Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Akar Bhumi Indonesia Surati Presiden Soal Darurat Lingkungan di Kota Batam

Dari pengamatan Akar Bhumi Indonesia, indikasi kota yang bertetangga dengan Malaysia dan Singapura ini mengalami darurat lingkungan bersumber dari darurat air, pesisir dan hutan yang dialami dalam beberapa tahun belakangan.
Founder Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan (tengah) saat menjelaskan kondisi krisis air, pesisir dan hutan yang mendasari mereka mengirimkan surat Batam darurat lingkungan pada Presiden Jokowi./Bisnis-Bobi Bani
Founder Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan (tengah) saat menjelaskan kondisi krisis air, pesisir dan hutan yang mendasari mereka mengirimkan surat Batam darurat lingkungan pada Presiden Jokowi./Bisnis-Bobi Bani

Bisnis.com, BATAM - Akar Bhumi Indonesia menyurati Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) perihal darurat lingkungan yang dialami Kota Batam.

Dari pengamatan Akar Bhumi Indonesia, indikasi kota yang bertetangga dengan Malaysia dan Singapura ini mengalami darurat lingkungan bersumber dari darurat air, pesisir dan hutan yang dialami dalam beberapa tahun belakangan.

Pendiri Akar Bhumi Indonesia Hendrik Hermawan mengatakan dalam surat yang sudah sampai ke Kementerian Sekretariat Negara RI pada 16 Februari lalu tersebut, pihaknya menjabarkan darurat lingkungan yang dialami Kota Batam.

Sejak 2014, di Batam telah terjadi krisis air dimana ketersediaan air baku di waduk tidak mampu memenuhi kebutuhan warga Batam. Walaupun telah dibangun Waduk Tembesi sebagai pengganti ditutupnya Waduk Baloi, namun Kota Batam masih mengalami minus 600 liter/detik.

“Untuk mengatasi hal tersebut diberlakukan rationing atau pengaliran air secara bergilir,” kata Hendrik saat dihubungi pada Selasa (22/2/2022).

Sebab krisis air di Batam, lanjut Hendrik, karena daerah tangkapan air (DTA/Catchment Area) mengalami banyak gangguan. Keberadaan waduk-waduk yang berada di kawasan hutan lindung telah terdegradasi. Alih fungsi hutan disekitar DTA, okupasi masyarakat dan pelaku usaha di daerah tangkapan air serta sedimentasi yang cukup tinggi di waduk menjadi penyebab utama penurunan fungsi waduk dan usia produktif waduk.

Darurat air bukan saja akibat kekurangan supply air baku namun juga ketidakmampuan Batam di dalam mengelola air hujan. Sebagai waduk tadah hujan maka pasokan air waduk adalah dari hujan. Tidak turun hujan adalah pertanda bencana karena waduk tidak terisi. Namun ketika hujan turun lebat justru yang datang malah malapetaka banjir.

Adapun alternatif lain mengisi waduk yakni rekayasa teknologi yang biasa dilakukan untuk pemanenan awan sebagai bahan hujan buatan. Tapi mahalnya biaya pengadaan hujan buatan maka cara ini dianggap tidak ekonomis.

Banjir yang terjadi di Batam juga dipicu kurangnya Daerah Tangkapan Air (DTA) akibat alih fungsi hutan dan pembangunan (cut an fill) yang tanpa mengindahkan regulasi.

“Jenis tanah Pulau Batam yang mengandung kadar bauksit tinggi dan hanya ditutupi oleh sedikit lapisan tanah menyebabkan air tidak mampu menyerap ke bumi karena terhalang kerasnya bauksit, disinilah dibutuhkan pohon yang berfungsi mengikat air. Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan ketahanan air di Batam maka dapat diprediksikan krisis air akan semakin lama dan semakin merugikan masyarakat,” kata Hendrik.

Soal darurat pesisir, Batam sebagai Kota kepulauan dengan daratan seluas ± 715 Km2 dan terdiri lebih dari 300 pulau, maka ancaman terbesar akibat climate change/perubahan iklim dan abrasi (pengikisan daratan) adalah hilang daratan dari permukaan laut.

Geografis kepulauan melahirkan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, menggantungkan hidup dari pesisir dan laut yang sehat. Kerusakan pesisir akibat reklamasi ilegal telah mengakibatkan nelayan sering mengalami penurunan hasil tangkapan bahkan banyak nelayan kehilangan mata pencaharian karena laut dianggap tidak mampu lagi memberikan penghidupan.

Kerusakan pesisir selain disebabkan penimbunan pantai ataupun mangrove juga disebabkan oleh penebangan pohon mangrove untuk bahan bangunan dan arang bakau. Hilangnya ekosistem mangrove yang menjadi pelindung pulau telah memicu abrasi terhadap daratan.

Padahal reklamasi alami adalah ketika mangrove mengikat lumpur dan membentuk daratan secara pelan-pelan.

Batam sangat membutuhkan pelindung daratan berupa ekosistem mangrove yang memiliki fungsi besar dalam menahan intrusi air laut ke darat, pemecah angin dan gelombang, penahan abrasi, penyerap karbon dan penghasil oksigen yang lebih tinggi dibanding pohon lain.

Mengingat Batam berbatasan dengan perairan internasional maka mangrove juga berperan sebagai ketahanan geopolitik. Hilangnya pulau terluar akibat abrasi (tergerus ombak) ataupun land subsidence (penurunan permukaan tanah) akan menyebabkan batas kedaulatan negara berkurang.

