Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inalum Naikkan Kapasitas Pabrik Menjadi 300.000 Ton

Inalum bakal ekspansif dan menggejot produktivitas, baik untuk memasok pasar dalam negeri maupun pasar ekspor.
Produksi aluminium ingot di PT Inalum Kuala Tanjung Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, Selasa (2/8)./Antara-Septianda Perdana
Produksi aluminium ingot di PT Inalum Kuala Tanjung Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, Selasa (2/8)./Antara-Septianda Perdana

Bisnis.com, MEDAN – PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum bakal ekspansif menggejot produktivitas, untuk memasok kebutuhan dalam negeri maupun pasar ekspor.

Oggy Achmad Kosasih, Plt Direktur Pelaksana Inalum, menuturkan perseroan akan menambah belanja modal untuk pembaruan teknologi serta membangun pabrik baru untuk penyediaan bahan baku alumina.

“Teknologi yang dipakai di Inalum masih tahun 80-an, tentu ada teknologi terbaru dengan sumber energi yang ada sekarang yang bisa menghasilkan produk aluminium. [Ekspansi 2019] termasuk upgrade teknologi, [dengan belanja modal] sekitar US$100 juta. Selain itu ada pembangunan pabrik bahan baku Alumina mencapai US$800 juta,” kata Oggy kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Dia menerangkan untuk pembangunan pabrik alumina alias Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR), perseroan akan bekerjasama dengan perusahaan anak yakni PT Antam Tbk serta menggandeng mitra strategis.

Selain itu, perseroan juga membangun pabrik Calcined Petroleum Cokes (CPC) bekerjasama dengan Pertamina. Pembangunan pabrik karbon tersebut akan dilakukan di Dumai, Provinsi Riau.  

“Ini yang akan dilakukan sehingga pada 2019-2020 nanti kami bisa punya bahan baku sendiri sebab kita punya bauksit yang bisa diolah menjadi alumina. Karena ini merupakan proyek, jadi polanya pakai project financing. Jadi kalau pabriknya sudah jadi, kami akan beli dan pembeliannya digunakan untuk bayar kewajibannya itu,” tuturnya.

Pembangunan pabrik bahan baku tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Inalum terhadap impor serta berdampak pada efisiensi biaya produksi.

Pasalnya perusahaan yang bergerak di bidang pabrik peleburan aluminium tersebut selama ini masih mengandalkan bahan baku impor dan banyak terpengaruh peningkatan harga bahan baku utama seperti CPC, CTP, Aluminium Floride, dan Alumina.

Sebagai gambaran, pada 2018, harga alumina bergerak dari rata-rata US$288 per ton menjadi US$614 per ton, bahkan pernah mencapai US$800 per ton. Dengan kebutuhan 2 ton alumina untuk memproduksi 1 ton aluminum, maka Inalum harus mengeluarkan biaya tambahan sekitar US$30 juta untuk tiap memproduksi 100.000 ton aluminium.

“Tahun 2018 merupakan tahun yang menantang bagi Inalum. Kalau melihat harga di London Metal Exchange cenderung flat di angka US$2.000 per ton, alumina mencapai 30% LME, ini belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir ini,” ujarnya.

Kendati pergerakan harga alumina untuk 2019 masih belum pasti, imbuh Oggy, produksi alumina dunia mulai mengalami penurunan akibat dua pemasok alumina dunia yaitu Alunorte dan Rusal sedang terkena sanksi.

Di sisi lain, kebutuhan aluminium dunia diperkirakan akan semakin meningkat sejalan dengan perkembangan sektor otomotif yang mengarah ke mobil rangka ringan atau mobil listrik. Pengembangan mobil listrik tersebut kini gencar dilakukan oleh China, Eropa dan Amerika.

Dari pasar domestik, pengembangan infastruktur yang jor-joran juga akan menggerakkan pertumbuhan properti, elektronik dan otomotif.

Sejalan dengan pengembangan dari sisi bahan baku, Inalum juga akan meningkatkan kapasitas smelter aluminium di Kuala Tanjung hingga mencapai 300.000 ton per tahun.

Sebagai informasi, selain aluminium ingot, mulai tahun lalu Inalum juga memproduksi aluminium alloy dan billet masing-masing dengan kapasitas 90.000 ton dan 30.000 ton per tahun. Adapun, produk alloy lebih banyak dari billet karena karena diperkirakan penggunaan aluminium untuk manufaktur kendaraan akan semakin meningkat.

“Jadi berangkat dari kondisi pasar yang masih terbuka, sedangkan kita masih punya banyak potensi. Kami akan meningkatkan kapasitas dari 260.000 ton per tahun menjadi 300.000 ton per tahun.”

Langkah ekspansi Inalum tersebut diharapkan dapat menghasilkan produk dengan harga yang lebih bersaing.

“Kalau sudah punya bauksit dan bisa memproduksi alumina, itu akan memberi nilai tambah. Selama ini alumina masih impor sehingga harga sedikit lebih mahal,” kata Paidi Lukman, CEO PT Alfo Citra Abadi (Alca Metals) — industri manufaktur aluminium terintegrasi yang merupakan satu pelanggan Inalum di Medan.

Menurut Paidi, kebutuhan pasokan aluminium Alca Metals selama ini masih terpenuhi oleh Inalum.

“Tapi kalau ekspor banyak tentu sudah tidak cukup. Selama ini ekspor kami 2.000 ton dan rencananya tahun depan akan bangun pabik sehingga ekspor bisa naik jadi 10.000 ton per bulan. Jadi kami berharap agar Inalum bisa memberikan cairan aluminium yang panas sehingga biaya produksi kami bisa berkurang,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ropesta Sitorus
Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper