Bisnis.com, PADANG - Petani di Provinsi Sumatra Barat mulai meninggalkan tanaman kakao. Hal ini terlihat dari data luas lahan kakao dari tahun ke tahun.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar Syafrizal mengatakan tahun 2020 luas lahan kakao untuk perkebunan rakyat 84.942 hektare dengan produksi 43.209 ton per tahunnya.
"Luas lahan tahun 2020 itu sebenarnya berkurang bila dibandingkan kondisi tahun 2019, dimana luas tanaman kakao di Sumbar 145.735 hektare dengan jumlah produksi 66.917 ton per tahunnya," kata pria yang akrab disapa Jejeng ketika dihubungi Bisnis, Minggu (29/8/2021).
Dia mengakui bahwa tanaman kakao di Sumbar memang mulai ditinggalkan oleh petani. Alasan itu terjadi, karena selain adanya hama seperti tupai dan kutu, petani pun mulai jenuh dengan perawatan manja dari kakao tersebut.
Padahal dulu Jusuf Kalla sewaktu jadi Wapres RI, telah menjadikan Kabupaten Padang Pariaman sebagai sentra kakao di Sumbar, dan bahkan menjadi produksi coklat.
"Tapi kini di Padang Pariaman itu sendiri juga telah banyak tanaman kakaonya dibabat dan dialih fungsikan ke tanaman pangan," ujarnya.
Jejeng menyebutkan bila melihat dari kondisi kabupaten dan kota di Sumbar untuk luas lahan tanaman kakao ini, untuk di Kabupaten Kepulauan Mentawai terdapat 2.499 hektare dengan produksi 223,4 ton per tahunnya.
Kabupaten Pesisir Selatan 2.286 hektare dengan produksi 727 ton per tahun. Solok 3.938 hektare dengan produksi 1.286 ton per tahun. Sijunjung 1.685 hektare dengan produksi 1.031 ton per tahun.
Lanjut ke Kabupaten Tanah Datar luas tanam 3.938 hektare dengan produksi 2.682 ton per tahun. Padang Pariaman yang merupakan sentra kakao di Sumbar luas tanam sebesar 17.851 hektar dengan produksi 9.927 ton per tahunnya.
Begitu juga di Kabupaten Agam luas tanam di daerah ini 4.875 hektare dengan produksi 3.302 ton per tahun. Limapuluh Kota 6.885 hektare dengan produksi 1.767 ton per tahun.
Selanjutnya di Kabupaten Pasaman yang merupakan daerah yang memiliki luas tanam kakao yang terluas di Sumbar yakni mencapai 21.968 hektare dengan produksi per tahun 11.091 ton.
Solok Selatan luas tanam kakaonya 2.379 hektare dengan produksi sekitar 750 ton per tahun. Dharmasraya 3.760 hektare dengan produksi per tahun 2.420 ton. Pasaman Barat 9.696 hektare dengan produksi 6.797 ton per tahun.
Lalu di Kota Padang terdapat luas tanam kakao 1.155 hektare dengan produksi 615 ton per tahun. Kota Solok 360 hektare dengan produksi 242 ton per tahun, dan Kota Sawahlunto 559 hektare dengan produksi 153 ton per tahunnya.
"Jadi di Sumbar ini hanya Kota Padang Panjang yang tidak ikut menanam komoditas kakao," sebut Jejeng.
Berbeda di Kota Bukittinggi, kendati berada di kawasan padat penduduk ternyata masih memiliki lahan untuk ditanam kakao yakni 32 hektare dengan produksi 16 ton per tahunnya.
Sementara untuk Kota Payakumbuh luas lahan kakao 703 hektare dengan produksi 844 ton per tahun, serta Kota Pariaman 373 hektare dengan produksi 160 ton per tahunnya.
"Jadi total luas lahan tanaman kakao di Sumbar itu 85.942 hektare dengan produksi 43.290 ton per tahunnya. Jumlah ini jelas menurun bila dibandingkan tahun 2019," ungkapnya.
Jejeng menyebutkan cukup prihatin melihat kondisi tanaman kakao di Sumbar, dimana dari tahun ke tahun luas lahan terus berkurang. Bukan karena soal harga, hanya saja adanya hama serta perlu waktu banyak untuk merawat tanaman kakao itu.
"Kalau harga kakao cukup bagus, bisa mencapai Rp25.000 per kilogramnya. Cuma yang itu, petani merasa direpotkan harus intens merawat tanaman kakaonya, karena kakao jenis komoditas yang cukup manja, sehingga butuh perawatan," jelasnya.
Perawatan yang dimaksud yakni petani harus rajin dan intens untuk memantau dahan-dahan yang rasanya harus dipangkas. Karena bila tidak dilakukan pemangkasan dahan-dahan, kakao sulit untuk berbuah lebat.
Untuk melakukan pemangkasan dahan itu, juga tidak sembarangan memangkas saja. Tapi petani perlu memperhatikan secara detail agar tidak memangkas dahan yang berpotensi untuk berbunga dan berbuah.
"Agar kakao berbuah lebat, harus dipangkas. Nah petani di Sumbar menilai hal itu jadi persoalan. Karena bila dipangkas, tupai-tupai akan dengan mudah memakan buah kakaonya. Hama ini yang tidak tahannya," sebut dia.
Jejeng mengaku cukup khawatir melihat kondisi berkurangnya lahan tanaman kakao. Padahal kakao di Sumbar telah masuk ke pasar ekspor dengan negara tujuan di Eropa dan Amerika. Serta yang baru membuka kran impor adalah China, Rusia, India, Jepang dan Timur Tengah.
Dia melihat sejatinya Sumbar mempunyai peluang untuk terus meningkatkan produktivitas tanaman kakao. Akan tetapi, petani merasa butuh mengganti tanaman ke komoditi lainnya.
"Kita sudah lakukan sosialisasi, mulai dari soal penanganan hama serta soal perawatan itu. Tapi alhasilnya kini, bukti terlihat luas lahan kakao semakin berkurang," ujar Jejeng. (k56)