“Penanaman Mangrove OASE KK 2014-2020 di Hutan Lindung Sei Beduk, Batam pada tanggal 7 Agustus 2019 yang dilakukan oleh Ibu Iriana Jokowi, Ibu Mufidah Kalla dan jajaran istri menteri Kabinet Kerja serta Menteri KLHK RI Siti Nurbaya; dan penanaman Mangrove program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN Mangrove) di Pulau Setoko pada tanggal 28 September 2021 oleh Presiden, Bapak Ir. Joko Widodo, seharusnya dapat memberikan pengaruh baik terhadap upaya pelestarian ekosistem mangrove, namun kenyataannya masih banyak kami temukan kegiatan yang tidak mempedulikan pentingnya ekosistem pesisir di Kota Batam,” tutur Hendrik lagi.

Darurat hutan, Hendrik menjelaskan pada awal penetapan Pulau Batam sebagai daerah industri maka siteplan-nya 60 persen lahan diperuntukkan sebagai kawasan hutan namun seiring dengan berjalannya waktu, komposisi itu telah berkurang hingga ± 40% saja.

Kondisi penurunan luas kawasan hutan di Kota Batam disebabkan adanya alih fungsi hutan dan okupasi hutan baik untuk lahan perumahan ataupun pertanian. Zona hijau dari tahun ke tahun semakin berkurang dan mesti segera diambil kajian dan tindakan hukum demi kelangsungan hutan sebagai warisan generasi masa depan dan penunjang kehidupan.

Kondisi relokasi atau hengkangnya sejumlah perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) di Batam keluar negeri dan menurunnya minat investasi di Batam juga telah menghilangkan banyak mata pencarian masyarakat yang selanjutnya memberikan efek domino di semua lini kehidupan, terutama faktor ekonomi.

Jumlah penduduk yang tinggi dengan bonus demografi di Kota Batam yang tak tertampung lapangan pekerjaan akhirnya memicu sebagian warga untuk beraktivitas di lahan-lahan hutan. Hutan sebagai zona hijau yang menjadi pendukung kehidupan masyarakat banyak dan hak generasi terdegradasi akibat kepentingan beberapa pihak.

Apalagi sebagian besar hutan berada untuk melindungi DTA Waduk yang mana fungsi waduk di Kota Batam adalah single used atau hanya untuk kebutuhan air baku masyarakat dan bukannya untuk pertanian ataupun pengairan.

Keterbatasan air di Batam dan kondisi geologi (tanah bauksit) juga sangat tidak mendukung untuk pertanian. Pemberian hak pemanfaatan hutan akan menyebabkan sedimentasi dan terbawanya material pupuk (non organik) yang akan mengganggu baku mutu air waduk yang dikonsumsi masyarakat umum. Kawasan waduk yang seharusnya menjadi obyek vital justru akan terjerumus pada kerusakan yang fatal di DTA.

Banyaknya kasus lahan hutan di Kota Batam membutuhkan ketegasan yang lebih serius dari pemerintah pusat sehingga kerusakan tidak semakin parah. Tingginya angka kerusakan lingkungan mungkin tidak langsung terasa dampaknya, namun pada jangka waktunya kita tidak bisa lagi menyebutnya sebagai bencana alam karena bencana yang terjadi akibat dari kesalahan manusia.

“Sehubungan dengan semua hal tersebut di atas maka kami Akar Bhumi Indonesia memohon agar Bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia memberikan perhatian khusus dan menyiapkan langkah konkrit demi membebaskan Batam dari status Darurat Lingkungan serta menyelamatkan aset alam generasi masa depan bangsa,” kata Hendrik menutup penjelasan tentang isi surat yang mereka layangkan kepada Presiden Jokowi.

Lebih jauh, Hendrik mengaku pihaknya menyampaikan surat ini sebagai dukungan untuk stakeholder yang berkaitan dengan lingkungan di Kota Batam yang menghadapi tantangan besar dalam kegiatan mereka.

Ketua Komisi III DPRD Batam Werton Panggabean mengatakan pengawasan oleh DPRD Kota Batam dilakukan ketika ada dampak. Hadirnya dampak atas pembangunan akan dikaji, apakah bersumber dari ketidaktaatan atas regulasi yang ada atau kerusakan tersebut memang menjadi risiko pembangunan karena sudah sesuai dengan regulasi.

“Kita perhatikan perizinan dulu, kalau sesuai dengan regulasi maka itu menjadi resiko dari pengembangan atau pembangunan. Kalau ada akibatnya, bersama pemerintah daerah kita hadirkan solusi untuk perbaikan. Yang pasti ketika ada dampak akan kita usut,” kata Werton.

Werton melanjutkan, perlu ada dorongan agar pemerintah menghadirkan kebijakan bagaimana mengantisipasi kerusakan ekosistem akibat pengembangan untuk kebutuhan ekonomi Batam. termasuk penyembuhan atau perbaikan atas kondisi kerusakan yang sudah ada akibat pembangunan industri dan pemukiman.

“Kita tidak menghambat pengembang karena kita juga harus mendorong perekonomian Kota Batam, namun harus memperhatikan regulasi dan aturan yang ada. Kita dorong agar pengusaha Batam untuk sadar agar tidak terjadi kerusakan ekosistem. Masyarakat juga harus turut menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarang yg menyebabkan kerusakan lingkungan,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Bobi Bani
Editor : Ajijah

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper