Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perpanjangan Kontrak Bisa Diajukan 5 Tahun sebelum Habis, Emiten Batu Bara Girang

Pemerintah akan mempercepat masa pengajuan perpanjangan kontrak tambang bagi 68 perusahaan yang berstatus PKP2B  (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) menjadi 5 tahun sebelum kontrak berakhir.
Aturan baru tentang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memberi keleluasaan perpanjangan kontrak 5 tahun sebelum PKP2B habis./Bisnis-Radityo Eko
Aturan baru tentang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memberi keleluasaan perpanjangan kontrak 5 tahun sebelum PKP2B habis./Bisnis-Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan mempercepat masa pengajuan perpanjangan kontrak tambang bagi 68 perusahaan yang berstatus PKP2B  (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) menjadi 5 tahun sebelum kontrak berakhir.

Aturan baru perpanjangan kontrak PKP2B  menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (13/11/2018). Berikut laporannya.

Sebagai konsekuensinya, sejumlah ketentuan penerimaan negara dari sektor itu juga akan disesuaikan dan perusahaan harus berubah status menjadi IUPK.

Rencana tersebut menjadi angin segar bagi pelaku usaha pertambangan karena akan lebih menjamin kepastian usaha dan di sisi lain mengerek penerimaan negara dari sektor pertambangan.

Dalam draf revisi keenam PP No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang diperoleh Bisnis, tertulis pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) boleh mengajukan perpanjangan kontrak paling cepat 5 tahun atau paling lambat 1 tahun sebelum kontrak berakhir.

Dalam aturan sebelumnya, perpanjangan kontrak paling cepat diajukan paling cepat 2 tahun dan paling lambat 6 bulan sebelum kontrak berakhir.

Pemerintah sebelumnya telah merevisi PP No. 23/2010 untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan mineral PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral, lewat penerbitan PP No. 1/2017 tentang usaha pertambangan mineral dan batu bara dan PP No. 37/2018 tentang perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak untuk usaha pertambangan mineral.

“Gilirannya sekarang untuk PKP2B juga harus ada, biar adil. Ini untuk meningkatkan investasi sehingga dia lebih yakin dari jauh-jauh hari. Perlu diperpanjang dong,” ujar Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot, Senin (12/11/2018).

Dalam waktu dekat, ada tujuh perusahaan besar PKP2B Generasi I yang segera habis kontraknya, yaitu PT Tanito Harum (2019), PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Adaro Energy Tbk. (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023) dan PT Berau Coal (2025).

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertam­bang­an Batubara Indonesia (APBI) Hendra Si­­nadia mengatakan industri tambang mem­­bu­­tuh­­kan kepastian usaha jangka panjang.

Oleh karena itu, percepatan masa per­panjangan kontrak tersebut sangat positif. “Lebih awal lebih bagus karena per­usahaan bisa mencari pendanaan lebih cepat. Terutama untuk jaminan per­bankan lebih sah,” katanya kepada Bisnis, Senin (12/11/2018).

Di sisi lain, pemerintah menyiapkan aturan perlakuan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi para pelaku usaha yang bergerak di dalam bidang pertambangan batu bara.

Soal pengenaan PPh badan misalnya, tarif yang berlaku di dalam aturan existing membebankan pemegang PKP2B untuk membayar PPh badan sebesar 45%. Tarif tersebut diproyeksikan turun dengan menerapkan tarif prevailing atau disesuaikan dengan Undang-Undang PPh yang menekankan pengenaan tarif PPh badan sebesar 25%. Penurunan tarif ini berlaku bagi pemegang IUPK.

Kendati dari sisi tarif turun, tetapi jika merujuk informasi tersebut, ada beberapa penambahan, baik dari sisi tarif maupun tambahan pungutan dalam RPP tentang perlakuan perpajakan dan PNBP bagi pertambangan batu bara. Bagian pemerintah yang meliputi Dana Hasil Produksi Batu Bara (DHPB) misalnya, naik dari 13,5% menjadi 15%.

Selain itu, ketentuan ini juga mengatur mengenai penambahan satu klausul pungutan dalam bentuk 10% dari laba bersih yang diberikan kepada pemerintah. Artinya, meski tarif PPh badan turun, ada kompensasi dari sisi kenaik­an DHPB dan 10% dari laba bersih per­usahaan.

“Betul , tetapi saya belum bisa menyampaikan tanggapan kalau aturannya belum final,” ujar Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, Senin (12/11).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analys (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pilihan untuk mengenakan PPh badan 25% memang konsekuesi pada pilihan prevailing.

Hal itu juga tercantum dalam Undang-Undang Minerba yang memang mengamanatkan prevailing. Di samping itu, tarif 45% adalah tarif kontrak karya (KK) II karena UU yang berlaku saat itu memungkinkan untuk menggunakan skema nailed down.

“Menurut saya ini merupakan konsekuensi, tetapi ini akan menjadi lebih adil,” kata Prastowo.

Prastowo juga menilai dengan skema penerimaan yang baru tersebut, pemerintah sangat diuntungkan. Pendapatan negara akan naik karena keberadaan pungutan lain dan basis penghitungannya produksi.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, pembahasan beleid tersebut telah beberapa kali dibahas di internal Kementerian Keuangan dan dikabarkan telah diharmonisasikan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

TUNGGU REVISI

Sementara itu, emiten pertambangan batu bara seperti PT Indika Energy Tbk. dan PT Bumi Resources Tbk. menunggu hasil revisi PP tersebut, terutama terkait dengan perubahan PKP2B yang habis masa kontraknya menjadi IUPK.

Dua anak usaha BUMI memiliki PKP2B yang akan habis masa kontraknya, yakni PT Arutmin Indonesia pada 2020 dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 2021. Berdasarkan laporan keuangan per September 2018, kepemilikan BUMI di KPC sejumlah 51%, sedangkan di Arutmin sebanyak 90%.

“Kami perlu menunggu konversi final menjadi IUPK sebelum dapat memberikan komentar lebih lanjut . Perihal kami sependapat, tetapi perlu menunggu regulasinya,” ujarnya.

Adapun, Managing Director & Chief Executive Officer Indika Energy Azis Armand menuturkan, pihaknya masih mempelajari revisi PP No. 23/2010. Anak usaha perseroan, yakni PT Kideco Jaya Agung memiliki kontrak PKP2B yang akan habis pada 2023. “Kami masih mempelajari perubahan aturan itu.”

Adapun, PT Adaro Energy Tbk. akan segera menyesuaikan perpanjangan IUPK setelah terbitnya aturan baru.

Febriati Nadira Head of Corporate Communication Division ADRO mengakui perpanjangan secara resmi belum diajukan.

Namun, persiapan tahap awal sudah dilakukan melalui diskusi dan koordinasi secara berkelanjutan.

“Karena sesuai dengan aturan lama, kami baru bisa mengajukan perpanjangan IUPK operasi produksi minimal 2 tahun sebelum masa kontrak berakhir. Hanya saja, tentunya kami selalu akan menyesuaikan dengan peraturan baru.” (Edi Suwiknyo/Lucky  Leonard Leatemia/Anitana W Puspa/Hafiyyan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper