalahi aturan pemerintah.
Apkasindo menilai pemda harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk mencarikan jalan keluar.
"Ini harus segera dicarikan jalan keluar, 56% ekonomi Riau bergantung ke sawit, dan petani ini menjual sawit untuk makan dan sekolah anak, bukan beli BMW," katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Riau Ferry HC mengatakan untuk menyelesaikan masalah harga jual sawit, harus ada penguatan kelembagaan di lingkungan petani sawit.
"Soal harga jual ini ada banyak faktornya, mulai dari tahapan panen, menimbang hasil panen, sampai masuk pabrik, itu ada berbagai sebab, jadi petani harus dikuatkan kelembagaannya supaya bisa memiliki daya tawar," katanya.
Dia mengatakan sudah melihat, dan juga menerima laporan soal adanya kecurangan selama proses distribusi buah dari petani ke pabrik. Karena itu pengusaha juga sudah antisipasi diawal supaya menekan kerugian, dengan mematok harga beli rendah ke TBS petani.
Bila hal ini dapat dituntaskan mulai dari penguatan kelembagaan, sesama petani akan saling mengingatkan dan mengawasi saat ada yang mencoba melakukan kecurangan ketika menjual TBS ke pabrik.
Lalu untuk masalah produksi TBS yang ditolak pabrik, Ferry menilai masalah ini ada kaitannya dengan jalur lintas antara produksi TBS dengan kawasan hutan dan pabrik.
Pemprov juga sudah mencoba melalukan tinjauan ke lapangan, melihat langsung lokasi kebun dan pabrik yang menolak TBS petani.
"Solusinya memang harus duduk bersama di satu meja, baik itu petani, pabrik, lalu membahas ke Kementan dan Kemen LHK soal status kawasan hutan ini. Apkasindo bisa lebih kuat posisi tawarnya, kalau kami ini dinas di bawah kementerian," katanya.
Adapun menurut data Apkasindo Riau, luas kebun sawit di wilayah itu mencapai 4,6 juta hektare, dengan kepemilikan lahan sawit oleh petani swadaya sebesar 46%, petani plasma dan mitra sebesar 7%, dan sisanya lahan sawit dikuasai BUMN, BUMD, dan swasta.