Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI: Tiga Jurus untuk Dongkrak Realisasi Investasi

Ada keterkaitan langsung antara perkembangan makroekonomi dengan realisasi investasi. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan tiga hal ini.

Bisnis.com, JAKARTA – Energi ekonomi nasional cukup terkuras menangkal pengaruh gejolak global sepanjang 2018. Gejolak yang dimaksud adalah lonjakan harga minyak dunia, kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (the fed fund rate), dan perang dagang AS dengan negara-negara pencetak defisit neraca perdagangannya.

Dengan membaca tiga faktor di atas, agaknya sulit mengharap kontribusi positif dari neraca perdagangan. Pada triwulan III/2018, ekspor bersih berkontribusi negatif sebesar 0,67% terhadap PDB, meningkat dari -0,55% pada triwulan II/2018.

Tahun lalu, ekspor bersih masih berperan positif sebesar 1,56% (triwulan III) dan 1,4% (triwulan II) terhadap PDB sehingga cukup beralasan jika tumpuan pertumbuhan ekonomi kembali mengarah pada kekuatan konsumsi rumah tangga dan investasi. Secara besaran, keduanya berkontribusi lebih dari 85% terhadap PDB.

Sayangnya, perkembangan data investasi tidak seperti yang diharapkan. Pertama, realisasi investasi triwulan III/2018 merosot 1,58% (yoy). Penanaman modal asing (PMA) turun hingga 20% (yoy), sedangkan penanaman modal dalam negeri (PMDN) masih tumbuh sekitar 30%. Karena porsi PMA lebih tinggi dari PMDN, hal itu berpengaruh terhadap pertumbuhan investasi secara keseluruhan.

Jika merujuk pada angka Januari-September, investasi masih tumbuh 4,3% (yoy) dimana PMDN naik 24% (yoy), sedangkan PMA turun 7,8% (yoy).

Kedua, pemenuhan target investasi cenderung menurun, terutama pada PMA. Sepanjang 2018, target investasi ditetapkan Rp765 triliun. Dalam tiga triwulan berjalan, realisasinya hanya 70% dari target. PMA terlaksana Rp477,4 triliun atau mencapai 61,5% dari target, sedangkan PMDN terealisasi sekitar Rp287,6 triliun atau 84%.

Jika dibandingkan dengan pencapaian 2017, realisasi investasi 2018 jauh lebih rendah. Pada periode Januari-September 2017, realisasi investasi mencapai 75,6% dari target Rp678,8 triliun dimana PMA dan PMDN masing-masing tercapai 74,2% dan 77,9%.

Faktor Global dan Domestik

Penurunan realisasi investasi dipengaruhi oleh beberapa faktor tetapi lebih didominasi oleh faktor global, yang bertransmisi ke ekonomi domestik. Bagian pertama berhubungan dengan depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Ada dua faktor kuat penyebab depresiasi rupiah yaitu kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan the fed fund rate. Depresiasi rupiah lewat jalur kenaikan minyak dunia bertransmisi ke neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan neraca pembayaran.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan defisit neraca perdagangan mencapai US$3,78 miliar sepanjang Januari-September 2018, dimana neraca nonmigas surplus US$5,59 miliar dan neraca migas defisit hingga US$9,37 miliar.

Sementara itu defisit neraca transkasi berjalan pada semester I/2018 mencapai US$13,5 miliar dan berada di atas 3% dari PDB. Defisit neraca pembayaran mencapai US$8,16 miliar sepanjang semester I/2018. Defisit neraca pembayaran menunjukkan aliran valas keluar lebih besar dari valas masuk, sehingga memberikan tekanan pada nilai tukar. Karena, kebutuhan valas domestik cenderung naik di tengah-tengah pasokan yang semakin terbatas.

Depresiasi rupiah lewat kenaikan the fed fund rate bergerak di pasar uang. Kenaikan suku bunga acuan AS menggiring kenaikan suku bunga (dan imbal hasil instrumen keuangan) lainnya, baik di AS maupun negara lain.

