Bisnis.com, MEDAN - Sejumlah akademisi menilai kebijakan pemerintah pusat menaikkan tarif cukai rokok sebesar 12 persen pada tahun ini terlalu prematur dan tidak tepat.
Menurut Ketua Tim Penelaah Tarif Cukai Rokok (PTCR) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara (USU) Coki Ahmad Syahwier, pemerintah mestinya melakukan kajian mendalam dan memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut.
Coki mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok yang eksesif tersebut justru kontraproduktif dengan industri hasil tembakau.
"Terlebih lagi ketika kondisi perekonomian mengalami kontraksi ekstrim yang tergambar pada menurunnya pendapatan pelaku usaha dan masyarakat," kata Coki pada diskusi yang digelar di Medan, Rabu (19/1/2022).
Menurut Coki, sejumlah sektor ekonomi produktif unggulan saat ini belum mampu berkontribusi maksimal selayaknya pra-pandemi.
"Semestinya perekonomian yang menurun harus didorong dengan kenaikan kapasitas produksi barang, termasuk terhadap industri hasil tembakau, dalam hal ini rokok," kata Coki.
Berdasar catatan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, realisasi produksi rokok mengalami peningkatan pada 2021 lalu. Kurun Januari-Agustus 2021, peningkatannya mencapai 5,03 persen.
Sedangkan menurut data Kementerian Keuangan RI, realisasi produksi rokok berjumlah 208,6 miliar batang rokok pada 2021. Pertumbuhannya mencapai 6,2 persen.
Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) menyebabkan beban para pengusaha rokok semakin berat.
"Dengan demikian, kebijakan menaikkan lagi CHT dinilai belum tepat untuk diterapkan karena lingkungan usaha dan perekonomian secara makro sedang berada pada tahap pemulihan," kata Coki.
Menurut anggota Tim PTCR sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU Fadli, kebijakan pemerintah menaikkan CHT menunjukkan minimnya sense of crisis terhadap industri yang terdampak pandemi Covid-19.
Menurut Fadli, pemerintah harus mempertimbangkan setidak tujuh hal sebelum mengambil kebijakan tersebut.
Pertama soal tantangan yang dialami produsen rokok karena harus bersaing dengan rokok ilegal. Kedua, preferensi orang yang mengonsumsi rokok masih tinggi dengan keberadaan rokok-tokok ilegal. Ketiga, prevalensi rokok masyarakat belum menurun yang tidak sejalan dengan aspek kesehatan.
Keempat, faktor pasar yang kurang kondusif mengakibatkan besarnya jumlah retur. Kelima, Industri Hasil Tembakau menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Keenam, kenaikan CHT secara berturut sejak 2020 lalu dinilai sebagai kebijakan yang tidak produktif dan kreatif.
"Ketujuh, kegiatan ikutan pada Industri Hasil Tembakau mengalami penurunan. Seperti kertas, cengkeh, produksi petani tembakau, pedagang eceran, transportasi, dan kegiatan teknis lainnya," kata Fadli.
Berdasar uraian di atas, lanjut Fadli, kebijakan menaikkan CHT akan berdampak negatif terhadap kinerja produsen rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Putih Mesin (SPM).
"Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kenaikan tarif CHT karena sangat menekan petani tembakau, produsen dan konsumen," kata Fadli.
Anggota Tim PTCR Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU lainnya, Paidi, mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kebijakan menaikkan tarif CHT. Melihat berbagai persoalan di atas, Tim PTCR menarik beberapa kesimpulan.
Pertama, kenaikan tarif CHT dianggap belum waktunya, terutama di masa pandemi. Sebab, kebijakan itu berpotensi menekan kinerja industri yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja.
Kedua, pemerintah harus mempertimbangkan keberlangsungan produksi rokok dan industrinya saat menaikkan tarif CHT. Ketiga, kenaikan tarif ini justru menciptakan mimpi buruk bagi petani tembakau, pekerja manufaktur, pedagang eceran dan industri.
"Hal ini berpotensi mengurangi kontribusi ke pendapatan negara," kata Paidi.
Kesimpulan keempat adalah nasib para produsen rokok lokal yang diprediksi akan berkurang drastis akibat perusahaan rokok asing. Kelima, kenaikan CHT juga berpotensi membuat perusahaan asing menguasai pasar rokok.
Keenam, kenaikan CHT akan meningkatkan jumlah peredaran rokok ilegal alih-alih menekan atau mengurangi jumlah perokok.
"Ketujuh, peredaran rokok ilegal akan kian masif di berbagai daerah dan luput dari pengawasan oleh pihak yang berwenang," pungkas Paidi.