Bisnis.com, PEKANBARU-- PT Perkebunan Nusantara V menanggapi gugatan dari Koperasi Sawit Makmur (Kopsa-M) Desa Pangkalan Baru, Kabupaten Kampar, Riau, versi Anthony Hamzah terkait lahan sawit dengan pola Koperasi Kredit Primer untuk Anggota (KKPA) di daerah tersebut.
Pengacara PT Perkebunan Nusantara V Sadino menyatakan pihaknya meminta kepada Kopsa M versi Anthony Hamzah untuk mematuhi, dan jangan mempermainkan hukum.
"Kopsa-M versi ketua Anthony Hamzah sudah pernah menggugat PTPN V di Pengadilan Negeri Bangkinang pada tahun 2019 lalu. Hasilnya, tuntutan mereka seluruhnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Bangkinang," ujarnya dalam siaran pers Jumat (17/9/2021).
Dalam gugatannya kala itu, Anthony meminta majelis hakim agar PTPN V membayarkan kerugian materil sebesar Rp129 miliar, melunasi utang di Bank Mandiri dan di PTPN V, menuntut perusahaan untuk mengembalikan lahan seluas 1.650 hektare beserta jaminan kredit surat hak milik (SHM) dan meminta Pengadilan menyatakan PTPN V telah gagal membangun kebun Kopsa M seluas 1.650 Ha serta wan prestasi terhadap isi perjanjian.
Usai putusan atas registrasi perkara No 99/Pdt.G/2019/PN.Bkn tersebut, Kopsa-M versi Anthony kembali melakukan banding di Pengadilan Tinggi Pekanbaru pada Maret 2020. Di Pengadilan Tinggi, kata dia, amar putusan justru menguatkan putusan tingkat pertama.
Setelah gagal di tingkat banding, Anthony kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada Juni 2021, kasasi tersebut kemudian dicabut.
"Dengan demikian, artinya atas permasalahan ini telah ada putusan inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Sehingga secara legal, perjanjian antara Kopsa-M dan PTPN V yang disepakati pada tahun 2003, 2006 dan 2013 lalu, sah dan masih berlaku serta menjadi undang-undang antara keduanya," ungkap akademisi pasca sarjana Universitas Al-Azhar Indonesia itu.
Lebih jauh, dia menyebutkan PTPN V adalah bapak angkat sekaligus avalis kebun Kopsa-M yang merupakan kebun dengan pola Koperasi Kredit Primer untuk Anggota (KKPA). Lahan seluruhnya 100 persen berasal dari masyarakat.
Dia menjelaskan bahwa masyarakat melalui Kopsa-M dan Ninik Mamak atau tetua adat setempat pada tahun 2001 meminta PTPN V untuk dibangunkan perkebunan. Perusahaan setuju dan mulailah dibangun kebun pola KKPA.
Ia menuturkan, saat itu total luasan yang disebutkan masyakarat untuk dibangun perkebunan mencapai 4.000 Ha. Terdiri dari Kebun Kopsa-M 2.000 Ha, kebun inti 500 Ha, Kebun Sosial Masyarakat Desa Pangkalan Baru 500 Ha, dan Kebun Sosial 1.000 Ha.
"Tapi ternyata setelah diukur, arealnya tidak cukup. Sehingga dari beberapa tahap pembangunan, yang terbangun adalah seluas 1.650 Ha kebun untuk Kopsa-M sendiri. PTPN V tidak dapat kebun inti sama sekali seperti yang direncanakan di awal. Ada surat ninik mamak yang menyatakan areal tidak tersedia untuk kebun inti. Sehingga batal dibangun," ujarnya.
Baginya, hal ini jelas membantah tudingan menyesatkan yang menyebutkan PTPN V merampas tanah rakyat dan menjual kebun inti serta melakukan korupsi.
"Saya pastikan itu tidak benar. Wong sampai saat ini tanah dan asetnya sepenuhnya dikuasai oleh Kopsa-M. Tidak ada sejengkalpun kebun inti PTPN V di sana. Jadi tolonglah jangan membuat berita yang tidak sesuai fakta di berbagai media, apalagi sampai mempermainkan hukum," tegasnya.