Ketika perbedaan suku bunga antar dua negara semakin sempit (interest rate differential) maka ada dorongan pemilik dana asing berpindah ke instrumen keuangan yang lebih aman (safe heaven), seperti obligasi pemerintah AS (US Treasury Bond). Saat pemilik dana nonresiden mencairkan portofolionya, terjadi peningkatan permintaan valas dan menyebabkan jumlah rupiah dalam perekonomian meningkat. Situasi demikian menekan nilai rupiah dan memperkuat nilai valas.

Dampak lanjutan depresiasi terhadap realisasi investasi terekam dari lonjakan biaya impor terutama untuk bahan baku/penolong. Sebagaimana diketahui, hampir 80% kebutuhan bahan baku/penolong industri dipasok dari impor.

Depresiasi menyebabkan biaya bisnis semakin mahal, apalagi untuk perusahaan yang baru memulai usaha. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 75% realisasi investasi Januari-September 2018 merupakan investasi baru, sisanya ekspansi usaha. Selama periode yang sama, 76% dan 73% realisasi PMA dan PMDN merupakan investasi baru.

Faktor kedua berhubungan dengan kenaikan harga minyak. Selain memengaruhi depresiasi rupiah lewat neraca transaksi berjalan, kenaikan harga minyak memacu biaya produksi lebih mahal. Pada awal 2018, harga minyak diprediksi hanya bergerak pada US$48 per barel (APBN-P 2017) dan terealisasi hingga di atas US$70 per barel. Menurut data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), penggunaan bahan bakar minyak oleh industri mencapai 45% dari total bahan bakar, di samping batu bara (15%), gas (27%), dan listrik (11%).

Komponen ketiga adalah penurunan peringkat Easy of Doing Business (EODB). Rilis Bank Dunia menempatkan peringkat EODB Indonesia pada level 73, menurun satu peringkat dari publikasi sebelumnya. Penurunan ini menyebabkan Indonesia gagal mencapai 40 besar dunia, dan semakin jauh dari negara-negara sekawasan seperti Malaysia (15) dan Thailand (27).

Bagian terakhir berasal dari kebijakan pemerintah (internal) terkait dengan upaya menjaga defisit neraca transaksi berjalan. Beberapa bulan lalu, regulator menaikkan pajak penghasilan (PPh) terhadap barang impor konsumsi yang dapat diproduksi di dalam negeri.

Kondisi tersebut menyebabkan ongkos berusaha melonjak di tengah depresiasi rupiah yang masih terus terjadi.

Dampak perlambatan realisasi investasi cukup terasa pada penyerapan tenaga kerja. Pada Januari-September 2018, total penyerapan tenaga kerja turun 1,24% (yoy) menjadi 982.000 dari posisi 994.000 pada periode yang sama 2017. Penyerapan tenaga kerja PMDN mencapai 402.000, masih naik sekitar 42% (yoy). Namun penyerapan tenaga kerja PMA turun hingga 18% (yoy) menjadi 579.000.

Secara keseluruhan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional melonjak menjadi 5,34% pada Agustus 2018, naik dari 5,13% pada Februari 2018. Pada pertumbuhan triwulan III, komponen pembentukan modal tetap bruto hanya tumbuh 6,96% (yoy), turun tipis dari 7,11% (yoy) pada triwulan yang sama 2017.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan langsung antara perkembangan makroekonomi dengan realisasi investasi. Untuk itu, pemerintah perlu fokus ke beberapa hal.

Pertama, memacu ekspor dan pariwisata untuk menjaga kinerja neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan, sehingga dapat mengurangi ancaman terhadap nilai tukar rupiah.

Kedua, mempercepat implementasi B20 untuk mengurangi impor BBM dan membantu neraca perdagangan.

Ketiga, memperbaiki beberapa indikator EODB yang mengalami penurunan yakni perizinan konstruksi (dari 108 ke 112), perlindungan investor minoritas (dari 43 ke 51), perdagangan lintas batas (dari 112 ke 116), dan penegakan kontrak (dari 145 ke 146).

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (13/11/2018)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper