Bisnis.com, BATAM – Komite II DPD RI menyoroti pentingnya menjaga struktur biaya industri dan konsumsi di Batam untuk menjaga daya saing kota industri ini.
DPD RI khawatir, jika struktur biaya di Batam terlalu mahal, kawasan ini tak mampu bersaing dengan kawasan lain di Asia Tenggara.
“Jika faktor-faktor biaya berusaha di Batam mahal, investor akan lebih memilih berinvestasi di kawasan lain yang lebih murah,” ujar anggota DPD RI Haripinto Tanuwidjaya.
Ada banyak faktor yang menyusun struktur biaya berusaha di Batam. Tak hanya faktor yang mempengaruhi secara langsung seperti harga lahan, bahan baku dan perizinan. Tapi juga termasuk biaya tak langsung seperti kebutuhan pokok yang kerap memengaruhi faktor gaji karyawan.
Harga kebutuhan pokok di Batam tak bisa dibilang murah. Pasalnya Batam bukan daerah penghasil, sehingga kebutuhan pangan bergantung terhadap distribusi dari daerah penghasil. Jika pasokan terhalang, tak jarang harga kebutuhan pokok di Batam melonjak tajam.
Dari data yang dikeluarkan Bank Indonesia, komoditas makanan selalu jadi kontributor utama penyumbang inflasi di Kepri, khususnya Batam. Dari 10 komoditas inflasi Kepri Januari 2018, hanya ada 1 komponen yang berasal dari kelompom inti. Sisanya berasal dari komoditas volatile food.
“Kontribusi yang paling tinggi disumbangkan oleh beras,” jelasnya.
Haripinto mengatakan, tingginya harga kebutuhan pokok di Batam dipengaruhi harga logistik yang sangat tinggi. Ongkos pengiriman komoditas kebutuhan pokok dari daerah penghasil ke Batam sangat tinggi.
Jika tak dijaga dengan baik, dipastikan komponen upah buruh di Batam akan terus naik setiap tahun. Kondisi ini akan membuat struktur biaya berusaha di batam semakin mahal. Pasalnya saat ini upah buruh di Batam adalah Rp 3,5 juta/ bulan. Merupakan yang tertinggi jika dibandingkan kawasan sejenis di Asean.
“Yang lebih tinggi Cuma kawasan di Singapura. Itupun tak bisa dibandingkan, karena industri di sana sudah High Teknologi,” tuturnya.
Salah satu solusi mengatasi masalah ini adalah membuka keran impor bahan kebutuhan pokok untuk Batam, khususnya untuk komoditas beras. Pasalnya, ongkos logistik beras impor lebih murah dibanding logistik beras dari dalam negeri.
“Kalau setelah impor dikirim dulu ke Jawa, baru kirim lagi Ke Batam, harganya pasti jadi lebih mahal. Lebih baik impor langsung ke Batam. Sehingga biaya logistik lebih murah,” jelasnya.
Impor langsung ke Batam tentu saja harus disertai mekanisme pengawasan yang memadai. Terutama memastikan agar beras yang diimpor di Batam tak merembes ke luar kawasan FTZ. Hanya saja, setiap mekanisme pengawasan tetap ramah terhadap pelaku usaha.
“Harus ada metode pengawasan yang efektif. Tapi juga harus efisien, sehingga tak makan waktu dan biaya besar,” ujarnya.
Selain bahan kebutuhan pokok, akses mendatangkan bahan baku serta bahan penolong juga harus disoroti. Masih ada ketentuan impor Larangan Terbatas (Lartas) dan SNI yang membuat proses impor bahan baku dan pendukung industri di Batam terganggu.
“Kedua aturan tersebut seperti bootle neck,” jelasnya.
Idealnya akses terhadap bahan baku dan barang pendukung industri di Batam tak terhalang ketentuan Lartas. Daftar lartas di kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas harusnya terbatas kepada barang yang memang berbahaya seperti senjata dan Narkoba.
Keempat anggota DPD RI Asal Kepri sudah berkomunikasi dengan pimpinan BP Batam terkait Lartas. Ini masih jadi PR besar yang harus segera dirampungkan. Memang butuh waktu yang cukup panjang, mengingat rekomendasi Lartas ini ada di sejumlah kementerian.
“DPD RI berkomiten untuk membantu BP Batam mendorong agar Lartas untuk mendukung produksi industri di Batam bisa dihapuskan. Atau minimal kewenangannya dilimpahkan kepada BP Batam,” ujarnya.