Pakar hukum nasional ini turut menyoroti tiga perjanjian yang terbit dalam pembangunan Kopsa-M yakni perjanjian nomor 7 tahun 2003, nomor 18 tahun 2003 dan nomor 2 tahun 2006, yang telah menjadi undang-undang yang berlaku bagi kedua belah pihak.
Dia menyebutkan terdapat hak dan kewajiban kedua belah pihak yang sangat jelas, dimana kewajiban PTPN V adalah menjadi off-taker pembangun kebun dan avalis penjamin di perbankan. Selanjutnya, ada pula kewajiban Kopsa-M untuk membayar cicilan atas biaya pembangunan kebun yang telah disepakati.
"Sekarang ini, Kopsa-M versi ketua Anthony Hamzah menolak itu semua dan menggugat PTPN V. Maka saat gugatan tersebut ditolak oleh hukum melalui pengadilan, apalagi sampai berkekuatan hukum tetap, maka, ikutilah perjanjian yang ada. Jangan putar balikan fakta dengan melaporkan kami ke berbagai lembaga penegak hukum," tegur Sadino.
"Bayangkan, hasil penjualan produksi Kopsa-M dalam satu bulan mencapai lebih Rp2 miliar, masa pembayaran cicilan hutang cuma Rp5 sampai Rp25 juta perbulan. Sisanya PTPN V selaku avalis yang terus menalangi ke perbankan. Luar biasa wanprestasinya," tuturnya.
Berbagai upaya diusahakan PTPN V untuk dapat mencari jalan tengah agar masalah ini tidak berlarut-larut. Mulai dari melakukan perundingan, melakukan take over dari Bank Agro ke Bank Mandiri agar Kopsa-M memiliki dana untuk perbaikan areal, hingga pertemuan-pertemuan yang melibatkan pemerintah setempat.
"Bisa dibilang buntu. Apalagi sejak kepengurusan diambil alih Anthony Hamzah pada 2016. Dia bukan penduduk asli apalagi petani tempatan. Lalu dia juga tidak mau menandatangani berita acara pernyataan hutang (BAPH). Padahal dia tau kondisi kebun masih dalam status berhutang ke bank dengan PTPN V selaku avalis. Jangan main-mainlah dengan hukum kalau tidak mau terjerat hukum," tutup Sadino.
Anthony Hamzah bersama Setara Institute dalam beberapa waktu terakhir melaporkan PTPN V ke sejumlah penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa perusahaan milik negara tersebut merebut lahan Kopsa-M dari petani.
Pengacara Setara Institute Disna Riantina sebelumnya menjelaskan masalah sengketa lahan antara Kopsa-M dengan PTPN V ini terjadi sejak kerjasama pengelolaan kebun sawit secara KKPA mulai 2003 silam.
"Dari pengkajian oleh BPN dan Dinas Koperasi Kampar, diketahui lahan milik petani sekarang dikuasai oleh salah satu perusahaan atau PT, melalui jual beli atau pindah tangan oleh oknum di PTPN V," ujarnya.
Menurutnya atas permasalahan tersebut, Kopsa-M telah menggugat PTPN V kepada sejumlah pihak, dan berharap hak petani yaitu pengelolaan lahannya dapat dikembalikan sesuai aturan.
Dia memaparkan saat ini Kopsa-M memiliki sekitar 997 petani, namun lahan yang dikelola telah berkurang, sehingga hanya ada sebanyak 825 petani yang memiliki lahan kelolaan.
Tidak hanya soal pengelolaan lahan, Kopsa-M juga meminta kepada PTPN V untuk dilakukan replanting atau penanaman ulang sawit, di lahan KKPA seluas 1.650 hektare. Dimana di lahan ini menurut petani hanya 300 hektare yang berproduksi optimal, sedangkan sisanya tidak menghasilkan dengan baik.